Ketika cahaya tauhid padam di muka bumi, maka kegelapan yang tebal hampir saja menyelimuti akal. Di sana tidak tersisa orang-orang yang bertauhid kecuali sedikit dari orang-orang yang masih mempertahankan nilai-nilai ajaran tauhid. Maka Allah SWT berkehendak dengan rahmat-Nya yang mulia untuk mengutus seorang rasul yang membawa ajaran langit untuk mengakhiri penderitaan di tengah-tengah kehidupan. Dan ketika malam mencekam, datanglah matahari para nabi. Kedatangan Nabi tersebut sebagai bukti terkabulnya doa Nabi Ibrahim as kekasih Allah SWT, dan sebagai bukti kebenaran berita gembira yang disampaikan oleh Nabi Isa as.
Allah SWT menyampaikan
salawatnya kepada Nabi itu, sebagai bentuk rahmat dan keberkahan. Para
malaikat pun menyampaikan salawat kepadanya sebagai bentuk pujian dan
permintaan ampunan, sedangkan orang-orang mukmin bersalawat kepadanya
sebagai bentuk penghormatan. Allah SWT berfirman:
"Sesungguhnya Allah dan
malaikat-malaikat-Nya bersalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang
beriman, bersalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan
kepadanya." (QS. al-Azhab: 56)
Sebelumnya Allah SWT mengutus para nabi-Nya sebagai
rahmat kepada kaum dan zaman mereka saja, namun Allah SWT mengutus
beliau saw sebagai rahmat bagi alam semesta. Beliau saw datang dengan
membawa rahmat yang mutlak untuk kaum di zamannya dan untuk seluruh
zaman. Allah SWT berfirman, "Dan aku tidak mengutusmu kecuali sebagai
rahmat bagi alam semesta."
Hakikat dakwah para nabi sebelumnya adalah menyebarkan
Islam, begitu juga ajaran yang dibawa oleh Nabi yang terakhir adalah
Islam. Beliau saw adalah Muhammad bin Abdillah bin Abdul Muthalib, anak
seorang wanita Quraisy. Beliau saw adalah pemimpin anak-anak Nabi Adam
as. Beliau saw adalah hamba Allah SWT dan Rasul-Nya, serta rahmat Allah
SWT yang dihadiahkan kepada umat manusia.
Beliau saw lahir di tanah Arab. Ketika itu malam gelap,
tiba-tiba Abdul Muthalib membayangkan bahwa matahari telah terbit, lalu
ia bangun dan ternyata mendapati dirinya di pertengahan malam,
keheningan yang luar biasa menyelimuti gurun yang terbentang. Ia menuju
pintu kemah, lalu menyaksikan bintang-bintang bersinar di langit, dan
dunia tampak di selimuti dengan malam. Ia kembali menutup pintu kemah
dan tidur. Belum lama ia dikuasai oleh rasa kantuk yang amat sangat,
sehingga ia kembali bermimpi untuk kedua kalinya. Segala sesuatunya
tampak jela s kali ini, Sesungguhnya sesuatu yang besar memerintahnya
untuk melaksanakan perintah yang sangat penting, "Galilah zamzam!" Dalam
mimpinya Abdul Muthalib bertanya: "Apakah itu zamzam?" Kemudian untuk
kedua kalinya perintah itu mengatakan bahwa ia diperintahkan untuk
menggali zamzam. Belum lama Abdul Muthalib melihat sesuatu yang
bersembunyi itu, sehingga ia berdiri di tempat tidurnya dan hatinya
berdebar dengan keras. Abdul Muthalib bangkit, lalu ia membuka pintu
kemah kemudian pergi ke gurun yang luas. Apakah arti zamzam? Tiba-tiba
pikirannya dipenuhi dengan cahaya yang datang dari jauh, bahwa pasti
zamzam adalah sebuah sumur, tetapi apa yang diinginkan oleh suara yang
datang dalam tidur itu agar ia menggali sumur, di sana tidak ada jawaban
selain satu jawaban dari pertanyaan ini, yaitu agar orang-orang yang
berhaji dan berkeliling di sekitar Ka'bah dapat meminumnya. Tetapi apa
nilai dari sumur itu sendiri, bukankah di sana terdapat banyak sumur
yang dapat diminum oleh orang-orang yang berhaji.
Abdul Muthalib duduk di
tengah-tengah pasir gurun pada pertengahan malam, ia memikirkan
bintang-bintang sembari merenungkan cerita-cerita kuno yang mengatakan
tentang sumur yang memancar darinya air sebagai akibat dari pukulan kaki
Nabi Ismail as, di sana juga ada cerita yang mengatakan bahwa sumur itu
telah binasa sesuai dengan perjalanan zaman.
Matahari terbit di atas gurun Jazirah Arab, Abdul
Muthalib keluar menemui orang-orang, dan menceritakan kepada mereka
bahwa ia akan menggali sebuah sumur di tempat tertentu, ia menunjukkan
ke tempat yang di situ ia diberitahu oleh suara yang ada dalam mimpinya.
Orang-orang Quraisy menolaknya, Sesungguhnya tempat yang diisyaratkan
oleh Abdul Muthalib terletak di antara dua berhala dari berhala-berhala
yang biasa disembah oleh masyarakat setempat, yaitu di antara berhala
yang bernama Ashaf dan NAllah. Abdul Muthalib merasa bahwa usahanya
sia-sia untuk meyakinkan kaumnya agar mengizinkannya untuk menggali
sumur. Mereka mengetahui bahwa Abdul Muthalib tidak mempunyai sesuatu
selain hanya seorang anak. Bahwasanya ia tidak memiliki anak-anak yang
dapat menolong dan memperkuatnya serta melaksanakan
keinginan-keinginannya.
Pada saat itu di kawasan negeri Arab dipenuhi dengan
kabilah-kabilah yang terjalin suatu ikatan fanatisme atau kesukuan yang
kuat dan usaha untuk melindungi keluarga yang sangat menonjol. Akhirnya
Abdul Muthalib pergi dalam keadaan sedih, lalu ia berdiri di hadapan
Ka'bah dan mengungkapkan suatu nazar kepada Allah SWT. Ia berkata: "Jika
aku mendapat sepuluh anak laki-laki, dan mereka menginjak usia dewasa,
sehingga mereka mampu melindungiku saat aku menggali sumur Zamzam, maka
aku akan menyembelih salah seorang dari mereka di sisi Ka'bah sebagai
bentuk korban."
Pintu
langit pun terbuka untuk doanya. Belum sampai berlangsung satu tahun,
istrinya melahirkan anaknya yang kedua dan setiap tahun ia melahirkan
anak laki-laki sampai pada tahun yang kesembilan, sehingga Abdul
Muthalib mempunyai sepuluh anak laki-laki. Kemudian berlalulah zaman dan
anak-anak Abdul Muthalib menjadi besar.
Abdul Muthalib akhirnya menjadi seseorang yang memiliki
kemampuan. Kemudian Abdul Muthalib berusaha melakukan rencananya yang
diisyaratkan dalam mimpinya itu, yaitu ia bersiap-siap untuk
mengorbankan salah satu anaknya sebagai bentuk pelaksanaannya dari
nazarnya. Maka dilakukanlah undian atas sepuluh anaknya, lalu keluarlah
nama anaknya yang paling kecil yaitu Abdullah. Ketika nama anak itu
keluar dalam undian, maka orang-orang yang ada disekitarnya berusaha
memberontak, mereka mengatakan bahwa mereka tidak akan membiarkan
Abdullah disembelih.
Abdullah
saat itu terkenal sebagai seseorang yang bersih dikawasan Arab, ia
telah dapat menarik simpati masyarakat di sekitarnya. Ia tidak pernah
menyakiti seseorang pun. Bahkan ia tidak pernah meninggikan suaranya
lebih dari orang lain. Senyuman khas Abdullah terkenal sebagai senyuman
yang paling lembut di kawasan Jazirah Arab. Muatan ruhaninya demikian
jernih, dan hatinya yang mulia menyerupai sebuah kebun di tengah-tengah
gurun hati-hati yang keras, oleh karena itu semua manusia datang
kepadanya dan menentang usaha penyembelihannya. Para pembesar Quraisy
berkata, "Lebih baik kami menyembelih anak-anak kami daripada ia harus
disembelih, dan menjadikan anak-anak kami sebagai tebusan baginya. Kami
tidak akan menemukan seseorang pun yang lebih baik dari dia seandainya
kami menyembelihnya, pertimbangkanlah kembali masalah itu, dan biarkan
kami bertanya kepada dukun."
Abdul Muthalib tampak tidak mampu menghadapi tekanan
ini, lalu ia mempertimbangkan kembali apa yang telah ditetapkannya.
Kemudian mereka mendatangi seorang dukun. Si dukun berkata: "Berapakah
taruhan yang kalian miliki?" Mereka menjawab: "Sepuluh ekor unta." Dukun
itu berkata: "Datangkanlah sepuluh unta, lalu lakukanlah kembali undian
atasnya dan atas nama Abdullah, jika undian datang padanya, maka
tambahlah sepuluh ekor unta lagi, lalu ulangilah terus undian tersebut,
demikian hingga tidak keluar lagi nama Abdullah."
Kemudian dilakukanlah undian
atas nama Abdullah dan atas sepuluh ekor unta yang besar. Undian itu pun
mengeluarkan terus nama Abdullah, hingga Abdul Muthalib menambah
sepuluh ekor unta lagi, kemudian lagi-lagi yang keluar nama Abdullah
sehingga mereka pun menambah sepuluh ekor unta lagi sampai jumlah unta
itu telah mencapai seratus ekor unta. Setelah itu, datanglah nama unta
tersebut. Maka saat itu, masyarakat demikian gembiranya sehingga
berlinangan air mata, kegembiraan dari mereka karena melihat Abdullah
berhasil diselamatkan. Kemudian disembelihlah seratus ekor unta di sisi
Ka'bah, dan mereka membiarkannya di situ sehingga korban itu tidak
disentuh oleh seseorang pun dan juga disentuh oleh binatang-binatang
buas.
Abdul Muthalib
sangat gembira atas keselamatan anaknya, Abdullah. Lalu ia menetapkan
untuk menikahkannya dengan gadis terbaik di Jazirah Arab, kemudian ia
keluar dengannya pada suatu hari dari Ka'bah ke rumah Wahab, dan di sana
ia meminang untuknya Aminah binti Wahab. Kemudian Aminah binti Wahab
menikah dengan Abdullah bin Abdul Muthalib, seorang pemuda yang paling
mulia dan paling dicintai oleh orang-orang Quraisy.
Dinyalakanlah api-api di
gunung-gunung Mekah, agar para musafir dan para tamu mengetahui tempat
diadakannya acara tersebut, yaitu acara pernikahan antara Abdullah dan
Aminah. Lalu disembelihlah hewan-hewan korban, dan manusia dari kalangan
orang-orang fakir bahkan binatang-binatang buas dan burung makan
darinya. Abdullah tinggal bersama istrinya dua bulan di rumah
pernikahan, hingga suatu hari ada kabar bahwa kafilah akan berangkat,
lalu Abdullah pun mengikuti kafilah tersebut dan melakukan perjalanan
bersama kafilah perdagangan Quraisy menuju Syam, itu adalah kesempatan
terakhir yang diperoleh Aminah binti Wahab bersamanya. Wajah Abdullah
yang mulai tampak berseri-seri mengucapkan selamat tinggal kepada
Aminah, lalu setelah itu bayang-bayang wajahnya tersembunyi bersama
kafilah dan rnereka pun hilang. Aminah tidak mengetahui bahwa itu adalah
kesempatan terakhirnya setelah dua bulan dari perkawinannya. Abdullah
mengunjungi paman-pamannya dari kabilah bani Najar di Madinah, dan di
sana ia meletakkan jasadnya di muka bumi, ia meninggal dunia.
Abdullah bin Abdul Muthalib
kini telah meninggal. Saat itu ia berusia dua puluh lima tahun. Kabar
kematiannya tiba-tiba tersebar dan sangat memilukan hati orang-orang
yang mendengarnya, sehingga kabar itu sampai ke istrinya. Aminah tampak
menangis tersedu-sedu dan ia tampak menyampaikan pertanyaan-pertanyaan
pada dirinya dan tidak mengetahui jawabannya, mengapa Allah SWT
menebusnya dengan seratus unta jika kemudian Dia menetapkan kematian
baginya.
Tidak lama
kemudian, lalu bergeraklah dirahimnya janin dengan gerakan yang sedikit,
ia tampak mulai mengetahui bahwa ia sedang hamil. Aminah menangis dua
kali, pertama ia menangis untuk dirinya sendiri dan kali ini ia menangis
untuk anak yang ditinggal mati ayahnya sebelum ia sempat dilahirkan.
Aminah tidak pernah mengetahui sebelumnya bahwa janin yang dikandungnya
akan menjadi anak yatim, ayahnya meninggal saat ia dilahirkan.
Anak yatim ini harus
menanggung beban anak-anak yatim dan orang-orang fakir serta orang-orang
yang sedih di muka bumi. Ia akan menjadi Nabi yang terakhir dan
rasul-Nya kepada manusia. Ia akan menjadi rahmat yang dihadiahkan kepada
manusia dan tidak akan mengetahui makna rahmat kecuali orang yang
merasakan penderitaan dan kepahitan. Inilah anak kecil yang sebelum
dilahirkan telah menelan kesedihan. Dan berlalulah hari demi hari, lalu
hilanglah tangisan penderitaan dan mata Aminah pun telah mengering,
namun kesedihannya tampak menyerupai sebuah pohon yang turnbuh bersama
kehausan.
Kemudian
kesedihannya hari demi hari semakin ia rasakan tetapi kesedihannya itu
mulai tidak tampak ketika ia mendapatkan bahwa janin yang dikandungnya
tidaklah memberatkannya, sebaliknya ia merasakan betapa ringannya janin
yang dikandungnya bagaikan merpati yang berkeliling di seputar Ka'bah,
dan seandainya kesedihannya yang selalu mengitarinya, maka tidak ada
wanita yang lebih bahagia darinya dengan kehamilan yang ringan ini.
Janin itu adalah manusia yang mulia di sisi Tuhan, kemudian semakin
dekatlah hari kelahirannya. Sementara itu, pasukan Abrahahh mendekati
Mekah.
Abrahahh adalah
seorang penguasa Yaman, yaitu pada saat Yaman tunduk kepada Habasyah
setelah penguasa Persia diusir. Di Yaman ia membangun suatu gereja yang
menunjukkan bangunan yang menakjubkan. Abrahahh membangunnya dengan niat
agar orang-orang Arab berpaling dari Baitul Haram di Mekah. Ia melihat
betapa orang-orang Yaman tertarik dengan rumah tersebut. Dan ketika ia
tidak melihat gereja yang dibangunnya memiliki daya tarik seperti itu
dan tidak mampu menarik hati orang-orang Arab, maka ia berkeinginan kuat
untuk menghancurkan Ka'bah, sehingga orang-orang tidak menuju ke Ka'bah
lagi melainkan ke gerejanya. Demikianlah akhirnya ia menyiapkan pasukan
yang besar yang dipenuhi dengan berbagai senjata, kemudian pasukan itu
menuju Ka'bah.
Pasukan
Abrahahh terdiri dari kelompok gajah yang besar yang digunakannya untuk
menghancurkan Ka'bah. Gajah-gajah itu bagaikan tank-tank yang kita
gunakan saat ini. Orang-orang Arab pun mendengar rencana tersebut.
Memang orang-orang Arab saat itu terkenal sebagai penyembah berhala,
meskipun demikian mereka sangat memberikan penghargaan dan penghormatan
terhadap Ka'bah, karena mereka meyakini bahwa mereka adalah anak-anak
Nabi Ibrahim as dan Nabi Ismail as pemelihara Ka'bah.
Perjalanan pasukan tiba-tiba
dihadang oleh seorang lelaki yang mulia dari penduduk Yaman yang bernama
Dunaher. Ia mengajak kaumnya dan dari kalangan orang-orang Arab untuk
memerangi Abrahahh, sehingga ada beberapa orang yang mengikutinya.
Abrahahh berhadapan dengan tentara tersebut tetapi pasukan yang sedikit
itu dapat dengan mudah dipatahkan oleh pasukan kafir yang besar itu.
Kemudian Dunaher pun kalah dan menjadi tawanan Abrahahh. Pasukan
Abrahahh tersebut juga sempat ditentang oleh Nufail bin Hubaid
al-Aslami, namun Abrahahh pun dapat mengalahkan mereka dan berhasil
menawan Nufail.
Kemudian
ketika Abrahahh melewati kota Taif, menghadaplah kepadanya beberapa
orang tokoh setempat, dan mereka tampak gemetar ketakutan dan berkata
kepadanya bahwa sesungguhnya 'rumah' yang ditujunya tidak berada di
tempat mereka, tetapi berada di Mekah. Hal itu mereka sampaikan dengan
maksud untuk memalingkannya dari rumah berhala mereka, di mana mereka
membangun di dalamnya berhala yang bernama Latha kemudian mereka
mengutus seseorang yang akan menunjukkan kepada Abrahahh letak Ka'bah.
Ketika Abrahahh berada di antara Taif dan Mekah, ia mengutus seorang
pemimpin pasukannya sehingga ia melihat keadaan Mekah. Di sana ia
merampas banyak harta dari kaum Quraisy dan selain mereka, dan di antara
yang dirampasnya adalah dua ratus unta milik Abdul Muthalib bin Hasyim.
Saat itu Abdul Muthalib adalah salah seorang pembesar Quraisy dan
pemimpin mereka, serta pengawas sumur Zamzam.
Kedatangan utusan Abrahahh di Mekah telah menimbulkan
gejolak pada kabilah-kabilah. Akhirnya kaum Quraisy bergerak, begitu
juga kaum Khananah. Kemudian mereka mengetahui bahwa mereka tidak
memiliki kemampuan untuk melawan Abrahahh, sehingga mereka
membiarkannya, lalu tersebarlah di Jazirah Arab berita tentang datangnya
pasukan yang kuat yang sulit untuk ditandingi. Dalam surat yang dibawa
oleh utusannya itu, Abrahahh menyampaikan bahwa ia tidak datang untuk
memerangi mereka, namun ia datang hanya untuk menghancurkan Ka'bah. Jika
mereka tidak menentangnya, maka darah mereka tidak akan ditumpahkan.
Lalu utusan itu menemui Abdul Muthalib, ia menceritakan tentang
keinginan Abrahahh. Abdul Muthalib berkata: "Kami tidak ingin
memeranginya karena kami tidak memiliki kekuatan. Ka'bah adalah rumah
Allah SWT yang mulia dan suci, dan rumah kekasih-Nya Ibrahim. Jika Ia
mencegahnya, maka itu adalah rumah-Nya dan tempat suci-Nya, namun jika
Ia membiarkannya, maka demi Allah kami tidak memiliki kekuatan untuk
mempertahankannya." Kemudianutusan itu pergi bersama Abdul Mutihalib
menuju Abrahahh.
Abdul
Muthalib adalah seseorang yang sangat terpandang dan sangat mulia. Ia
memiliki kewibawaan dan kehormatan yang mengagumkan. Ketika Abrahahh
melihatnya, Abrahahh menampakkan penghormatan kepadanya. Abrahahh
memuliakannya dan mendudukannya di bawahnya, ia tidak suka bahwa ia
duduk bersamanya di kursi kekuasaannya. Lalu Abrahahh turun dari
kursinya dan duduk di atas sebuah permadani dan mendudukkan Abdul
Muthalib di sisinya. Kemudian ia berkata kepada penerjemahnya: "Katakan
padanya apa kebutuhannya?" Abdul Muthalib berkata: "Kebutuhanku adalah
agar Abrahahh mengembalikan dua ratus ekor unta yang diambilnya dariku"
Ketika Abdul Muthalib mengatakan demikian, wajah Abrahahh berubah, lalu
ia berkata kepada penerjemahnya: "Katakan padanya sungguh aku merasa
kagum ketika melihatnya, kemudian aku merasakan kehati-hatian saat
berbicara dengannya, apakah engkau berbicara denganku tentang dua ratus
ekor unta yang telah aku ambil, lalu engkau membiarkan rumah yang
merupakan simbol agamanya dan kakek-kakeknya, yang aku datang untuk
menghancurkannya dan dia tidak menyinggungnya sama sekali" Abdul
Muthalib menjawab: "Aku adalah pemilik unta, sedangkan pemilik rumah itu
adalah Tuhan yang melindunginya." Abrahahh berkata: "Dia tidak akan
mampu melindunginya dariku." Abdul Muthalib menjawab: "Lihat saja
nanti!"
Selesailah
dialog antara Abdul Muthalib dan Abrahahh. Abrahahh pun mengembalikan
unta yang telah dirampasnya. Abdul Muthalib pergi menemui orang-orang
Quraisy dan menceritakan apa yang dialaminya, dan ia memerintahkan
mereka untuk meninggalkan Mekah dan berlindung dibalik gua-gua di
gunung. Akhirnya kota Mekah dikosongkan oleh pemiliknya. Aminah binti
Wahab keluar ke gunung-gunung di dekat kota Mekah kemudian malaikat
turun di bumi Jarzirah Arab.
Abdul Muthalib berdiri dan memegangi pintu Ka'bah dan
berdiri bersama dengan sekelompok orang-orang Quraisy, mereka berdoa
kepada Allah SWT dan meminta perlindungan-Nya, agar para malaikat
memerintahkan gajah-gajah tidak melangkahkan kakinya sehingga gajah itu
pun tetap di tempatnya dan menaati perintah para malaikat, kemudian
gajah-gajah itu menerima pukulan yang dahsyat namun gajah-gajah itu
tetap berdiam di tempatnya, gajah-gajah itu tampak gemetar dan berteriak
tetapi lagi-lagi gajah-gajah itu menolak untuk bergerak dan tidak
bergerak selangkah pun. Abrahahh bertanya: "Mengapa pasukan tidak
bergerak?" Kemudian dikatakan kepadanya bahwa gajah-gajah menolak untuk
bergerak. Abrahah mengangkat cemetinya. Dengan muka emosi, ia ingin
melihat apa yang sebenarnya terjadi dengan gajah-gajahnya.
Matahari saat itu bersinar dan
ia duduk di kemahnya. Ketika ia keluar, matahari bersembunyi di balik
segerombolan burung. Abrahah mengangkat pandangannya ke arah langit.
Mula-mula ia membayangkan bahwa ia melihat sekawanan awan yang hitam.
Kemudian ia mengamat-amati awan itu. Dan ternyata ia bukan awan biasa.
Itu adalah sekelompok burung yang menutupi cahaya matahari dan
menyerupai awan yang tebal. Burung ababil, burung yang banyak.
Gajah-gajah semakin berteriak
dengan kencang dan tampak ketakutan. Dan rasa takut itu kini
menghinggapi seluruh pasukan. Abrahah berteriak di tengah-tengah
pasukannya agar gajah diusahakan untuk maju secara paksa. Kemudian
terbukalah salah satu jendela dari jendela al-Jahim, dan burung-burung
itu menghujani pasukan dengan batu dari Sijil, yaitu batu yang sama yang
pernah dihujankan kepada kaum Nabi Luth. Batu itu menyerupai bom-bom
atom yang digunakan saat ini.
Jika Anda membaca buku-buku kuno, maka Anda akan
mengetahui bagaimana peristiwa yang menimpa pasukan Abrahah. Anda akan
membayangkan bahwa Anda berada di hadapan suatu kekuatan yang
menghancurkan yang tidak diketahui asal muasalnya. Dunia mengenali
sebagian darinya setelah empat belas abad dari peristiwa tersebut.
Buku-buku itu mengatakan bahwa pasukan itu dihancurkan dengan
penghancuran yang dahsyat.
Para tentara Abrahah kembali dalam keadaan binasa di
mana daging-daging dari tubuh mereka berceceran di jalan. Abrahah pun
mendapatkan luka dan mereka keluar dari tempat itu dalam keadaan
dagingnya terpisah satu persatu. Abrahah pun terbelah dadanya dan mati.
Kemudian jasad para pasukannya tersebar dan berceceran di bumi, seperti
tanaman yang dimakan oleh binatang. Setelah mendekati setengah abad,
turunlah suatu surah di Mekah yang menceritakan tentang peristiwa itu:
"Apakah kamu tidak
memperhatikan bagimana Tuhanmu telah bertindak terhadap tentara gajah?
Bukankah Dia telah menjadikan tipu daya mereka (untuk menghancurkan Ka
'bah) itu sia-sia? Dan Dia mengirimkan kepada mereka burung yang
berbondong-bondong, yang melempari mereka dengan batu (berasal) dari
tanah yang terbakar, lalu Dia menjadihan mereka seperti daun yang
dimakan (ulat)." (QS. al-Fil: 1-5)
Pasukan gajah yang ingin memporak-porandakan Mekah
dikalahkan. Kemudian mereka dihancurkan dan Tuhan pemilik Ka'bah
berhasil melindungi rumah suci-Nya. Perlindungan tersebut bukan sebagai
penghormatan bagi orang yang tinggal di rumah itu dan bukan sebagai
bentuk pengkabulan doa kaum yang menyembah berhala yang memenuhi tempat
itu. Allah SWT sebagai Pelindung Ka'bah memeliharanya karena adanya
hikmah yang tinggi; Allah SWT menginginkan sesuatu bagi rumah itu; Allah
SWT ingin melindunginya agar tempat itu menjadi tempat yang damai bagi
manusia dan supaya tempat itu menjadi pusat dari akidah yang baru dan
menjadi tanah bebas yang aman, yang tidak dikuasai oleh seseorang pun
dari luar dan juga tidak didominasi oleh pemerintahan asing yang akan
membatasi dakwah. Yang demikian itu karena di sana terdapat rumah dari
rumah-rumah di Mekah yang lahir di sana seorang anak di mana ibunya
bernama Aminah binti Wahab dan ayahnya adalah Abdullah, salah seorang
tokoh Arab. Anak itu belum dilahirkan dan belum dapat tugas kenabian dan
ia belum memikul Islam di atas pundaknya dan belum menjadi rahmat bagi
alam semesta. Kemudian datanglah Abrahah yang ingin menghancurkan semua
ini tanpa ia mengetahui semua rahasia ini.
Tragedi yang menimpa Abrahah adalah karena bahwa ia
berusaha menentang kehendak Ilahi sehingga kehendak Ilahi itu
menghancurkannya dengan mukjizat yang mengagumkan. Datanglah banyak
burung dengan membawa batu-batuan yang tidak didengar suaranya. Kemudian
burung-burung melemparkan batu-batu itu kepada Abrahah beserta
tentaranya. Semua ini berdasarkan rencana Ilahi terhadap rumah-Nya dan
agama-Nya serta nabi-Nya sebelum orang mengetahui bahwa Nabi Islam telah
bersiap-siap untuk meninggalkan tempat tidurnya di perut ibunya dan
mulai memasuki kehidupan yang keras di muka bumi.
Di tengah-tengah kegembiraan
Mekah karena keselamatan penghuninya dan selamatnya Ka'bah, Aminah binti
Wahab bermimpi: di tengah suatu malam ia menyaksikan dirinya berdiri
sendirian di tengah-tengah gurun, dan telah keluar dari dirinya suatu
cahaya besar yang menyinari timur dan barat dan terbentang hingga
langit. Aminah tiba-tiba terbangun dari tidurnya namun ia tidak
mengetahui tafsir dari mimpinya.
Berlalulah hari demi hari dari tahun gajah. Dan pada
waktu sahur dari malam Senin hari keduabelas dari bulan Rabiul Awal,
Aminah melahirkan seorang anak kecil yang yatim yang bernama Muhammad
bin Abdillah bin Abdul Muthalib, seorang cucu dari Ismail bin Ibrahim
bin Adam.
Sebelum ia
dilahirkan, dunia mati karena kehausan padanya. Kehausan dunia sangat
besar kepada cinta, rahmat, dan keadilan. Sekarang teiah berlalu 600
tahun dari kelahiran al-Masih dan orang-orang Masehi telah menjauhi
ajaran cinta, bahkan keyakinan-keyakinan berhalaisme telah meresap
kepada sebagian kelompok mereka dan kejernihan ajaran tauhid telah
ternodai. Sedangkan orang-orang Yahudi telah meninggalkan wasiat-wasiat
Musa dan mereka kembali menyembah lembu yang terbuat dari emas. Dan
setiap orang dari mereka lebih memilih untuk memiliki lembu emas yang
khusus. Demikianlah, berhalaisme telah menyerang di bumi. Bumi dipenuhi
oleh kegelapan. Akal disingkirkan dan Tuhan diiupakan dan mereka
menyerahkan diri mereka kepada pembohong.
Ketika jantung dunia telah terkena kekeringan, maka
memancarlah dari timur suatu mata air keimanan yang jernih yang menjadi
puas dengannya separo dunia. Dan mukjizat besar terjadi ketika mata air
ini mengeluarkan air yang jernih dari jantung gurun yang paling besar
ketandusannya di dunia, yaitu gurun jazirah Arab. Berkenaan dengan
penggambaran masa tersebut, dalam hadis yang mulia dikatakan:
"Sesungguhnya Allah melihat penduduk bumi lalu Dia murka kepada mereka,
baik orang-orang Arab maupun orang-orang Ajam kecuali sebagian kecil
dari Ahlulkitab."
Di
tenda yang kasar, lahirlah seorang anak yatim yang kemudian bertanggung
jawab untuk memberikan minum kepada dunia yang haus pada cinta,
keadilan, kebebasan, serta kebenaran. Sementara itu, beberapa langkah
dari tempat kelahirannya terdapat berhala-berhala yang memenuhi Baitul
'Athiq dan sekitar Ka'bah yang dibangun oleh Nabi Ibrahim dan Nabi
Ismail agar menjadi rumah Allah SWT dan Dia disembah di dalamnya dan
manusia merasa tenteram di dalamnya. Di rumah yang kuno ini—yang
dibangun sebelumnya oleh Adam—dipenuhi patung-patung tuhan yang terbuat
dari batu dan kayu. Ini menunjukkan betapa akal orang-orang Arab saat
itu mengalami titik terendah.
Sementara itu nun jauh di sana, tepatnya di Yatsrib atau
Madinah dipenuhi oleh orang-orang Yahudi yang mereka datang di sana
karena melarikan diri dari penindasan orang-orang Romawi. Mereka tinggal
di situ bagaikan srigala-srigala di atas tanah yang tersubur di mana
mereka melakukan monopoli dalam perdagangan. Mereka membagun kejayaan
mereka dengan memanfaatkan orang-orang Arab dan keheranan mereka
terhadap diri mereka sendiri.
Para cendikiawan Yahudi memperdagangkan segala sesuatu,
dimulai dari emas sampai Taurat. Mereka menyembunyikan kertas-kertas
darinya dan menampakkan sebagiannya; mereka mengubah kertas-kertas
Taurat itu untuk memperkaya diri mereka. Pada saat orang-orang Yahudi
menyembah emas dan sangat lihai melakukan persekongkolan, orang-orang
Arab justru menyembah batu dan mereka pandai berperang. Mereka juga
lihai dalam membuat syair lalu menggantungkannya di atas tirai-tirai
Ka'bah. Orang-orang Arab hidup di bawah naungan sistem kesukuan di mana
kepala suku adalah pemimpin dan nilainya sebanding dengan anak buahnya,
dan kemampuan mereka dalam berperang. Dan keutamaan seseorang dilihat
dari asal muasalnya serta nilainya juga dilihat dari kefanatikannya
serta kebanggannya kepada nasab yang merupakan kemuliannya, juga
kefanatikannya terhadap berhala tertentu yang merupakan agamanya. Jadi,
segala bentuk kemuliaan dan kewibawaan tidak terbentuk kecuali dalam
ruang lingkup yang sempit dalam kabilah atau kesukuan.
Sedangkan di tempat yang jauh
dari Mekah, Romawi menyerupai burung rajawali yang lemah, namun belum
sampai kehilangan kekuatannya. Orang-orang Romawi sangat menyanjung
kekuatan. Sedangkan di belahan timur dari utara negeri Arab, orang-orang
Persia menyembah api dan air. Api tetap menyala di tempat peribadatan
mereka di mana manusia rukuk untuknya. Dan di sana terdapat danau Sawah
yang dianggap suci oleh mereka.
Sementara itu, Kisra, raja kaum Persia duduk di atas
singgasananya dan memberikan keputusan terhadap manusia. Keputusan Kisra
selalu didengar dan dilaksanakan. Tidak ada seorang pun yang berani
menentangnya dan menolaknya. Orang-orang Persia berhasil mengalahkan
Romawi dan Yunani, sehingga mereka menjadi kekuatan yang dahsyat di muka
bumi. Meskipun mereka memiliki kekuatan yang sangat luar biasa, namun
penyembahan api jelas-jelas menunjukkan betapa bodohnya mereka dan
betapa kekuatan mereka diliputi oleh kebodohan sehingga akal mereka
tercabut dan mereka terhalangi untuk mencapai kebenaran. Alhasil,
kegelapan semakin meningkat di setiap penjuru bumi dan kehidupan berubah
menjadi hutan yang lebat di mana di dalamnya seorang yang kuat akan
menyingkirkan seorang yang lemah dan di dalamnya yang menang adalah
kebatilan.
Di
tengah-tengah suasana yang demikian kelam, lahirlah seorang anak di
tenda Mekah. Ketika anak tersebut lahir, maka padamlah api yang disembah
oleh kaum Persia dan keringlah danau Sawah yang disucikan oleh manusia,
bahkan robohlah empat belas loteng dari istana Kisra. Dan setan merasa
bahwa penderitaan yang besar telah merobek-robek hatinya. Ini semua
sebagai simbol dimulainya kehancuran kejahatan atau keburukan di muka
bumi dan terbebasnya akal manusia dari penyembahan terhadap sesama
manusia atau terhadap hal-hal yang bersifat khurafat. Manusia diajak
hanya untuk menyembah kepada Allah SWT. Kelahiran Rasul sebagai bukti
hilangnya kelaliman, sebagaimana kelahiran Nabi Musa yang menunjukkan
kebebasan Bani Israil dari kelaliman Fir'aun.
Ajaran Muhammad bin Abdillah merupakan ajaran revolusi
yang paling meyakinkan dan yang paling penting yang pernah dikenal di
dunia; ajaran yang bertugas untuk menyelamatkan dan membebaskan akal dan
materi. Tentara Al-Qur'an adalah tentara yang paling adil dan paling
berani untuk menghancurkan orang-orang yang lalim. Kita akan melihat
dalam sejarah Nabi bahwa kejadian-kejadian luar biasa telah mengelilingi
Ka'bah sebelum kelahirannya. Kemudian terjadilah peristiwa luar biasa
setelah kelahirannya di mana terjadilah peristiwa pembelahan dada pada
saat beliau masih kecil, begitu juga beliau dinaungi oleh awan di waktu
kecil, bahkan beliau terkenal pada saat masih kecil dengan kecenderungan
untuk meninggalkan permainan-permainan yang biasa dimainkan oleh
anak-anak kecil seusia beliau. Allah SWT memberikan penjagaan khusus
kepadanya sehingga Jibril as turun kepadanya dengan membawa wahyu.
Selanjutnya, mukjizatnya yang
pertama adalah mukjizat yang terdapat pada kepribadiannya dan
pemikiran-pemikirannya. Itulah yang menjadi mukjizatnya yang terbesar
setelah Al-Qur'an; itu adalah bangunan ruhani yang tinggi di mana beliau
mampu menahan penderitaan di jalan Allah SWT. Dan dalam menegakkan
kebenaran, beliau memikul berbagai macam rintangan. Beliau melaksanakan
amanat yang diembannya secara sempuma dan sebaik-baik mungkin. Hal yang
indah yang dikatakan tentang mukjizat Nabi setelah diutusnya beliau
adalah bahwa beliau tidak mempunyai mukjizat selain usaha membebaskan
akal: tanpa memiliki kekuatan luar biasa selain membebaskan pikiran,
tanpa dalil selain kalimat Allah SWT.
Sedangkan Isa bin Maryam telah berdakwah dan mengajak
manusia untuk menciptakan kesamaan, persaudaraan, dan cinta kasih di
antara mereka, namun Muhammad saw diberi karunia untuk mewujudkan
persamaan, persaudaraan, dan cinta kasih di antara orang-orang mukmin di
tengah-tengah kehidupannya dan setelah kehidupannya.
Ketika Nabi Isa mampu
menghidupkan orang-orang yang mati dan mengeluarkan mereka dari kuburan,
Muhammad bin Abdillah menghidupkan orang-orang hidup dari kematian
mereka yang tidak pernah mereka sadari. Itu adalah bentuk kematian yang
paling berat. Beliau juga mengeluarkan rnereka dari kegelapan dan
kebodohan menuju cahaya ilmu, dan dari belenggu syirik dan kekufuran
menuju dunia tauhid.
Sulaiman
sebagai seorang Nabi dan raja mampu memperkerjakan jin untuk mengabdi
padanya, bahkan mereka mampu terbang beribu-ribu mil untuk menghadirkan
singgasana musuh-musuhnya agar mereka semua tercengang terhadap
kemampuannya, sehingga mereka masuk Islam. Namun Muhammad saw justru
mengabdi kepada Islam hanya sebagai seorang tentara yang sederhana.
Beliau mengetahui bahwa ketika beliau lalai sesaat saja dari dakwah di
jalan Allah SWT, maka kesempatannya dalam menyebarkan agama Islam akan
hilang.
Di saat
terjadi peristiwa besar dalam peperangan, tiba-tiba azan salat
dikumandangkan, sehingga para pasukan yang berperang mengerjakan salat.
Tidak ada malaikat yang turun untuk melindungi mereka ketika salat atau
mencegah datangnya anak-anak panah dari punggung mereka saat sujud.
Karena itu, hendaklah para pasukan melindungi dirinya sendiri. Para
pasukan mukmin berusaha salat secara bergantian: sebagian mereka salat
dan sebagian mereka bertugas untuk menjaga.
Allah SWT berfirman:
"Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka
(sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan salat bersama-sama mereka, maka
hendaklah segolongan dari mereka berdiri (salat) besertamu dan
menyandang senjata, kemudian apabila mereka sujud (telah menyempurnakan
serakaat), maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk
menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum
bersembahyang, lalu bersembahyanglah mereka denganmu, dan hendaklah
mereka bersiap siaga dan menyandang senjata. Orang-orang kafir ingin
agar kamu lengah terhadap senjatamu dan harta bendamu, lalu mereka
menyerbu kamu dengan sekaligus."(QS. an-Nisa': 102)
Selesailah masalah itu dan
tidak adak malaikat yang turun untuk melindunginya dan menolongnya. Ini
adalah masa kematangan akal dan masa keletihan para nabi dan orang-orang
mukmin. Dan sesuai kadar keletihan mereka dalam menyampaikan ajaran
Islam, mereka pun akan mendapatkan balasan yang besar.
Pada masa para nabi sebelum
Nabi Muhammad saw, mereka menghadirkan mukjizat-mukjizat kepada kaum
mereka saat memulai dakwah, sehingga kaum tersebut mempercayai apa saja
yang mereka bawa, sedangkan Nabi Muhammad bin Abdillah tidak
menghadirkan kepada kaumnya selain dirinya dan ketulusannya.
Allah SWT telah memutuskan
untuk melindungi Musa dan memerintahkannya untuk mengangkat gunung di
atas kaumnya hingga mereka beriman kepada Taurat, atau untuk menjatuhkan
gunung tersebut di atas mereka. Ketika mengetahui hal yang Demikian
itu, orang-orang Yahudi sujud dengan meletakkan pipi mereka di atas
tanah dan mereka mengamati bukit batu yang berada di atas kepala mereka
yang diangkat oleh tangan yang tersembunyi. Sedangkan Nabi Muhammad bin
Abdillah tak pernah memaksa seseorang pun. Berimanlah beberapa orang
kepadanya dan puaslah beberapa orang kepadanya dan matilah bersamanya
orang-orang yang mati dalam keadaan puas. Beliau tidak membawa pedang
kecuali saat panah yang beracun mendekati jantung Islam dan
mengancamnya.
Dakwah
para nabi menuntut terjadinya mukjizat demi mukjizat. Ini karena masa
kekanak-kanakan manusia serta kelemahan akal dan hilangnya panca indera
menuntut rahmat Allah SWT untuk mendatangkan mukjizat yang sesuai dengan
masa turunnya mukjizat tersebut dan budaya masyarakat setempat. Adalah
hal yang maklum bahwa di tengah-tengah penduduk Mekah saat itu tidak
terdapat orang-orang yang cerdas atau orang-orang yang bijak yang mampu
menyerap kata-kata yang baik. Dan kesulitan yang dihadapi oleh Islam
adalah bahwa ia tidak diturankan pada masa ini saja, tetapi Islam
diturunkan untuk setiap masa. Allah SWT mengetahui bahwa manusia telah
memasuki masa kematangan berpikir yang mengagumkan, maka hikmah-Nya
menuntut bahwa pernyataan yang pertama kali disebutkan dalam risalah-Nya
adalah "iqra'" (bacalah). Di samping itu, risalah tersebut mengandung
pemikiran yang universal, sistem yang membangun, dan hukum yang
mempesona, serta kebebasan yang diidamkan, dan manusia yang sempurna.
Adalah tidak mengurangi
kehormatan para nabi sebelum Nabi Muhammad saw di mana mereka tidak
diutus di masa-masa kematangan pemikiran, tetapi yang menambah
kehormatan Nabi Muhammad saw bahwa beliau diutus di tengah-tengah masa
kematangan berpikir, dan beliau diutus sebelum datangnya masa ini.
Beliau memikul berbagai lipat cobaan yang pernah dipikul oleh para nabi;
beliau berdakwah dengan menanggung berbagai lipat godaan dan cobaan;
beliau mengalami siksaan yang pernah dialami oleh semua para nabi;
beliau mencintai Allah SWT sebagaimana para nabi mencintai-Nya. Allah
SWT memuliakannya ketika beliau mengimami mereka di saat salat pada saat
beliau melakukan Isra' dan Mi'raj. Meskipun demikian, ketika beliau
keluar pada suatu hari menemui sahabat-sahabatnya dan mendapati mereka
mengutamakan para nabi dan mendahulukannya atas mereka, maka beliau
justru menampakkan kemarahan dan wajahnya berubah. Beliau berkata:
"Janganlah kalian mengutamakan aku atas Yunus bin Mata."
Melalui pernyataan itu, beliau
berusaha meletakkan suatu pondasi pemikiran yang harus dilalui oleh
kaum Muslim di mana para nabi memang memiliki derajat tertentu di sisi
Allah SWT. Boleh jadi ada nabi yang lebih afdal atau yang lebih mulia
daripada yang lain. Siapakah yang menetapkan hal itu? Tidak ada seorang
pun selain Allah SWT. Ada pun kaum Muslim hendaklah mereka berhenti pada
batas tertentu yang seharusnya mereka berikan berkaitan dengan sopan
santun terhadap para nabi. Selama Allah SWT menyampaikan shalawat kepada
rasul sebagai bentuk penghormatan dan memerintahkan mereka untuk
menyampaikan shalawat kepadanya, dan selama Rasulullah seperti nabi-nabi
yang lain, maka hendaklah mereka juga bershalawat kepada semua nabi
tanpa perbedaan, meskipun pada bentuk shalawat itu sendiri.
Sementara itu, bayi yang
mungil itu yang lahir di Mekah bergerak setelah tahun gajah. Kemudian
berita tersebar di sana sini dan Sampailah ke telinga kakeknya bahwa
cucunya telah dilahirkan. Abdul Muthalib segera menuju ke tempat itu dan
membawa cucunya yang yatim lalu berkeliling dengannya di Ka'bah sambil
memikirkan namanya. Abdul Muthalib tidak merasa terpukau dengan
nama-nama yang mulai beredar di benaknya. Ia tampak bingung menentukan
nama yang paling tepat buat cucunya, bahkan kebingungannya itu berlanjut
sampai enam hari, sehingga sang Nabi disunat. Ketika malam telah
menyelimuti kawasan Mekah, datanglah kepadanya suara yang sama yang dulu
pernah dilihatnya dan didengarnya yang memerintahkannya untuk menggali
zamzam. Di tengah-tengah tidurnya, suara itu membisikkan kepadanya bahwa
nama cucunya berasal dari al-Ham, yang berarti Muhammad atau Ahmad.
Orang-orang Quraisy bertanya
kepada Abdul Muthalib: "Nama apa yang engkau berikan kepada cucumu?"
Abdul Muthalib menjawab sambil mengingat bisikan suara yang didengarnya
saat mimpi, "Muhammad." Nama tersebut sebenamya tidak umum di kalangan
orang-orang Jahilliyah. Mereka bertanya, "Mengapa Abdul Muthalib tidak
memakai narna-nama kakek-kakeknya dan nama-nama yang biasa dipakai di
kalangan mereka." Abdul Muthalib menjawab: "Aku ingin Allah SWT
memujinya di langit dan manusia memujinya di bumi."
Kami tidak mengetahui dorongan
apa yang mendikte Abdul Muthalib untuk menyatakan kalimat tersebut.
Apakah kalimat itu bersumber dari realitas kebanggaan orang-orang Arab
yang populer atau berasal dari realitas kebanggaan tradisional? Atau,
apakah berangkat dari realitas kegembiraan yang dalam dengan kelahiran
si cucu, ataukah kalimat itu bersumber dari suasana ruhani yang jernih
dan bisikan alam gaib? Tentu kami tidak bisa menjawab. Yang dapat kami
ketahui adalah bahwa seseorang tidak akan layak menyandang predikat
manusia yang dipuji di bumi dan dipuji oleh Allah SWT di langit seperti
predikat yang disandang oleh Muhammad bin Abdillah.
Nabi Muhammad saw muncul ke
alam wujud dalam keadaan yatim. Beliau ditinggalkan oleh ayahnya saat
beliau masih janin di dalam perut ibunya. Allah SWT berfirman:
"Bukankah Dia mendapatimu
sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu?" (QS. adh-Dhuha: 6)
Allah SWT melindunginya.
Orang-orang sufi mengatakan bahwa sebab-sebab kemanusiaan seperti adanya
kakeknya Abdul Muthalib dan bagaimana ia mengasuhnya dan melindunginya
tidak lain hanya bentuk lahiriah yang tidak begitu penting, sedangkan
bentuk batiniah yang sebenarnya adalah kita berada di hadapan manusia
yang dilindungi dan diasuh oleh Tuhannya sejak masih kecil. Allah SWT
mendidiknya saat beliau masih kecil, dan mengujinya dengan keyatiman
saat beliau masih janin serta mengujinya dengan kelaparan sejak masih
kecil, dan dewasa dengan kematian si ibu, saat beliau masih kecil dengan
keterasingan di tengah-tengah keramaian, dan dengan terjaga di
tengah-tengah tidur serta dengan penderitaan demi penderitaan. Allah SWT
telah menyiapkannya sejak usia dini untuk memikul beban risalah
terakhir.
Selanjutnya,
ibunya seringkali memeluknya lebih dari sebelumnya. Ia melihat bahwa
banyak dari wanita-wanita yang menyusui tidak berkenan untuk
mengasuhnya. Adalah sudah menjadi tradisi yang berkembang di Mekah di
mana keluarga-keluarga yang mulia mengirim anaknya ke kawasan dusun agar
anak tersebut menyerap dan menghirup udara segar serta memperoleh
mainan yang memadai. Dan biasanya wanita-wanita yang menyusui anak-anak
lebih tertarik menyusui anak-anak dari orang-orang kaya. Namun ketika
pemimpin manusia seorang yang fakir, maka wanita-wanita yang biasa
menyusui tidak berminat kepadanya.
Marilah kita telusuri bagaimana Halimah binti Abi Duaib
menceritakan kisahnya bersama anak kecil yang disusuinya: "Saat itu
terjadi musim tandus dan kami tidak memiliki sesuatu sehingga aku dan
suamiku mengalami kemiskinan yang luar biasa. Lalu kami menetapkan
keluar ke Mekah dan menemani wanita-wanita dari Bani Sa'ad. Kami semua
mencari anak-anak yang masih menvusu agar orang tua mereka dapat
membantu kami untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Binatang yang aku tunggangi sangat lemah dan sangat
kurus yang itu semua disebabkan oleh kekurangan makanan. Bahkan kami
khawatir kalau-kalau ia berhenti di tengah perjalanan dan mati. Dan kami
tidak tidur semalaman karena melihat kondisi anak kecil yang bersama
kami. Ia menangis karena tidak menemukan makanan yang dapat dimakannya.
Ia menangis karena kelaparan dan tidak mendapat air susu, baik dari air
susuku maupun air susu unta yang dibawa oleh suamiku, sehingga kami
tidak dapat memuaskan dahaganya. Di tengah-tengah malam, aku merasakan
keputusasaan. Aku bertanya-tanya bagaimana aku dapat melakukan sesuatu
dalam keadaan yang demikian.
Akhirnya, kami sampai di Mekah. Sementara itu,
wanita-wanita yang ingin mencari anak-anak yang dapat mereka susui telah
mendahului kami. Mereka mengambil anak-anak kecil yang mereka sukai,
kecuali satu anak, yaitu Muhammad di mana ayahnya telah meninggal dan ia
berasal dari keluarga yang miskin meskipun sebenarnya kedudukannya
sangat mulia di antara tokoh-tokoh Quraisy. Oleh karena itu,
wanita-wanita enggan untuk mengasuhnya. Namun aku dan suamiku tidak
sepaham dengan mereka karena aku tidak peduli dengan keyatiman dan
kcfakirannya. Kemudian aku malu untuk kembali dan tidak mengambil bayi
yang dapat aku susui kemudian. Di samping itu, aku malu jika mendapat
cercaan dari wanita-wanita itu. Lalu aku merasakan adanya kasih sayang
yang memenuhi hatiku terhadap anak kecil yang tampan itu yang akan
diganggu oleh udara yang kotor."
Kisah tersebut mengatakan bahwa saat anak-anak kecil
mendapatkan wanita-wanita yang menyusuinya, maka Muhammad bin Abdillah
sedang tidur dalam keadaan lapar di ranjangnya yang kasar, tanpa disusui
oleh siapa pun. Suatu hikmah yang tinggi berkehendak agar bayi yang
masih menyusui itu menghadapi dunia dalam keadaan yatim dan dalam
keadaan kelaparan agar ia dapat merasakan penderitaan anak-anak yatim
dan orang-orang yang lapar sebelum ia menyelamatkan mereka.
Halimah mengatakan bahwa ia
meyakinkan suaminya bahwa ia merasakan keinginan yang kuat untuk
mengambil anak yatim ini, sehingga suaminya menyetujuinya. Halimah tidak
mengetahui rahasia keinginannya yang samar agar ia kembali untuk
mengambil anak yatirn yang masih menyusu ini. Ia tidak mengetahui bahwa
Allah SWT telah menanamkan rasa cinta kepada anak kecil itu dalam
hatinya seperti Allah SWT menanamkan cinta kepada Musa pada hati isteri
Fir'aun. Jika Musa menolak wanita-wanita lain untuk menyusuinya kecuali
ibunya setelah Allah SWT mencegahnya dari susuan wanita-wanita lain agar
ibunya merasa bahagia dan tidak bersedih, maka Muhammad bin
Abdillah—seorang anak kecil yang masih menyusu dan mulia—-justru ditolak
oleh wanita-wanita yang menyusui, sedangkan ia sendiri tidak pernah
menolak seseorang pun.
Halimah
kembali kepadanya dan ia memberitahu bahwa ia akan mengasuhnya. Nabi
Muhammad saw adalah seorang yang mulia. Halimah meletakkan tangannya di
dadanya, sehingga anak kecil itu tertawa. Halimah mencium di antara
kedua matanya. la meletakkannya di kamarnya. Halimah mengetahui bahwa
kedua air susunya telah kering, namun tiba-tiba air susunya memancar
dengan keras sebagai bentuk kasih sayang dan tanda kebesaran dari Allah
SWT. Kini Halimah pun dapat menyusuinya. Apakah itu merupakan hikmah
yang tinggi di mana anak kecil tersebut merasa cukup dengan sesuatu yang
sedikit? Ataukah anak kecil itu sudah dapat mendidik dirinya untuk
zuhud dan qanaah sebelum ia mendidik orang-orang dewasa tentang
pengorbanan dan kesatriaan?
Halimah kembali ke gurun Bani Sa'ad dan ia membawa
Muhammad bin Abdillah. Belum lama ia menyaksikan tanahnya yang tandus
sehingga tiba-tiba kebaikan dunia terbuka dan mekar di hadapanya, di
mana bumi dipenuhi dengan kehijau-hijauan setelah mengalami masa tandus.
Pohon-pohon berbuah dan buah kurma tampak berseri-seri setelah
sebelumnya layu, bahkan susu-susu binatang pun mulai tampak banyak.
Allah SWT memberikan berkah-Nya kepada tempat tersebut. Halimah
mengetahui bahwa kabaikan ini telah datang bersama kedatangan anak kecil
yang diberkahi, sehingga cintanya kepada anak itu semakin bertambah.
Bahkan suaminya pun menjadi tawanan cinta yang lain kepada Muhammad saw.
Pada suatu hari ia berkata
kepada isterinya: "Apakah engkau mengetahui wahai Halimah bahwa engkau
telah mengambil seorang anak yang mulia?" Halimah berkata: "Anak kecil
itu tidak menangis dan tidak berteriak kecuali ketika ia telanjang."
Ketika anak kecil itu gelisah di tengah malam dan tidak tidur, maka
Halimah membawanya keluar dari kemah dan ia berhenti bersamanya di bawah
sinar bintang. Saat itu anak itu tampak bergembira ketika menyaksikan
langit. Setelah kedua matanya terpuaskan oleh pandangan ke arah langit,
ia pun mulai tidur.
Ketika
anak itu mencapai tahun yang kedua, maka ia telah disapih, sehingga
ibunya ingin mengambilnya, tetapi Halimah tidak kuat untuk menahan
perpisahan ini. Halimah menjatuhkan dirinya di hadapan kedua kaki sang
ibu dan ia mulai menciuminya dan ia meminta agar membiarkannya bersama
anaknya sehingga anak itu benar-benar kuat dan dapat kembali menghirup
udara segar gurun. Akhirnya, Rasulullah saw tinggal di tempat Bani Sa'ad
sampai lima tahun. Dan pada masa lima tahun ini terjadi peristiwa
penting yang terkenal dengan peristiwa pembelahan dada. Kehendak Ilahi
telah menetapkan kepada Ruhul Amin, yaitu Jibril untuk menemui Muhammad
bin Abdillah dan membelah dadanya dengan perintah Ilahi serta menyuci
hatinya dengan rahmat dan mengeringkannya dengan cahaya dan mengeluarkan
bagian dunia darinya.
Seperti
biasanya Rasulullah saw keluar pada suatu hari bersama saudara
susuannya dengan menunggangi sekawanan domba menuju tempat pengembalaan.
Di tengah hari, saudaranya berlari-lari dalam keadaan takut dan
menangis sambil berteriak bahwa Muhammad telah terbunuh. Muhammad
diambil oleh dua orang laki-laki yang memakai baju yang putih lalu kedua
orang itu menelentangkannya dan membelah dadanya.
Mendengar hal itu, Halimah
sangat kaget dan terpukul. Ia segera pergi sambil berlari mencari
Muhammad dan diikuti oleh suaminya yang mengikuti petunjuk anak kecil
dari saudara Muhammad. Akhirnya, mereka menemukan Muhammad sedang duduk
di atas tanah di mana wajahnya tampak pucat dan kedua matanya menyala.
Halimah dan suaminya mencium
dengan lembut dan mulai menampakkan kasih sayangnya. Kemudian mereka
bertanya, "apa yang terjadi?" Muhammad menjawab: "Ketika aku
memperhatikan domba-domba yang sedang bermain aku dikagetkan dengan
kedatangan dua orang yang memakai pakaian yang putih. Mula-mula aku
menyangka bahwa mereka adalah burung yang besar, namun ternyata aku
salah. Mereka adalah dua orang yang tidak aku kenal yang memakai pakaian
warna putih. Salah seorang dari mereka berkata kepada temannya dengan
menunjuk ke arahku, "Apakah ini anaknya?" Yang lain menjawab, "benar."
Aku merasakan ketakutan yang luar biasa. Lalu mereka mengambilku dan
menidurkan aku serta membelah dadaku dan mereka mengambil sesuatu
darinya hingga mereka mendapatinya dan membuangnya jauh-jauh. Setelah
itu, mereka bersembunyi laksana bayangan."
Hadis tersebut diriwayatkan oleh Anas dan juga
diriwayatkan oleh Muslim dan Ahmad. Para mufasir berbeda pendapat
tentang simbolisme yang dalam ini. Sebagaian besar ulama menakwilkan
peristiwa tersebut. Pakar-pakar klasik, seperti Qurthubi berpendapat
bahwa peristiwa itu diisyaratkan oleh firman-Nya: "Bukankah Kami telah
melapangkan untukmu dadamu?. " (QS. Alam Nasyrah: 1)
Sedangkan tokoh-tokoh hadis,
seperti Ghazali berpendapat bahwa manusia istimewa seperti Muhammad saw
tidak mungkin terlepas dari bimbingan Ilahi dan tidak mungkin terkena
waswas sekecil apa pun yang biasa menimpa manusia biasa. Jika suatu
kejahatan menjadi suatu gelombang yang memenuhi cakrawala, maka di sana
terdapat hati yang segera memungutnya dan terpengaruh dengannya, namun
hati para nabi dengan adanya bimbingan Allah SWT tidak akan terpanggil
dan tidak terkena arus kejahatan tersebut.
Dengan demikian, usaha para nabi terfokus pada
peningkatan kemajuan atau ketinggian, bukan memerangi kerendahan.
Diriwayatkan oleh Abdillah bin Mas'ud bahwa Rasulullah saw bersabda:
"Tidak ada seseorang di antara kalian kecuali ia diawasi oleh temannya
dari kalangan jin dan temannya dan dari kalangan malaikat." Para sahabat
berkata: "Apakah hal itu juga berlaku kepadamu wahai Rasulullah?"
Beliau menjawab: "Ya, tetapi Allah SWT membantuku, sehingga ia berserah
diri dan tidak memerintahkan kepadaku kecuali dalam kebaikan."
Begitulah sikap orang-orang
yang dahulu dan para ahli hadis berkaitan dengan peristiwa pembelahan
dada. Kami kira bahwa kejadian yang luar biasa tersebut berhubungan
dengan persiapan Nabi untuk melalui Isra' dan Mi'raj. Ia merupakan
perjalanan di mana Rasulullah saw akan menebus alam angkasa dan akan
mencapai alam langit. Kemudian beliau akan melampaui alam ini, sehingga
sampai di Sidratul Muntaha yang di sana terdapat Janatul Ma'wah.
Pandangan tersebut kembali
kepada pendapat kami yang mengatakan bahwa peristiwa pembelahan dada
berulang lebih dari sekali saat Rasul saw mencapai usia lima puluh
tahun. Dan peristiwa pembelahan dada terjadi kedua kalinya pada malam
Isra' dan Mi'raj.
Bukhari
meriwayatkan dari Malik bin Sh'asha'a bahwa Rasulullah saw menceritakan
kepada mereka peristiwa malam Isra' di mana beliau bersabda: "Ketika
aku berada di Hathim—atau beliau berkata di Hijr—saat aku dalam keadaan
antara tidur dan bangun, maka seorang datang kepadaku lalu ia membelah
antara ini dan ini. Yaitu antara kerongkongan dan perutnya. Beliau
melanjutkan: Lalu ia mengeluarkan hatiku dan membawa mangkok dari emas
yang penuh dengan keimanan lalu ia menyuci hatiku. Kemudian
diulanginya."
Kami
kira bahwa pembelahan dada merupakan bentuk simbolis yang menunjukkan
kesucian Rasul saw dan sebagai bentuk penyiapannya untuk melalui Isra'
dan Mi'raj. Itu merupakan pemberitahuan dari Ilahi bahwa anak ini akan
mencapai suatu kedudukan yang belum pernah dicapai oleh manusia dan
tidak akan dicapai manusia sesudahnya. Setelah peritiwa pembelahan dada,
berubahlah kehidupan anak kecil itu di mana sebagian besar waktunya
digunakan untuk merenung dan menyendiri. Dari roman wajahnya tampak
keseriusan yang biasanya menghiasi wajah orang-orang dewasa.
Berlalulah hari demi hari,
tahun demi tahun dan Selesailah masa menetapnya bersama Halimah di dusun
Bani Sa'ad. Beliau sangat terpengaruh dan sangat terkesan dengan
keadaan di sana. Diriwayatkan bahwa beliau pemah mengingat masa kecilnya
di Bani Sa'ad dan beliau membanggakannya. Beliau menyebutkan
pengorbanan mereka dan sikap mereka yang baik. Beliau berkata: "Aku
termasuk dari Bani Sa'ad, tanpa bermaksud menyombongkan diri. Jika
mereka berhadapan atau menyaksikan salah seorang mereka lapar, maka
mereka akan membagi makanan di antara mereka."
Kemudian Muhammad bin Abdillah kembali ke Mekah saat
usianya lima tahun. Beliau hidup beberapa hari bersama ibunya di mana si
ibu merasakan kesedihan yang dalam atas kepergian ayahnya. Sesuai janji
untuk mengingat ayahnya yang telah pergi, Aminah menetapkan untuk
mengunjungi kuburannya di Yatsrib. Jarak antara Mekah dan Yatsrib lebih
dari lima ratus kilo meter di gurun yang kering yang jauh dari
tanda-tanda kehidupan. Anak itu menempuh peijalanan yang berat. Setelah
perjalanan yang berat ini, Muhammad bin Abdillah tinggal di tempat
paman-paman dari ibunya di Madinah selama satu bulan. Muhammad melihat
rumah yang di situ ayahnya meninggal sebelum ia dilahirkan. Ia berziarah
bersama ibunya ke kuburan yang sederhana yang ayahnya dikuburkan di
dalamnya. Mula-mula pikirannya terfokus pada keadaan yatim sambil ia
mulai memperhatikan linangan air mata ibunya yang diam.
Selesailah masa satu bulan
keberadaannya di sisi paman-pamannya. Kemudian ibunya menemaninya untuk
kembali ke Mekah. Kedua anak manusia itu sampai di pertengahan jalan.
Muhammad bin Abdillah tidak mengetahui rahasia kepucatan wajah ibunya.
Lalu malaikatul maut turun di suatu tempat yang yang bernama Abwa. Di
situlah Aminah binti Wahab telah bertemu dengan kekasihnya, Allah SWT.
Sang ibu meninggal dan
meninggalkan anak satu-satunya bersama seorang pembantu. Pembantu itu
menampakkan rasa kasihnya terhadap anak kecil yang kehilangan ayahnya
saat masih janin dan kehilangan ibunya saat berusia enam tahun. Muhammad
bin Abdillah kini menjadi sendiri dan ia dalam keadaan menangis. Ia
mencapai kematangan setelah ia melewati kesedihan kehidupan dan kerasnya
kehidupan sebagai anak yatim.
Rasulullah saw pernah ditanya setelah masa diutusnya:
"Bagaimana pandanganmu?" Beliau menjawab: "Pengetahuan adalah modalku.
Akal adalah dasar agamaku. Cinta adalah pondasiku. Zikrullah adalah
kesenanganku. Dan kesedihan adalah temanku."
Allah SWT telah menyiramkan kepadanya sungai-sungai
kesedihan sehingga beliau dapat memberikan kepada manusia buah dari
kegembiraan dan ketulusan.
Anak kecil itu kembali ke Mekah dalam keadaan sedih dan
ia tampak terpaku. Lalu Abdul Muthalib, kakeknya menampakkan cinta yang
luar biasa dan penghormatan padanya. Setelah dua tahun ketika Muhammad
bin Abdillah berusia delapan tahun, maka meninggallah salah satu benteng
yang terbaik yang menjaganya, yaitu kakeknya Abdul Muthalib. Kemudian
anak kecil itu kini merenungi kakeknya laksana orang dewasa. Ia tampak
tegar seperti layaknya orang dewasa.
Kita tidak mengetahui mengapa terjadi demikian. Mengapa
hikmah Allah SWT mencegah Nabi yang terakhir untuk mendapatkan kasih
sayang seorang ayah, kasih sayang seorang ibu, dan bimbingan seorang
kakek? Apakah Allah SWT ingin memberi Nabi yang terakhir suatu kasih
sayang dan cinta yang semata-mata bersumber dari sisi-Nya? Apakah Allah
SWT ingin mendidiknya dengan kesedihan dan memberinya perasaan-perasaan
yang penuh dengan penderitaan? Apakah Allah SWT ingin membuat hati
Rasul-Nya hanya tertuju kepadanya? Dahulu Allah SWT berkata kepada Musa:
"Dan Aku telah memilihmu
untuk diri-Ku." (QS. Thaha: 41)
Dahulu Allah SWT memberi kabar gembira kepada Musa di
dalam Taurat sebagaimana Isa memberi kabar gembira di dalam Injil dengan
kedatangan seorang Nabi setelahnya yang bernama Ahmad. Dan Nabi Musa
meminta kepada Tuhannya agar memberinya dan memberi umatnya puncak
keutamaan, lalu Allah SWT menjawab bahwa Dia telah menetapkan keutamaan
ini kepada Nabi yang terakhir Ahmad dan umatnya.
Allah SWT telah memilih Musa untuk diri-Nya.
Meskipun Demikian, Dia tidak mencegahnya untuk mendapatkan kasih sayang
seorang ibu dan mendidiknya di tengah-tengah keluarganya. Namun Dia
berkehendak untuk menjadikan Nabi yang terakhir tercegah dari
mendapatkan kasih sayang seorang manusia dan cinta seorang manusia,
sehingga Nabi tersebut hanya mendapatkan kasih sayang Ilahi dan cinta
Ilahi.
Allah SWT
berfirman menceritakan tentang keadaan Rasul terakhir:
"Bukankah Dia mendapatimu
sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu. Dan Dia mendapatimu
sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk. Dan Dia
mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan
kecukupan. Adapun terhadap anak yatim, maka janganlah kamu berlaku
sewenang-wenang. Dan terhadap orang yang meminta-minta, maka janganlah
kamu menghardiknya. Dan terhadap nikmat Tuhanmu maha hendaklah kamu
menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur). " (QS. ad-Dhuha: 6-11)
Makna ayat tersebut secara
harfiah adalah bahwa beliau dalam keadaan yatim lalu Allah SWT
melindunginya; beliau dalam keadaan tersesat lalu Allah SWT memberinya
petunjuk; beliau dalam keadaan fakir lalu Allah SWT memampukannya. Allah
SWT melindunginya dengan mengasuhnya, membimbingnya, dan mencukupinya.
Itu adalah derajat keutamaan yang tidak pernah dicapai oleh seseorang
pun di dunia.
Setelah
kematian kakeknya, maka pamannya Abu Thalib mengasuhnya. Allah SWT telah
meletakkan kecintaan pada hati pamannya, sehingga pamannya mengutamakan
Muhammad saw daripada anak-anaknya dan memuliakannya serta
menghormatinya, bahkan Abu Thalib mendudukkannya di ranjangnya yang
biasa dibentangkannya di hadapan Ka'bah di mana tidak ada seorang pun
yang duduk selainnya.
Muhammad
bin Abdillah hidup di jantung gurun Mekah sebagai seorang yang memiliki
kesadaran yang tinggi di antara kaum yang sedang lalai dan kaum yang
mabuk-mabukan dan para penyembah berhala serta para pedagang minuman
keras dan para syair dan orang-orang yang berperang dan tokoh-tokoh
kabilah.
Muhammad bin
Abdillah seorang yang banyak diam dan ketika usianya semakin dewasa,
maka ia bertambah banyak diam. Beliau tidak berbicara kecuali jika
diajak seseorang berbicara; beliau tidak terlibat dalam permainan
hura-hura anak-anak muda; beliau merasakan kesedihan yang dalam; beliau
sering menyendiri dan membuka matanya di hamparan pasir-pasir. Mulutnya
terdiam dan akalnya berpikir. Beliau merenungkan di masa kecilnya
bagaimana kaumnya bersujud terhadap berhala dan terpukau dengannya;
bagaimana orang-orang berakal mau bersujud kepada batu-batu yang tidak
memberikan mudharat dan manfaat dan tidak berbicara serta tidak dapat
melakukan apa-apa. Beliau mewarisi dari kekeknya Ibrahim kebencian yang
fitri terhadap dunia berhala dan patung.
Di dalam dirinya terdapat penghinaan yang besar
terhadap sembahan-sembahan dari batu ini, suatu penghinaan yang
menjadikannya tidak mau mendekat selama-lamanya terhadap patung
tersebut. Namun hatinya yang besar dipenuhi dengan kesedihan yang lebih
hebat dari kesedihan kakeknya Ibrahim. Beliau sedih karena akal manusia
menyembah batu dan emas, kesombongan serta kekuasaan penguasa; beliau
mendengar apa yang dikatakan manusia dan mengamat-amati urusan kehidupan
dan keadaan masyarakat; beliau juga menyaksikan betapa banyak
pertentangan dan perkelahian di antara manusia yang justru disebabkan
oleh masalah-masalah yang sepele, sehingga keheranan beliau semakin
bertambah dan sudah barang tentu kesedihannya pun semakin dalam.
Tidakkah manusia mengetahui bahwa mereka akan mati seperti ayahnya,
ibunya, dan kakeknya? Mengapa mereka menimbulkan pertentangan ini,
hingga mereka mendapatkan lebih banyak kejahatan?
Ketika usianya semakin
bertambah, maka bertambahlah kezuhudannya dalam hidup, dan sepak
terjangnya terus bersinar memenuhi penjuru Mekah. Beliau tidak sama
dengan seseorang pun dari kalangan pemuda saat itu. Meskipun kami kira
bahwa kesedihannya disebabkan oleh hal-hal yang umum, tetapi beliau
tidak mengungkapkan kegelisahan hatinya pada seseorang pun. Beliau belum
bertujuan untuk memperbaiki masyarakat atau kemanusiaan. Benar bahwa
pertanyaan-pertanyaan kritis timbul dalam benaknya dan ingin segera
menemukan jawaban, tetapi akalnya sendiri tidak dapat menemukan jawaban
atau jalan keluar. Inilah yang dimaksud dengan makna ayat:
"Dan Dia mendapatimu sebagai
seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk." (QS. adh-Dhuha: 7)
Yang dimaksud ad-Dhalal
(kesesatan) di sini ialah kebingungan akal dalam menafsirkan kejahatan
dan usaha melawannya karena ketiadaan senjata dan kecilnya usia. Semua
itu justru menambah sikap diam anak kecil itu dan menjauhkannya dari
dunia yang akan mencemari akal, sehingga akalnya selamat dari segala
noda dan tetap di bawah naungan kejernihannya.
Anak kecil itu tetap jauh dari dosa-dosa yang dilakukan
oleh kaumnya yang berupa kecenderungan untuk menyembah berhala dan
cinta kekuasaan dan kebanggaan. Ia selalu mendekat dan lebih mendekat
kepada hakikatnya yang suci; ia mampu mempengaruhi orang lain dengan
jiwanya yang bersih dan rahmatnya atau kasih sayangnya tertuju kepada
manusia, bahkan kepada binatang dan burung. Ketika ia duduk akan makan
lalu ada burung merpati berkeliling di seputar makanannya rnaka ia
meninggalkan makanannya untuk burung itu. Pada saat orang-orang memukul
anjing yang mendekat kepada makanan mereka, maka ia justru mencabut
suapan yang ada di mulutnya dan memberikannya pada anjing, kucing,
anak-anak kecil, dan orang-orang fakir. Bahkan seringkali di waktu malam
ia tidur dalam keadaan lapar karena ia memberikan makanannya ke orang
lain.
Muhammad saw
adalah seorang fakir yang harus bekerja agar dapat makan, maka beliau
bekerja sebagai pengembala kambing, seperti Nabi Daud, Nabi Musa, dan
nabi-nabi yang lain yang diutus oleh Allah SWT. Kemudian beliau
melakukan perjalanan bersama kafilah pamannya Abu Thalib menuju Syam
saat beliau berusia tiga belas tahun. Beliau menyaksikan keadaan
umat-umat yang lain, maka keheranannya semakin bertambah terhadap masa
jahiliyah ini. Ketika beliau menyaksikan orang-orang tersesat, maka
kesedihannya semakin bertambah dan hatinya semakin tersentuh dan
pikirannya semakin dalam.
Pada saat perjalanan menuju ke Syam ini terjadi suatu
peristiwa terhadap anak kecil itu. Kemungkinan besar itu justru menambah
kebingungannya. Seorang pendeta yang bernama Buhaira berdiri di jendela
rumah yang menjadi tempat peribadatannya di Suria. Tiba-tiba ia
memperhatikan suatu awan putih—tidak seperti biasanya—yang menghiasai
langit yang biru. Saat itu udara sangat terang, sehingga munculnya awan
tersebut sangat mengherankan. Kemudian pandangan Buhaira yang tertuju ke
langit, kini tertuju ke bumi di mana ia mendapati awan itu menyerupai
burung yang putih yang menaungi kafilah kecil yang menuju ke arah utara.
Buhaira memperhatikan bahwa awan tersebut mengikuti kafilah.
Jantung Buhaira berdebar
dengan keras karena ia mengetahui melalui buku-buku peninggalan kaum
Masehi yang otentik bahwa seorang nabi akan muncul ke dunia setelah Isa.
Sifat dan kabar nabi tersebut diceritakan dalam buku-buku kuno. Buhaira
segera meninggalkan tempatnya, lalu ia segera memerintahkan untuk
menyiapkan makanan yang besar. Kemudian ia mengutus seseorang untuk
menemui kafilah tersebut dan mengundang mereka untuk jamuan makan. Salah
seorang mereka berkata dengan nada bercanda kepada Buhaira: "Demi Lata
dan 'Uzza, engkau hari ini tampak lain wahai Buhaira. Engkau tidak
pernah melakukan demikian kepada kami, padahal kami telah melewati dan
singgah di tempat ini lebih dari sekali. Ada peristiwa apa gerangan
wahai Buhaira?"
Buhaira
menjawab: "Hari ini kalian adalah tamu-tamuku." Pertanyaan orang
tersebut tidak dijawab dengan terang-terangan. Ia sengaja menghindarinya
dan tidak menyingkapkan rahasia kemuliaan yang datangnya tiba-tiba ini.
Buhaira memberi makan mereka dan mulai memperhatikan di antara mereka
adanya seseorang yang memiliki tanda-tanda yang dibacanya dalam
kitab-kitabnya yang kuno tentang seorang rasul yang ditunggu. Namun ia
tidak menemukannya, hingga ia bertanya kepada mereka: "Wahai kaum
Quraisy, apakah ada seseorang yang tidak hadir bersama jamuanku ini?"
Mereka menjawab: "Benar, ada seseorang yang tidak ikut bersama kami.
Kami meninggalkannya karena ia masih kecil." Buhaira berkata: "Sungguh
aku telah mengundang kamu semua. Panggilah ia supaya hadir bersama kami
dan memakan makanan ini." Salah seorang lelaki dari kaum Quraisy
berkata: "Demi Lata dan 'Uzza, sungguh tercela bagi kami untuk
meninggalkan Muhammad bin Abdillah bin Abdul Muthalib dari jamuan yang
kami diundang di dalamnya.
Pamannya meminta maaf karena Muhammad masih kecil,
kemudian sebagian mereka berdiri dan menghadirkannya. Belum lama Buhaira
memandangi kejernihan dua mata Muhammad, sehingga ia mengetahui bahwa
ia telah mendekati tujuannya. Buhairah terpaku ketika memandangi
Muhammad bin Abdillah sehingga kaum selesai makan dan mereka berpisah.
Muhammad bin Abdillah duduk
sendirian. Buhaira menghampirinya dan berkata: "Wahai anak kecil, demi
kedudukan Lata dan 'Uzza, sudikah kiranya engkau memberitahu aku
terhadap apa yang aku tanyakan kepadamu?" Buhaira ingin mengetahui sikap
anak ini terhadap berhala kaumnya. Anak kecil itu menjawab: "Jangan
engkau bertanya kepadaku tentang Lata dan 'Uzza. Demi Allah, tidak ada
sesuatu yang lebih aku benci daripada keduanya." Buhaira berkata:
"Dengan izin Allah aku ingin bertanya kepadamu." Anak kecil itu
menjawab: "Tanyalah apa saja yang terlintas di benakmu."
Buhaira bertanya kepada anak
kecil itu tentang keluarganya, kedudukannya di tengah-tengah kaumnya,
mimpinya dan pendapat-pendapatnya. Dialog tersebut terjadi jauh dari
pantauan kaum karena mereka tidak akan diam ketika mendengar bahwa
Muhammad membenci berhala-berhala mereka. Kemudian Muhammad menjawab
pertanyaan-pertanyaan Buhaira dengan yakin, hingga membuat Buhaira
mantap bahwa ia sekarang duduk bersama seorang Nabi yang kabar berita
gembiranya disampaikan oleh Nabi Isa sebagaimana disampaikan oleh
nabi-nabi dari kaum Israil dari kaum Nabi Musa. Setelah itu, ia bangkit
meninggalkan anak kecil itu dan menuju ke Abu Thalib ia bertanya tentang
kedudukan anak kecil itu di sisinya. Abu Thalib menjawab: "Ia adalah
anakku." Buhaira berkata: "Tidak mungkin ayahnya masih hidup." Abu
Thalib berkata: "Benar. Ia anak saudaraku. Ayahnya dan ibunya telah
meninggal." Buhaira berkata: "Engakau benar, kembalilah kamu ke negerimu
dan hati-hatilah dari kaum Yahudi." Abu Thalib bertanya tentang rahasia
dari apa yang dikatakan oleh pendeta itu. Pendeta itu mulai mengetahui
bahwa ia telah berbicara lebih dari yang semestinya. Lalu ia berkata:
"Ia akan memiliki kedudukan tertentu." Buhaira tidak menjelaskan lebih
dari itu dan ia tidak menentukan kedudukan yang dimaksud.
Lalu berlalulah peristiwa
tersebut tanpa terlintas dari benak seseorang atau tanpa menggugah
kesadaran di antara mereka. Kisah tersebut tidak membawa pengaruh
berarti bagi kafilah atau kepada Nabi sendiri. Kafilah menganggap bahwa
penghormatan pendeta kepada Muhammad bin Abdillah dan memberitahunya
akan kedudukan yang akan disandangnya adalah semata-mata basa-basi yang
biasa diucapkan di atas meja makan ketika para tamu memuji kedermawanan
tuan rumah. Dan sebagai balasannya, orang yang mengundang akan memuji
akhlak para pemuda mereka. Alhasil, peristiwa tersebut tidak membawa
pengaruh apa pun, baik bagi Muhammad maupun bagi sahabat-sahabat yang
ikut dalam kafilah, sehingga mereka tidak mengetahui rahasia perkataan
pendeta dan mereka tidak menyebarkan pembicaraan yang mereka dengar
darinya. Peristiwa itu tersembunyi meskipun ia sungguh sangat
membingungkan Muhammad.
Apa gerangan yang terjadi antara dirinya dan orang-orang
Yahudi, sehingga pendeta perlu mengingatkan pamannya dari ancaman
mereka? Apa kedudukan yang akan diembannya seperti yang diceritakan oleh
pendeta itu? Dan apa hubungan semua ini dengan kesedihan-kesedihannya
yang dalam serta kebingungannya? Pertanyaan-pertanyaan tersebut sedikit
demi sedikit berputar di benaknya. Kemudian seperti biasanya kafilah
tersebut kembali ke Mekah. Muhammad kembali menuju keterasingannya. Ia
memperhatikan keadaan alam di sekitarnya. Kemudian ia melihat kembali
penderitaannya; ia berusaha untuk mendapatkan kehidupannya; ia mengabdi
kepada manusia dan mengorbankan apa saja demi kemuliaan mereka.
Hari demi hari berlalu.
Muhammad saw tampil dengan pakaian ketulusan kasih sayang, dan amanah
serat cinta, sebagaimana pelita dipenuhi oleh cahaya, sehingga
kejujurannya terkenal di tengah-tengah kaumnya. Bahkan kejujuran dan
amanatnya tidak bakal diragukan oleh seseorang pun dari penduduk Mekah.
Dan ketika beliau datang dengan membawa risalahnya dan beliau ditentang
mayoritas masyarakatnya, namun tak seorang pun yang berani meragukan
kejujurannya. Mereka hanya menuduh bahwa ia terkena sihir atau
kesadarannya telah hilang.
Pada tahun ketiga belas dari masa kenabian, ketika semua
kabilah sepakat untuk membunuhnya dan mengucurkan darahnya di antara
para kabilah dan mereka mengepung rumahnya, maka di saat situasi yang
sulit ini beliau menetapkan untuk berhijrah. Tetapi sebelumnya beliau
mewasiatkan kepada Ali bin Abi Thalib, anak pamannya untuk tetap tinggal
di rumahnya agar ia dapat mengembalikan amanat yang dititipkan oleh
semua musuhnya dan para sahabatnya. Ini beliau maksudkan agar Ali dapat
menyerahkan amanat tersebut di waktu pagi kepada para pemiliknya. Anda
dapat melihat betapa para musuhnya merasa aman terhadap harta mereka
ketika dijaga oleh Muhammad saw.
Hari demi hari berlalu dan tahun demi tahun pun lewat.
Sementara itu, kesucian dan kejujuran Muhammad saw semakin meningkat.
Dan di tengah lautan keheningan yang mencekam, ketika Muhammad bin
Abdillah menyebarkan layar perahunya yang putih, maka ia harus menemui
hakikat azali yang bertemu dengan-nya semua nabi dan rasul. Muhammad bin
Abdillah mengetahui bahwa alam yang besar ini mempunyai Tuhan Pengatur
dan Pencipta; Tuhan yang Maha Satu dan yang tiada tuhan selain-Nya.
Muhammad dijauhkan dari
suasana kenikmatan dan foya-foya yang biasa dilakukan oleh para pemuda
seusianya. Dan ketika pemuda Mekah berbangga-bangga dengan banyaknya
minuman keras yang mereka minum dan banyaknya bait-bait syair yang
mereka katakan tentang wanita, maka Muhammad bin Abdillah telah
menemukan jati dirinya di suatu gua yang tenang di gunung yang besar. Ia
memilih untuk menghabiskan waktunya di dalam keheningan gua tersebut.
Ia merenung dengan hatinya tentang keadaan alam; ia memikirkan keagungan
rahasia-rahasianya dan rahmat Penciptanya serta kebesaran-Nya.
Pada tahun yang kedua puluh
lima, beliau mengenal Ummul Mu'minin, isterinya yang pertama, yaitu
Khadijah binti Khuwailid yang saat itu berusia empat puluh tahun.
Khadijah adalah wanita yang mulia dan mempunyai cukup harta. Ia
berdagang dan suaminya telah meninggal. Banyak orang yang mendekatinya
dengan alasan untuk mendapatkan kekayaannya. Khadijah mencari seseorang
laki-laki yang dapat membawa harta dagangannya menuju Syam, lalu
Khadijah mendengar berita yang cukup banyak berkenaan dengan kejujuran
dan amanat serta kesucian Muhammad bin Abdilah. Akhirnya, Khadijah
mengutus Muhammad saw untuk membawa barang dagangannya. Muhammad saw
pergi dalam perjalanannya yang kedua ke Syam saat beliau berusia dua
puluh lima tahun. Allah SWT memberkati perjalannya di mana beliau
kembali dengan membawa keuntungan yang berlipat ganda yang diserahkannya
kepada Khadijah. Muhammad saw tidak peduli dengan harta Khadijah dan
tidak peduli kepada kecantikannya; Muhammad saw hanya memandang
kemuliaan yang dipegangnya. Kemudian Khadijah merasakan getaran cinta
terhadap Muhammad saw. Dan Akhirnya, ia mengutarakan keinginan untuk
menikah dengannya, hingga Muhammad saw pun setuju.
Paman Muhammad saw, Abu Thalib
berdiri dan menyampaikan khotbah pada saat perayaan perkawinannya:
Muhammad saw tidak dapat dibandingkan dengan seorang pun dari kaum
Quraisy karena ia adalah seorang yang mulia, baik dari sisi akal maupun
ruhani. Meskipun ia seorang yang fakir namun harta adalah naungan yang
akan hilang dan benda yang bersifat sementara.
Setelah menikah, Muhammad saw justru mendapatkan
kesempatan yang lebih besar untuk merenung dan menyendiri serta
beribadah. Kemudian kehidupan yang dijalaninya justru meningkatkan
kemuliaannya, sehingga keutamaannya tersebar di sana sini. Beliau tidak
pernah terlibat dalam pergulatan yang keras untuk memperebutkan
materi-materi dunia. Beliau selalu menggunakan akal sehatnya daripada
terlibat dalam kesesatan mereka dan kegelapan berhala yang menyelimuti
banyak orang pada saat itu. Kemudian usianya kini mendekati empat puluh
tahun.
Setelah
merasakan kesunyian di tengah-tengah masyarakat, beliau lebih memilih
untuk menjauh dari mereka. Beliau mencari-cari hakikat, sehingga Allah
SWT membimbingnya untuk menyendiri di gua Hira. Akhirnya, beliau dapat
keluar dari Mekah. Beliau berjalan beberapa mil. Kemudian beliau mulai
mendaki dan mendaki. Setiap kali ia mendaki gunung, maka tempat itu
semakin luas. Udara tampak lembut dan tersingkaplah hijab, dan pandangan
semakin terbentang. Kemudian beliau memasuki gua. Keheningan
menyelimuti segala sesuatu, namun hati tetap sadar dan tidak ada sesuatu
yang dapat menghalang-halangi pandangan internal yang dalam. Dalam
suasana kesunyian terkadang lahirlah pemikiran-pemikiran yang cemerlang
yang kemudian menyebarkan sayap-sayapnya dan membumbung, pertama-tama di
atas angkasa gua lalu tersebar menuju ke tempat yang lebih luas. Tidak
ada sesuatu pun yang membatasinya atau mengekang kebebasannya.
Kita tidak mengetahui
pikiran-pikiran apa yang terlintas pada manusia termulia dan terbesar di
atas bumi itu saat beliau duduk di gua Hira beberapa bulan. Apa yang
beliau pikirkan dan apa gerangan yang beliau risaukan? Mimpi apa yang
ada di benaknya dan perasaan-perasaan apa yang lahir dalam hatinya?
Bagaimana keadaan batu-batu yang ada di sisinya? Apakah atom-atom batu
yang berputar di sekelilingnya menyahuti tasbihnya yang diam, seperti
atom-atom batu yang bersahut-sahutan bersama Daud saat ia membaca
kitabnya Zabur.
Kami
tidak mengetahui secara pasti bentuk kelahiran yang terjadi dalam
dirinya. Yang kita ketahui adalah bahwa beliau tidak berpikir tentang
kenabian dan beliau tidak berpikir untuk memberikan petunjuk kepada
manusia; beliau tidak melakukan praktek-praktek sufisme karena beliau
sudah menjadi seorang sufi sebelum diutus di tengah-tengah manusia.
Kemudian Allah SWT memilihnya sebagai Nabi lalu beliau meninggalkan
uzlahnya dan turun ke medan serta membawa senjata. Beliau mempertahankan
kebenaran, sehingga beliau bertemu dengan Tuhannya. Mula-mula lahirlah
tasawuf dan setelahnya lahirlah jihad di jalan Allah SWT. Tasawuf
bukanlah puncak atau hasil sebagaimana diyakini oleh manusia sekarang,
tetapi ia adalah permulaan jalan yang panjang di mana pada akhirnya yang
bersangkutan menggunakan senjata sebagai bentuk usaha untuk membela
manusia dan kehormatannya.
Pada suatu hari beliau duduk di gua Hira dan tiba-tiba
beliau dikagetkan dengan kedatangan Jibril yang berdiri di depan pintu
gua. Malaikat tersebut memeluknya erat-erat lalu memerintahkannya untuk
membaca sambil berkata: "Bacalah!" Muhammad bin Abdillah menjawab: "Aku
tidak mampu membaca." Beliau ingin mengatakan bahwa beliau tidak
mengenal bacaan dan tulisan. Kalau begitu, apa yang harus beliau baca?
Malaikat kembali memeluknya dengan kuat sehingga Rasulullah saw
menganggap bahwa ia meninggal. Kemudian malaikat melepasnya dan
memerintahkannya untuk membaca. Beliau kembali menjawab: "Aku tidak bisa
membaca." Malaikat yang mulia kembali memeluknya dan kembali
memerintahkan untuk membaca. Dan lagi-lagi Rasulullah saw menjawab
dengan gemetar: "Apa yang aku baca?" Kemudian Jibril membaca permulaan
ayat-ayat yang turun kepada beliau:
"Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang
menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah
dan Tuhanmulah Yang Paling Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan
perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak
diketahuinya." (QS. al-'Alaq: 1-5)
Setelah peristiwa itu, Jibril menghilang secara
tiba-tiba sebagaimana ia muncul secara tiba-tiba. Rasulullah saw
merasakan dalam dirinya kejadian yang luar biasa yang pernah dirasakan
oleh Nabi Musa saat beliau mendengar panggilan-panggilan suci di lembah
Thuwa. Sebagaimana Nabi Musa lari ketakutan, maka Muhammad bin Abdillah
pun segera menuju ke rumahnya dalam keadaan ketakutan. Ia turun ke
gunung dan kembali ke rumahnya dan kembali ke isterinya. Tubuhnya yang
mulia bergetar denga keras dan beliau merasakan ketakutan dan
kegelisahan.
Apakah
beliau kali ini berhubungan dengan jin atau alam perdukunan? Apakah
beliau telah mengigau sehingga beliau mendengar suara-suara dan melihat
wajah-wajah yang belum pernah dilihatnya? Rasulullah saw mengkhawatirkan
dirinya karena beliau sangat benci kepada perdukunan. Beliau memasuki
rumahnya dengan keadaan gemetar. Beliau berkata kepada isterinya:
"Selimutilah aku, selimutilah aku!" Kemudian isterinya segera
menyelimuti dengan selimut dari wol dan mengusap keringat yang berada di
keningnya. Isterinya dikagetkan dengan kepucatan wajah beliau yang
mulia dan kegemetaran tubuhnya.
Khadijah bertanya kepadanya: "Apa yang sedang terjadi?"
Kemudian Muhammad saw menceritakan secara detail apa yang dialaminya.
Kemudian ia berkata: "Sungguh aku khawatir terhadap diriku." Khadijah
mengetahui bahwa ia sekarang berhadapan dengan masalah yang serius,
suatu berita gembira yang ia tidak mengetahui hakikatnya, suatu berita
gembira yang seharusnya tidak dihadapi Muhammad saw dengan kekhawatirkan
dan kegelisahan.
Khadijah
berkata dengan maksud untuk meredakan ketakutannya: "Tenanglah. Demi
Allah, Allah SWT tidak akan menghinakanmu selama-lamanya. Sungguh engkau
adalah seorang yang baik, yang menyambung tali silaturahmi, yang
berbicara dengan jujur, dan yang menghormati tamu."
Meskipun kalimat-kalimat
tersebut penuh dengan kedamaian dan kesejukan, tetapi kegelisahan Rasul
saw juga belum hilang. Kemudian Khadijah pergi bcrsama beliau ke rumah
Waraqah bin Nofel, yaitu anak dari paman Khadijah. Waraqah adalah
seorang Nasrani dan dia mampu menulis kitab dalam bahasa Ibrani dan ia
cukup mengetahui kitab-kitab Taurat dan Injil di mana matanya telah buta
karena masa tua.
Khadijah
berkata kepadanya: "Wahai putra pamanku, dengarlah dari anak
saudaramu." Waraqah berkata: "Wahai anak saudaraku, apa yang engkau
lihat?" Rasulullah saw menceritakan apa yang dialaminya secara sempurna.
Waraqah berkata sambil mengangkat kepalanya yang tampak keheranan: "Itu
adalah Namus (Jibril) yang Allah SWT turunkan kepada Musa." Sebagai
seorang yang mengerti, Waraqah bin Nofel mengetahui bahwa ia berada di
hadapan seorang Nabi yang berita gembiranya disampaikan oleh Taurat dan
Injil.
Setelah
keheningan sesaat, Waraqah berkata: "Seandainya aku masih hidup ketika
kaummu mengeluarkanmu dan mengusirmu." Rasulullah saw bertanya: "Mengapa
aku harus diusir oleh mereka?'' Waraqah menjawab: "Benar, tidak ada
seorang pun yang akan datang seperti dirimu kecuali engkau akan
mengalami penderitaan dan pengusiran. Seandainya aku hadir di saat itu
niscaya aku akan menolongmu."
Demikianlah, akhirnya Islam pun dikembangkan. Kehendak
Allah SWT terlaksana dan Allah SWT telah memilih Nabi yang terakhir di
muka bumi dan orang Muslim yang pertama. Barangkali pembaca akan
bertanya: Apa hakikat dari Islam? Apabila Muhammad saw sebagai Nabi yang
terakhir yang diutus oleh Allah SWT di muka bumi dan kita mengetahui
bahwa para nabi semuanya sebagai Muslim, maka bagaimana beliau dapat
dikatakan mendahului mereka dalam keislaman dan menjadi orang Muslim
yang pertama?
Islam
yang dibawa oleh Muhammad saw tidak berbeda dalam esensinya dengan Islam
yang dibawa oleh Nabi Nuh, Nabi Musa, Nabi Isa atau nabi yang lain,
tetapi yang berbeda adalah bentuknya, sedangkan esensinya tetap seperti
semula, yakni berdasarkan tauhid. Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad
saw berbeda dalam bentuknya dengan Islam yang dibawa nabi-nabi
sebelumnya karena sebab yang penting, yakni bahwa Islam ini merupakan
ajaran yang universal dan berisi aspek kemanusiaan yang abadi. Islam
tidak terbatas atas orang-orang Arab tetapi ia berlaku atas semua
golongan. Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw tidak terbatas untuk
kabilah tertentu atau bangsa tertentu atau bumi tertentu atau lingkungan
tertentu atau zaman tertentu, tetapi ia untuk semua manusia. Atau
dengan kata lain, ia merupakan ajakan untuk membangkitkan akal manusia
di mana saja mereka berada tanpa ada batasan tempat atau waktu.
Universalitas ajaran Islam
tidak dikenal pada risalah-risalah Ilahi sebelumnya di mana setiap
risalah itu diperuntukkan bagi bangsa tertentu dan zaman tertentu. Oleh
karena itu, mukjizat-mukjizat yang mengagumkan yang bersifat temporal
seringkali mendukung risalah-risalah yang dahulu. Ketika Islam datang
sebagai bentuk ajakan untuk menghidupkan akal manusia secara bebas, maka
di sana tidak ada alasan untuk membawa mukjizat yang mengagum-kan.
Hanya ada satu kata yang dapat dijadikan pembuka untuk berdakwah dan
membuka akal manusia, yaitu kata "iqra"' (bacalah). Dan hendaklah
bacaan ini berdasarkan nama Allah SWT. Dengan nama Tuhanmu yang
menciptakan. Dia menciptakan manusia dari segumpal darah. Coba Anda
renungkan permulaan pertumbuhan dan puncak pencapaian. Di sini
tersembunyi mukjizat yang hakiki jika Anda berusaha mencari mukjizat
yang hakiki.
Bacalah,
dan Tuhanmu Yang Maha Mulia, yang memberikan nikmat penciptaan dan
rezeki serta rahmat dan kelembutan. Dia Maha Mulia yang mengajarkan
manusia apa saja yang tidak diketahuinya. Demikianlah esensi dari Islam,
yaitu ajakan untuk membaca. Ia adalah dakwah yang menunjukkan kedudukan
ilmu. Allah SWT berfirman:
"Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara
hamba-hamba-Nya hanyalah orang-orangyang berilmu (ulama)." (QS. Fathir:
28)
Takut kepada
Allah SWT tidak akan muncul kecuali berdasarkan ilmu. Mustahil kebodohan
dengan bentuk apa pun akan melahirkan rasa takut. Oleh karena itu,
dalam pandangan Islam ilmu adalah hal yang pokok. Ia bukan kemewahan dan
bukan hanya perhiasan. Kaum Muslim telah mengalami masa kemuliaan dan
kejayaan dan mereka berhasil menguasai bumi ketika mereka memahami Islam
secara benar, tetapi ketika pemahaman ini jauh dari mereka, maka mereka
kembali dalam keadaan yang paling buruk, bahkan lebih buruk daripada
masa jahiliah.
Jadi,
ilmu dalam Islam merupakan tujuan yang mulia dan utama dalam penciptaan
alam wujud. Kisah Nabi Adam dan Hawa, sebagaimana diceritakan oleh
Al-Qur'an adalah bukan semata-mata kisah kesalahan memakan pohon
tcrlarang, tetapi ia juga kisah yang memiliki dimensi-dimensi yang dalam
dan aspek-aspek yang beraneka ragam. Ketika Anda menyclami
kedalamannya, maka Anda akan dapat menemukan simbol-simbol dari
makna-makna yang lebih penting.
Dialog internal yang dialami oleh para malaikat tentang
rahasia pemilihan Nabi Adam untuk memakmurkan bumi dan menjadi khalifah
di dalamnya serta pengajaran yang diperoleh Nabi Adam tentang nama-nama
semuanya dan bagaimana beliau mengemukakan nama-nama tersebut kepada
para malaikat, serta ketidaktahuan mereka tentang nama-nama itu,
kemudian usaha Nabi Adam untuk memberitahu mereka tentang apa yang
diketahuinya serta pengetahuan para malaikat tentang rahasia pemilihan
Nabi Adam dan para keturunannya untuk memakmurkan bumi, semua ini
menjadikan tujuan dari penciptaan manusia adalah pencapaian ilmu atau
ma'rifah secara umum. Pandangan tersebut dikuatkan oleh firman Allah
SWT:
"Dan Ahu tidak
menciptakan jin dan manusia kecuali untuk menyembah-(Ku)." (QS.
adz-Dzariat: 56)
Lalu
bagaimana kita memahaminya saat ini dan bagaimana generasi yang pertama
dari kaum Muslim dan dari sahabat-sahabat Rasul saw dan para pengikutnya
dan para tentaranya memahaminya? Saat ini kita memahaminya dengan
pemahamam yang sederhana. Kita mengetahui bahwa kalimat "untuk
menyembah-Ku " berarti ritualitas dalam beribadah dan aspek-aspek
lahiriahnya, seperti mengucapkan kalimat syahadat, salat, puasa, haji,
zakat dan lain-lain. Sehingga orang-orang yang salat diperbolehkan untuk
menyembah Allah SWT di negeri mereka atau di rumah-rumah mereka,
meskipun mereka hidup di bawah pemikiran orang-orang Barat dan membeli
produk-produk yang dibuat mereka serta memanfaatkan ilmu dan kecanggihan
tehnologi orang-orang Barat. Namun mereka sendiri tidak menghasilkan
apa-apa. Mereka tidak dapat memberikan kontribusi kepada kehidupan;
mereka tak ubah-nya seperti bulu yang dimainkan oleh ombak. Sedangkan
pemahaman yang dahulu berkaitan dengan kalimat tersebut sebagai berikut:
"Dan Aku tidak menciptakan
jin dan manusia kecuali untuk menyembah-(Ku). " (QS. adz-Dzariat: 56)
Ibnu Abbas membacanya: "Illa
liya'rifuun." (Agar mereka mengetahui). Perhatikanlah bagaimana
pentingnya perbedaan antara praktek-praktek ibadah dengan
bentuk-bentuknya dan kedalamannya yang jauh dalam ma'rifah yang
menyebabkan rasa takut kepada Allah SWT. Orang Muslim yang pertama
meyakini bahwa Allah SWT menciptakannya agar ia mengetahui Allah SWT
atau agar ia mengenal Allah SWT. Sehingga ambisi orang Muslim yang
pertama sangat mengagumkan. Mereka pergi untuk membebaskan dunia
semuanya: satu tangan berpegangan dengan Al-Qur'an dan tangan yang lain
memegang pedang untuk menghancurkan belenggu-belenggu yang menyeret
manusia kepada kesesatan.
Kemudian jatuhlah dari Islam hakikat ilmu, sehingga umat
Islam tidak dapat memimpin kehidupan dan mereka justru men-dapatkan
kehinaan. Allah SWT berfirman:
"Allah menyatakan bahwasannya tidak ada Tuhan melainkan
Dia, Yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang
berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada Tuhan melainkan
Dia, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Sesungguhnya agama yang
diridhai di sisi Allah hanyalah Islam." (QS. Ali 'Imran: 18)
Setelah kesaksian kepada Allah
swt dan kesaksian kepada malaikat, maka disebutlah secara langsung
kesaksian kepada orang-orang yang berilmu. Maka, adakah penghormatan
terhadap ilmu yang lebih besar daripada penghormatan ini? Ilmu dalam
Islam berbeda dengan ilmu dalam peradaban Barat. Memang benar bahwa
Islam yang bertanggung jawab terhadap tumbuhnya pandangan ilmiah dan
metode eksperimental di mana berdasarkan metode ini tegaklah peradaban
Barat yang kemudian melahirkan berbagai produksi, pembuatan, dan
penemuan. Dan metode eksperimental adalah metode al-Istiqra, yaitu suatu
metode yang mengikuti bagian-bagian terkecil (parsial) melalui jalan
eksperimen yang dapat tunduk terhadap eksperimen dan melalui jalan
memperhatikan hal-hal yang tidak dapat tunduk terhadap suatu eksperimen,
atau melalui jalan matematis murni yang membutuhkan kepada matematis
murni di mana hal itu bertujuan untuk menyingkap hukum-hukum yang
menguasai benda. Sistem ini bidangnya adalah alam dan alatnya adalah
panca indera dan akal. Sistem ini dimanfaatkan oleh seorang Eropa yang
bernama Roger Bikun. Ia mengakui bahwa ia sangat berhutang kepada kaum
Muslim dan peradaban Islam.
Seorang guru yang bernama Bruicll dalam bukunya Abna'
al-Insaniah menceritakan tentang dasar-dasar peradaban Barat di mana ia
berkata: "Roger Bikun mempclajari bahasa Arab dan ilmu-ilmu Arab di
sekolah Oxford kepada guru-gurunya yang berasal dari Arab di Andalus.
Dan Roger Bikun dan Fenessis Bikun tidak dapat menisbatan keutamaan yang
mereka peroleh dalam menciptakan sistem eksperimental kepada diri
mereka sendiri. Roger Bikun hanya seorang duta dari duta-duta ilmu. Oleh
karena itu, ia tidak malu ketika menyatakan bahwa mempelajari bahasa
Arab dan ilmu-ilmu Arab adalah jalan satu-satunya untuk mengetahui
kebenaran."
Demikianlah
pernyataan pakar-pakar Barat yang jujur. Yang demikian ini bisa
dijadikan sanggahan terhadap orang-orang Barat yang tidak jujur agar
mereka mengetahui bahwa mereka sebenarnya mengambil senjata yang
sebenarnya berasal dari Islam. Dan jika dikatakan bahwa rahasia
kebangkitan Barat saat ini dan keunggulannya atas Timur kembali kepada
pengambilannya terhadap sebab-sebab metode eksperimental, yaitu metode
Islam, maka rahasia kehancuran Barat dan kebingungannya serta
kegelisahannya adalah karena mereka tidak menghubungkan metode tersebut
dengan kebesaran Allah SWT sebagaimana semestinya. Metode
eksperimen-tal—sebagaimana diambil orang-orang Barat—dimulai dari alam
dan berakhir kepadanya sebagai sesuatu tujuan. Jadi, ruang lingkup
pembahasan mereka adalah berkisar kepada materi, dan alat-alat
pembahasan adalah eksperimen dan pengamatan serta istiqra.
Tiada setelah alam kecuali
kematian dan kematian adalah rahasia yang misterius dan melawannya
adalah hal yang mustahil. Kita tidak mengetahui apa yang terjadi setelah
kematian; kita tidak mengetahui sesuatu pun tentang ruh. Tidak ada
hubungan antara ilmu dan akhlak; tidak ada jawaban dari ilmu tentang
tujuan kehidupan ini. Kita hanya mempelajari aspek-aspek lahiriah dan
mencapai hukum-hukumnya saja. Demikianlah pandangan Barat tentang ilmu
di mana ia hanya sekadar alat dan sarana untuk mengatur alam dan
berusaha menguasainya. Sedangkan metode ilmiah dalam Islam menyatakan
bahwa gerakan atom dengan gerakan sistem tata surya di bawah kendali Zat
Yang Maha Tahu dan Zat Yang Maha Pencipta. Ilmu dalam Islam justru
membimbing manusia untuk menuju Allah SWT:
"Dan bahwasannya kepada Tuhanmulah kesudahan (segala
sesua-tu). " (QS. an-Najm: 42)
Ilmu justru mengantarkan manusia untuk mencapai rasa
takut kepada Allah SWT sebagaimana membimbingnya beribadah kepadanya dan
mencintai-Nya:
"Sesungguhnya
yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah orang-orang
yang berilmu (ulama)." (QS. Fathir: 28)
Islam datang dan mengajak manusia untuk membaca,
mengetahui, dan takut kepada Allah SWT serta hanya beribadah kepadanya.
Jika ilmu merupakan sayap pertama di dalam Islam, maka sayap yang kedua
adalah kebebasan. Rasulullah saw memberitahu dan menyatakan bahwa tidak
ada Tuhan selain Allah SWT dan tidak ada sembahan selain Allah SWT.
Seruan ini mengisyaratkan
keruntuhan tuhan-tuhan yang mengusai bumi semuanya, baik tuhan yang
berupa kepentingan-kepentingan pribadi, kekayaan, raja, penguasa,
pemikiran-pemikiran yang mengusai manusia, warisan para kakek dan nenek,
berhala-berhala yang terbuat dari batu dan kayu, maupun berbagai macam
tuhan lain yang bohong. Adalah salah jika seseorang membayangkan bahwa
kalimat "tiada Tuhan selain Allah" hanya sekadar hiasan mulut seorang
Muslim di mana segala sesuatu yang ada di sekitarnya penuh dengan
kebohongan dan tidak membenarkan apa yang dikatakannya. Kalimat tersebut
dalam Islam merupakan per-gulatan besar bersama kegelapan yang ada pada
diri manusia, suatu pergulatan yang berakhir pada penyerahan diri;
pergulatan yang akan berpindah pada kehidupan yang lebih berat, sehingga
kehi-dupan akan berserah diri. Dan mustahil pergulatan itu akan terjadi
kecuali jika terpenuhi suatu kebebasan: kebebasan akal untuk meragukan
dan menolak dan kebebasan yang berakhir kepada pencapaian batas-batasnya
dan kemampuannya serta kebebasan yang meninggi untuk mencapai keimanan
yang dalam dan kokoh. Itu adalah tanggung jawab yang berarti bahwa ia
harus memikul senjata untuk membebaskan orang lain sebagaimana ia
membebaskan dirinya sendiri. Demikianlah esensi dari Islam, yaitu ilmu
yang berdiri di atas kebebasan dan tanggung jawab yang tumbuh dari
kebebasan, dan buah terAkhirnya adalah tauhid dalam kedalamannya
yangjauh.
Jika tauhid
dipahami secara benar, maka manusia akan terbebas dari penyembahan
selain Allah SWT: manusia akan bebas terhadap rasa takut dari kematian,
kekhawatiran atas rezeki, manusia akan terbebas dari sikap bakhil dan
ketakutan terhadap hari-hari yang akan datang.
Muhammad bin Abdillah datang nntuk menyerukan bahwa
hanya Allah SWT yang patut disembah dan bahwa semua manusia adalah
hamba-hamba-Nya. Dcngan membebaskan manusia dari menyembah sesama
mereka, maka kebcbasan yang hakiki telah dimulai. Rasulullah saw
memberitahu bahwa kematian adalah perpindahan dari satu rumah ke rumah
yang lain. Ia bukan akhiran yang misteri dari kehidupan yang tidak dapat
dipahami, tetapi ia hanya sekadar perpindahan. Takut kepada kematian
tidak akan menyelamatkan dari kematian itu sendiri, dan cinta kepada
kehidupan tidak akan memanjangkan ajal. Pada setiap ajal ada
ketentuannya. Maka keberanian merupakan unsur dari unsur-unsur
pembentukan kepribadian Islam dan bagian dari bagian-bagian sel yang ada
dalam tubuh seorang Muslim.
Rasulullah saw juga menyatakan bahwa rezeki di dunia
sudah dijamin dan ditentukan oleh Allah SWT:
"Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi
melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya. " (QS. Hud: 6)
Jibril mewahyukan kepada Rasul
saw bahwa suatu jiwa tidak akan memenuhi ajalnya sehingga rezekinya
disempurnakan. Jika demikian halnya, maka tidak ada alasan bagi manusia
untuk khawatir terhadap rasa lapar dan gelisah terhadap hari esok. Semua
ini terjadi dalam ruang lingkup mengambil atau melalui jalanjalan
menuju sebab. Yakni berusaha untuk mencapai rezeki yang merupakan
kewajiban bagi orang Muslim dan percaya terhadap kedermawan Allah SWT
yang juga merupakan suatu kewajiban bagi orang Muslim untuk
mempercayainya. Allah SWT berfirman:
"Dan di langit terdapat (sebab-sebab) rezekimu dan
terdapat (pula) apa yang dijanjikan kepadamu. " (QS. adz-Dzariat: 22)
Allah SWT telah menjamin
rezeki di dunia dan memerintahkan manusia untuk berusaha mencapai rezeki
di akhirat. Rezeki di dunia adalah sesuatu yang sudah dijamin, sehingga
manusia tidak perlu melakukan usaha yang terlalu sengit untuk
mencapainya. Cukup baginya untuk berusaha secara benar dan seimbang.
Sedangkan berkenaan dengan rezeki akhirat, Allah SWT memerin-tahkan
manusia untuk berusaha mencapainya karena ia adalah rezeki yang Allah
SWT tidak menjaminnya kecuali jika manusia berhasil melampaui dua jihad:
jihad yang besar dan jihad yang kecil. Jihad besar adalah jihad melawan
hawa nafsu dan jihad kecil adalah jihad melawan musuh di medan perang.
Dengan terbebasnya seorang
Muslim dari kerisauan pada kematian, rezeki, dan rasa takut, maka Islam
memberi seorang Muslim senjatanya dan alat-alatnya dan ia
memerintahkannya untuk mulai memerangi kekuatan-kekuatan kelaliman di
muka bumi. Allah SWT berfirman tentang umat Islam:
"Kamu adalah umat yang terbaik
yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan
mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah." (QS. Ali 'Imran:
110)
Perhatikanlah,
bagaimana Allah SWT menyebutkan amal makruf nahi mungkar sebelum
keimanan kepada Allah SWT. Ini dimaksudkan agar akal manusia tergugah
akan pentingnyajihad di jalan Allah SWT. Amal makruf dan nahi mungkar
tidak terwujud semata-mata dengan memegang tongkat dan mencambukannya
kepada punggung orang-orang Islam yang tidak salat; ia juga tidak berupa
usaha untuk menahan orang-orang Muslim yang tidak berpuasa. Masalah itu
lebih penting dan lebih besar dari sekadar memperhatikan hal-hal yang
bersifat lahiriah, sedangkan hal-hal yang bersifat batiniah tidak
diperhatikan.
Ayat
tersebut berarti, hendaklah seorang Muslim membawa senjata dan berdakwah
di jalan Allah SWT serta memerangi orang-orang lalim di muka bumi. Abu
Bakar berkata: "Wahai manusia, kalian membaca ayat berikut ini:"
"Hai orang-orang yang
beriman, jagalah dirimu. Tiadalah orang yang sesat itu akan memberi
mudharat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk," (QS.
al-Maidah: 105)
Dan
aku mendengar Rasulullah saw bersabda: "Sesungguhnya ketika masyarakat
melihat orang yang lalim dan mereka tidak menghentikannya, maka Allah
SWT akan menimpakan azab kepada mereka semua."
Penafsiran Abu Bakar terhadap ayat tersebut sangat
jelas artinya. Yakni bahwa pelaksanaan ayat tersebut dapat diwujudkan
dengan adanyajihad di jalan Allah SWT dengan mengangkat senjata sebagai
usaha untuk menghentikan orang-orang yang lalim. Setelah itu, seorang
Muslim dapat mengatakan: "Aku telah melaksanakan tugasku dan tidak akan
berdampak kepadaku orang yang sesat setelah aku memberikan petunjuk."
Demikianlah pemahaman
orang-orang Islam yang pertama. Maka bandingkanlah pemahaman tersebut
dengan pemahaman kita saat ini di mana kita telah kchilangan keberanian,
dan rasa takut telah menghinggapi tubuh orang-orang Islam. Kaum Muslim
lebih mengutamakan keselamatan diri mcrcka daripada memerangi
orang-orang yang lalim.
Muhammad bin Abdillah datang dengan membawa risalah
Islam yang di dalamnya terdapat perintah Ilahi untuk rnemerangi
orang-orang yang lalim dan mempertahankan kehormatan orang-orang yang
tertindas di muka bumi. Allah SWT berfirman:
"Karena itu, hendaklah orang-orang yang menukar
kehidupan dunia dengan kehidupan akhirat berperang di jalan Allah.
Barangsiapa yang berperang di jalan Allah, lalu gugur atau memperoleh
kemenangan, maka kelak akan Kami berikan kepadanya pahala yang besar.
Mengapa kamu tidak mau berperang dijalan Allah dan (membela) orang-orang
yang lemah baik laki-laki, wanita-wanita maupun anak-anak yang semuanya
berdoa: 'Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini yang lalim
penduduknya dan berilah kami pelindung dari sisi-Mu, dan berilah kami
penolong dari sisi-Mu. " (QS. an-Nisa': 74-75)
Muhammad bin Abdillah membacakan kepada
kaumnya tentang penafsiran Allah SWT berkenaaan dengan makna kejayaan
yang besar:
"Sesungguhnya
Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka
dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang di jalan Allah,
lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar
dari Allah di dalam Taurat, Injil, dan Al-Qur'an. Dan siapakah yang
lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah?, maka bergembiralah
dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang
besar." (QS. at-Taubah: 111)
Bacalah ayat tersebut dua kali dan renungkanlah tentang
kedermawan Allah SWT. Betapa tidak, Dia membeli jiwa orang-orang mukmin
dan harta mereka, padahal jiwa tersebut dan harta tersebut pada
hakikatnya adalah milik-Nya sendiri. Lihatlah bagaimana kemuliaan Allah
SWT di mana Dia membeli harta milik-Nya yang khusus dengan surga dan
bagaimana Allah SWT menganjurkan orang-orang Islam untuk berperang, dan
Dia memberitahu mereka bahwa urusan memerangi orang-orang lalim dan
orang-orang yang tersesat bukanlah hal yang baru atas orang-orang Islam.
Allah SWT telah memerintahkan hal tersebut dalam Injil dan Taurat.
Sebagaimana Nabi Isa diutus dengan pedang, seperti yang disebutkan dalam
lembaran-lembaran atau buku-buku orang-orang Nasrani, maka Nabi Musa
pun diutus dengan membawa pedang. Dan ketika Bani Israil berkata kepada
Nabi Musa, "pergilah engkau bersama Tuhanmu dan berperanglah, dan kami
hanya di sini duduk-duduk saja,", maka kehendak Ilahi menetapkan agar
mereka mendapatkan kesesatan selama empat puluh tahun sebagai akibat
dari perbuatan mereka itu, agar generasi yang lemah dan hina itu hancur
yang mereka justru tidak memenuhi panggilan Allah SWT dan mereka
membiarkan Nabi Musa bersama Tuhannya berperang, padahal peperangan itu
merupakan tanggung jawab mereka dan tugas mereka yang harus mereka emban
sebagai pengikut Nabi Musa.
Demikianlah esensi dari ajaran Islam sebagaimana yang
dibawa oleh Muhammad bin Abdillah. Yakni ajakan untuk membaca dan
menggali ilmu serta mendapatkan kebebasan dan yang terpenting adalah
usaha melawan kekuatan-kekuatan lalim. Suatu ajakan yang universal yang
tidak dikhususkan untuk kalangan tertentu atau untuk waraa kulit
tertentu atau untuk kaum tertentu atau untuk tempat tertentu; suatu
ajakan kemanusiaan yang komprehensif yang universal yang ingin mengikat
ilmu dan kebebasan dan jihad dengan tujuan yang lebih tinggi, yaitu
mencapai tauhid kepada Allah SWT dan menyucikan-Nya serta keimanan
terhadap hari kemudian dan kebangkitan manusia semuanya di hadapan Allah
SWT.
Adalah salah
jika ada orang yang menganggap bahwa Islam hanya memperhatikan aspek
akhirat dan melupakan aspek duniawi. Menurut Islam dunia adalah
lembar-lembar jawaban yang akan dikoreksi di hari akhir. Ia adalah ujian
dan tempat percobaan bagi manusia agar manusia mengetahui apakah ia
layak untuk menda-patkan kemuliaan dari Allah SWT yang telah diberikan
kepada Adam. Atau apakah iajustru layak untuk jadi bagian dari tanah
neraka Jahim dan batunya, sebagaimana firman Allah SWT:
"Yang bahan bakarnya manusia
dan batu. " (QS. al-Baqarah: 24)
Rasulullah saw telah menjelaskan hikmah dari penciptaan
manusia, penciptaan kehidupan dan kematian ketika beliau menyampaikan
firman Allah SWT dalam surah al-Mulk:
"Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji
kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amabiya. " (QS. al-Mulk: 2)
Dunia adalah rumah
pergulatan. Dan Allah SWT telah menciptakan kehidupan dan kematian agar
manusia menyadari siapa di antara mereka yang terbai amalnya. Tentu
pengetahuan ini tidak akan menambah kekuasaan Allah SWT. Pengetahuan itu
justru dibutuhkan oleh manusia. Allah SWT menciptakan manusia agar
menusia mengetahui, danpengetahuan yang paling penting adalah
pengetahuan atau pengenalan terhadap diri. Dan pada hari kiamat manusia
akan mengenal dirinya secara sempurna dan ia akan mengenal balasan yang
akan diterimanya secara sempurna.
Dan barangkali mukadimah yang kami sarikan dari hari
akhir ini mengharuskan kehidupan di atas bumi dipenuhi dengan kesucian
dan kebersihan, yaitu diliputi dengan kemanusiaan yang sempurna yang di
dalamnya manusia layak untuk hidup. Demikianlah Islam yang dibawa oleh
Muhammad saw. Inilah asasnya dan hakikatnya. Itu adalah pondasi dan
hakikat yang tidak diciptakan oleh Muhammad saw dan tak didahului oleh
rasul-rasul sebelumnya. Hakikat risalah-risalah yang dulu semuanya
adalah tauhid dan mempertahankan kebenaran serta keimanan terhadap hari
akhir dan menyerahkan jiwa dan anggota tubuh hanya kepada Allah SWT.
Yang baru dalam Islam adalah ilmu, kebebasan dan universalitas ajaran
Islam serta warna keadilan yang sangat kental, sehingga sangat tepat
jika dikatakan bahwa karakter dari Islam adalah keadilan. Barangkali
bagian ini perlu diperhatikan.
Meskipun agama-agama samawi pada esensinya satu, tetapi
kehendak Allah menuntut turunnya lebih dari agama dan lebih dari satu
nabi. Kehendak tersebut menuntut agar pada setiap agama terdapat
karakter yang khusus yang menggambarkan bentuk yang paling tepat sesuai
dengan kebutuhan utama yang di situ agama itu diturunkan dan sesuai
dengan waktu saat itu. Orang-orang Yahudi misalnya, mereka hidup di
tengah-tengah suasana penyembahan berhala dikalangan orang-orang Mesir
kuno. Yahudisme diturunkan pada Bani Israil yang suka membangkang dan
karena itu, karakter utamanya adalah ketegasan (as-Sharamah) agar mereka
tidak terpengaruh dengan fenomena berhalaisme ala Mesir atau mereka
terkena pengaruh dari tindakan semena-mena Fir'aun. Dengan ketegasan
inilah agama Yahudi selamat dan dapat menjadi risalah penyelamatan dan
pembebasan.
Namun
Bani Israil yang memperbudak manusia dan mempunyai hati yang keras pada
saat yang sama mereka keluar dari Fir'aun untuk masuk ke cengkraman
orang-orang Romawi di mana orang-orang Romawi justru lebih lalim dan
lebih kuat dari orang-orang Mesir. Oleh karena itu, orang-orang Masehi
bertanggung jawab untuk melakukan pembebasan baru tetapi dengan cara
yang berbeda sesuai dengan perubahan keadaan. Cara tersebut adalah
menjauhkan penggunaan kekuatan bersenjata karena kekuatan orang-orang
Romawi mengungguli kekuatan saat itu dan menguasai bumi secara
keseluruhan. Maka kemenangan yang mungkin dapat diperoleh adalah dengan
cara menghindari tindak kekerasan dan lebih mengutamakan pendekatan
cinta. Dan pada kali yang lain orang-orang Masehi memperoleh kemenangan
melalui cara kedamaian dan cinta yang disebarkannya atas imperialisme
Romawi dengan segala senjatanya dan kekuasaannya.
Adapun Islam datang sebagai
agama yang terakhir dan menyeluruh yang layak untuk diterapkan di muka
bumi, sehingga Allah SWT mewariskan bumi dan apa saja yang ada di
dalamnya kepada orang-orang yang berhak mewarisinya. Oleh karena itu,
agama yang terakhir ini harus mempunyai karakter khusus dan karakter itu
adalah karakter keadilan.
Ketegasan hanya cocok untuk zaman tertentu dan kelompok
tertentu dan keadaan tertentu, sedangkan cinta adalah contoh yang
tertinggi, tetapi ia tidak dapat menjadi sesuatu tolok ukur untuk
dibandingkan dengan tindakan-tindakan tertentu atau untuk dijadikan alat
untuk melakukan sesuatu. Dan jika ia menjadi tolok ukur bagi
orang-orang yang memilki perasaan yang tinggi atau budaya yang tinggi,
maka ia tidak dijadikan tolok ukur umum dan universal. Adapun keadilan,
maka ia menjadi karakter Islam yang berarti keseimbangan dalam
sifat-sifat keutamaan dan meletakkan segala sesuatu pada tempatnya. Ini
adalah tolok ukur yang menyeluruh dan barometer yang akhir. Dan
barangkali kebesaran keadilan dan pengaruhnya dalam pengaturan alam
bersandarkan kepada firman Allah SWT:
"Allah menyatakan bahwasannya tidak ada Tuhan melainkan
Dia. Yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang
berilmu (juga menyatakan yang demikian itu)." (QS. Ali 'Imran: 18)
Apabila Allah SWT dalam Islam
merupakan cermin yang tertinggi, maka keadilan yang disaksikan oleh
Allah SWT terhadap diri-Nya sendiri harus menjadi karakter Islam dan
kaum Muslim. Keadilan dalam Islam bukan hanya keadilan ekonomi atau
keadilan hukum atau keadilan dalam balasan, tctapi ia mencakup semuanya.
Sebelum semua ini dan sesudahnya, kcadilan dalam Islam merupakan suatu
sistem dalam kehidupan dan metode utama dalam Islam.
Ketika Anda memalingkan
pandangan Anda dalam Islam, maka Anda akan menemukan keadilan menghiasi
seluruh wajah Islam. Di sana terdapat keadilan antara agama-agama yang
dulu, keadilan antara individu dan masyarakat, keadilan antara dunia dan
agama, keadilan antara pria dan wanita, keadilan untuk orang-orang yang
fakir dan orang-orang yang kaya, keadilan antara para penguasa dan
rakyat, bahkan dengan keadilan itu sendiri bumi dan langit ditegakkan
dan Allah SWT menyebut diri-Nya sebagai al-'Adl (Yang MahaAdil).
Selanjutnya, Islam adalah
agama yang sudah lama sebagaimana lamanya kedatangan para nabi. Nabi Nuh
as berkata dalam surah Yunus:
"Jika kamu berpaling (dari peringatanku), aku tidak
meminta upah sedikit pun darimu. Upahku tidak lain hanyalah dari Allah
belaka dan aku disuruh supaya aku termasuk golongan orang-orang yang
berserah diri (kepadanya)." (QS. Yunus: 72)
Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail as berkata dalam surah
al-Baqarah saat keduanya membangun Ka'bah:
"Ya Tuhan kami, terimalah dari kami (amalan kami),
sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Ya
Tuhan Kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduh patuh kepada Engkau
dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara dan tempat-tempat ibadat haji
hami, dan terimalah tobat kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha
Menerima taubat lagi Maha Penyayang. " (QS. al-Baqarah: 127-128)
Nabi Ibrahim tidak lupa untuk
berwasiat kepada keturunannya dan di antara mereka adalah Yakub agar
mereka mati dalam keadaan Islam. Allah SWT berfirman:
"Dan Ibrahim telah mewasiatkan
ucapan itu kepada anaknya, Demikian pula Yakub. (Ibrahim berkata): 'Hai
anak-anakku, Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka
janganlah hamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam.'" (QS.
al-Baqarah: 132)
Ketika
kematian mendekati Yakub, beliau mengumpulkan anak-anaknya di
sekelilingnya dan bertanya kepada mereka:
"Apa yang kamu sembah sepeninggalku? Mereka menjawab:
'Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenak moyangmu, Ibrahim, Ismail,
dan hhaq, (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan kami hanya tunduk patuh
kepadanya.'" (QS. al-Baqarah: 133)
Allah SWT memberitahu kita dalam surah Yunus tentang
perkataan Nabi Musa kepada kaumnya:
"Hai kaumku, jika kamu beriman kepada Allah, maka
bertawakallah kepada-Nya saja, jika kamu benar-benar orang yang berserah
diri." (QS. Yunus: 84)
Sementara itu, Nabi Sulaiman adalah seorang Muslim
sesuai dengan nas ayat-ayat yang menceritakan tentang kisahnya bersama
Ratu Saba' ketika Ratu tersebut berkata:
"Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah berbuat lalim
terhadap diriku dan aku berserah diri bersama Sulaiman kepada Allah,
Tuhan semesta alam." (QS. an-Naml: 44)
Demikian juga Nabi Yusuf, beliau berdoa kepada Allah
SWT dan meminta kepadanya agar mematikannya sebagai orang Muslim dan
memasukannya dalam kelompok orang-orang yang saleh. Allah SWT berfirman
dan bercerita tentang Yusuf dalam surah Yusuf:
"Ya Tuhanku, sesungguhnya Engkau telah menganugerahkan
kepadaku sebagaian kerajaan dan telah mengajarkan kepadaku sebagian
ta'bir mimpi. (Ya Tuhan) Pencipta langit dan bumi, Engkaulah Pelindungku
di dunia dan di akhirat, wafatkanlah aku dalam keadaan Islam dan
gabungkanlah aku dengan orang-orang yang saleh." (QS.Yusuf: 101)
Sementara itu dalam surah
al-Maidah, Allah SWT mewahyukan kepada kaum Hawariyin agar mereka
beriman kepadanya dan kepada rasul-Nya lalu mereka berkata:
"Kami telah beriman dan
saksikanlah (wahai rasul) bahwa Sesungguhnya kami adalah orang-orang
yang patuh (kepada seruanmu)." (QS. al-Maidah: 111)
Jadi, Nabi Nuh, Nabi Ibrahim,
Nabi Ismail, Nabi Yakub, Nabi Musa Harun, Nabi Sulaiman, Nabi Yusuf,
Nabi Isa adalah nabi-nabi yang Muslim sesuai dengan nas ayat-ayat
tersebut. Maka seluruh nabi adalah orang-orang Muslim, lalu bagaimana
Nabi Muhammad saw sebagai Nabi yang terakhir dikatakan sebagai orang
Muslim yang pertama?
Allah
SWT berfirman dalam surah al-An'am yang ditujukan kepada Nabi yang
terakhir:
"Katakanlah:
'Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk
Allah, Tuhan semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah
yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama
menyerahkan diri (kepada Allah).'" (QS. al-An'am: 162-163)
Maka, bagaimana beliau menjadi
orang Muslim yang pertama, padahal penamaan umat beliau dengan sebutan
al-Muslimin adalah penamaan yang sebenarnya sudah dahulu dikenal di
kalangan nabi-nabi yang terdahulu dan kedatangannya ke alam wujud dan
penamaan agamanya dengan sebutan al-Islam sebenarnya berhutang kepada
kakeknya yang jauh, yaitu Nabi Ibrahim. Allah SWT berfirman dalam surah
al-Hajj:
"Dan Dia
sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.
(Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia telah menamai kamu sekalian
orang-orang Muslim dari dahulu. " (QS. al-Hajj: 78)
Tidak ada pertentangan dalam
pendahuluan para nabi dengan sebutan al-Muslimin daripada Rasulullah saw
dan kedudukan beliau sebagai orang Muslim yang pertama. Tentu kata
al-Awwal (yang pertama) di sini tidak dipahami dari sisi waktu atau masa
kemunculan, tetapi yang dimaksud dengan orang Muslim di sini adalah
akmalul muslimin (orang yang paling sempurna di antara orang-orang
Muslim). Suatu kali Aisyah pernah ditanya tentang akhlaknya Rasulullah
saw lalu dia menjawab dengan kalimatnya yang singkat: "Akhlak beliau
adalah Al-Qur'an."
Kita
mengetahui bahwa Al-Qur'an al-Karim menetapkan akhlak yang mulia
meskipun dalam batasannya yang sederhana dan rendah, dan menyebutkan
keutamaan akhlak dalam tingkatannya yang tinggi. Oleh karena itu, akhlak
seperti apa yang dimiliki oleh Rasulullah saw: apakah beliau memiliki
akhlak yang sifatnya tengah-tengah, atau apakah beliau mendahului dalam
kebaikan, atau apakah beliau termasuk ashabul yamin (orang-orang yang
berasal di sebelah kanan), atau apakah beliau termasuk al-Muqarrabin
(orang-orang yang dekat dengan Allah SWT)?
Rasulullah saw tidak hanya memiliki semua karakter
tersebut dan atribut tersebut, bahkan kedudukan beliau lebih dari itu
semua. Beliau berada di puncak dari segala puncak keutamaan akhlak,
sehingga beliau berhak untuk mendapatkan sebutan dari Allah SWT:
"Dan sungguh pada dirimu
terdapat budi pekerti yang agung. " (QS. al-Qalam: 4)
Para Mufasir berbeda pendapat
tentang makna dari al-Huluqul 'adzim (budi pekerti yang agung).
Sebagian mereka mengatakan bahwa yang dimaksud adalah Al-Qur'an.
Sebagian yang lain mengatakan itu adalah Islam. Ada juga yang mengatakan
bahwa beliau tidak memiliki sesuatu kecuali keinginan untuk menuju
jalan Allah SWT.
Dalam
Al-Qur'an al-Karim terdapat penjelasan tentang derajat beliau yang
tinggi dalam dua ayat yang mulia. Ayat yang pertama adalah firman-Nya:
"Katakanlah: 'Sesungguhnya
Shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan
semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang
diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama
menyerahkan diri (kepada Allah).'" (QS. al-An'am: 162-163)
Beliau adalah orang yang
paling utama di antara manusia semuanya; beliau memiliki keutamaan yang
melebihi semua manusia; beliau memiliki rahmat dan kemuliaan yang tidak
dapat ditandingi oleh seseorang pun. Meskipun beliau datang sebagai Nabi
yang terakhir namun justru karena posisi beliau sebagai Nabi yang
terakhir, maka beliau menjadi bata yang terakhir dalam pembangunan rumah
kenabian yang tinggi, sehingga bata yang terakhir itu harus menjadi
puncak pembangunan manusia. Sedangkan ayat yang kedua adalah firman-Nya:
"Dan Kami tidak mengutusmu
kecuali sebagai rahmat bagi alam semesta." (QS. al-Anbiya': 107)
Beliau bukan hanya menjadi
rahmat bagi orang-orang Arab saja; beliau bukan hanya menjadi rahmat
bagi orang-orang Quraisy dan beliau bukan menjadi rahmat bagi zamannya
saja, begitu juga beliau tidak menjadi rahmat bagi jazirah Arab saja,
tetapi beliau menjadi rahmat bagi alam semesta; beliau senantiasa
menjadi rahmat bagi alam semesta: dimulai dari diturunkannya wahyu
kepadanya dengan kalimat iqra hingga Allah SWT mewariskan bumi dan apa
saja yang ada di dalamnya kepada orang-orang yang berhak mewarisinya
sampai hari kiamat. Alhasil, beliau adalah rahmat yang dihadiahkan
kepada manusia; beliau adalah rahmat yang tidak menonjolkan mukjizat
yang mengagumkan, tetapi beliau adalah rahmat yang memulai dakwah dengan
mengutamakan fungsi akal atau pembacaan dua kitab: pertama, pembacaan
kitab alam atau Al-Qur'an yang diciptakan atau kalimat-kalimat Allah SWT
yang terdiri dari jutaan bentuk dan kedua pembacaan Al-Qur'an yang
diturunkan melalui malaikat Jibril di mana ia merupakan kalamullah yang
abadi. Dan kitab alam dibaca dengan ribuan cara: dibaca melalui
penelusuran dunia:
"Katakanlah:
'Berjalanlah kamu di mnka bumi dan amat-amatilah.'" (QS. an-Naml: 69)
Atau dibaca melalui usaha
menyingkap misteri dan penggunaan akal:
"Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda
(kekuasaan) Kami di segenap penjuru dan pada diri mereka sendiri,
sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al-Qur'an itu adalah benar. " (QS.
Fushilat: 53)
Atau
dibaca melalui ilmu dan pengamatan:
"Atau siapakah yang telah menjadikan bumi sebagai tempat
berdiam, dan yang telah menjadikan sungai-sungai di celah-celahnya, dan
yang menjadikan gunung-gunung untuk (mengokohkan)nya dan menjadikan
suatu pemisah antara dua laut 1 Apakah di samping Allah ada tuhan (yang
lain)? Bahkan (sebenarnya) kebanyakan dari mereka tidak mengetahui."
(QS. an-Naml: 61)
Jika
di sana terdapat ribuan jalan atau cara untuk membaca kalimat-kalimat
Allah SWT dan kitab alam, maka di sana terdapat satu jalan untuk membaca
kalamullah yang abadi, yaitu hendaklah Al-Qur'an dibaca dengan mata
hati dan kecermelangan basirah, sehingga Al-Qur'an menjadi bagian akhlak
dari yang membaca sesuai dengan kemampuannya.
Sebelum turunnya Al-Qur'an, dunia diliputi dengan
kekurangan, baik secara materi, ruhani, undang-undang maupun dari
dimensi kehidupan yang biasa melekat pada manusia saat itu. Dan sebelum
diutusnya Rasul saw yang beliau adalah manusia yang sempurna dan paling
utama, alam belum mencapai puncak dari penyerahan diri kepada Allah SWT
atau puncak dari keutamaan akhlak. Ketika Rasulullah saw diutus, maka
manusia mengalami kesempurnaan dan mampu mencapai tingkat
kesempurnaannya. Dengan Kitab yang mulia ini dan Nabi yang pengasih,
Allah SWT yang menyempurnakan agama bagi manusia dan menyempurnakan
nikmat-Nya atas mereka, sebagaimana firman-Nya:
"Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu
agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai
Islam itujadi agama bagimu. " (QS. al-Maidah: 3)
Namun semua itu tidak terwujud
begitu saja, Nabi yang mulia harus berjuang secara serius dan
sungguh-sungguh, sehingga beliau menjadi manusia yang paling layak untuk
mendapatkan pujian pendduduk bumi dan penduduk langit. Dan Rasulullah
saw telah melakukan semua itu. Kita tidak mengenal seorang nabi yang
perasaannya dihina dan dicaci maki lebih dari apa diterima oleh Muhammad
bin Abdillah; kita tidak mengenal seorang nabi yang memikul berbagai
penderitaan, dan memiliki kesabaran yang mengagumkan di jalan Allah SWT
sebagaimana yang ditunjukkan oleh Nabi kita.
Kemudian, seorang yang diutus oleh Allah SWT sebagai
rahmat bagi alam semesta tidak akan mengajak manusia menuju kebenaran
kecuali jika manusia tersebut dari kalangan orang-orang yang kafir dan
membangkang. Beliau berdakwah bagi orang yang berhak mendapatkan dakwah;
beliau siap memikul tanggung jawab dakwah dengan berbagai tantangan dan
cobaannya; beliau menunjukkan kesabaran yang luar biasa. Setelah itu,
beliau datang kepada Allah SWT dengan hati yang puas dan air mata yang
bercucuran dan dengan suara berbisik berkata: "Ya Allah, jika tidak ada
kemurkaan pada diri-Mu, maka aku tidak akan peduli dengan manusia."
Segala sesuatu akan menjadi mudah jika di sana terdapat ridha Allah SWT.
Setelah turunnya wahyu kepada
Rasul saw, beliau memulai tahapan dakwah dan mengajak manusia untuk
menyembah Allah SWT. Dimulailah dakwah secara rahasia yang berlangsung
selama tiga tahun dalam persembunyian.
Mula-mula Ummul Mu'minin, Khadijah binti Khuwailid
beriman kepadanya, lalu beriman juga sahabatnya, Abu Bakar sebagaimana
beriman kepadanya anak pamannya, Ali bin Abi Thalib yang saat itu masih
kecil dan hidup di bawah asuhan Muhammad, dan juga beriman kepadanya
Zaid bin Tsabit, seorang pembantunya. Kemudian Abu Bakar juga ikut
berdakwah, sehingga ia memasukkan dalam dakwah teman-temannya, seperti
Usman bin Affan, Thalha bin Ubaidilah, dan Sa'ad bin Abi Waqas. Juga
beriman seorang Masehi, yaitu Waraqah bin Nofel dan Rasulullah saw
melihatnya setelah kematiannya tanda kesenangan yang itu menunjukkan
ketinggian derajatnya di sisi Allah SWT. Setelah itu, Abu Dzar
al-Ghifari juga masuk Islam, lalu disusul oleh Zubair bin Awam dan Umar
bin 'Anbasah serta Sa'id bin 'Ash. Jadi, Islam mulai mengepakkan
sayapnya secara rahasia di Mekah.
Kemudian berita tersebarnya akidah yang baru ini sampai
kepada pembesar-pembesar Quraisy, tetapi mereka tidak begitu peduli.
Barangkali mereka membayangkan bahwa Muhammad telah menjadi—karena uzlah
yang dilakukannya di gua Hira—salah seorang juru bicara tentang
ketuhanan sebagaimana pernah dilakukan oleh Umayah bin Shalt dan Qas bin
Sa'adah.
Demikianlah
dakwah secara rahasia berhasil mengembangkan misinya dan dapat
melindungi akidah yang baru. Dan selama perjalanan tiga tahun yang
dibutuhkan tahapan dakwah secara rahasia keimanan telah tertanam dalam
hati kaum Muslim yang pertama. Rasulullah saw telah mendidik mereka dan
telah menanamkan kepada diri mereka sifat-sifat kemuliaan dan telah
menciptakan mereka sebagai benih pertama dari pasukan Islam. Pada suatu
hari Jibril turun dengan membawa firman Allah SWT:
"Dan berilah peringatan
kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat." (QS. asy-Syu'ara': 214)
Demikianlah, datanglah
perintah Ilahi agar Rasulullah saw berdakwah secara terang-terangan.
Lalu berkumpullah di sekeliling Nabi sekelompok tentara yang besar dan
datanglah perintah Ilahi agar beliau menyampaikan dakwah secara
terang-terangan dan mengingatkan keluarga dekatnya. Ketika Nabi
melakukan hal tersebut, maka dakwah memasuki tahapan yang kedua. Dan
tahapan dakwah yang baru ini berakibat pada timbulnya penekanan terhadap
para dai di mana mereka mengalami penindasan, bahkan mereka didustakan
oleh masyarakat serta diboikot.
Orang-orang Quraisy mengetahui bahwa Muhammad berbahaya
bagi mereka. Beliau bukan hanya berbicara tentang ketuhanan, tetapi
beliau mengajak rnanusia untuk mengikuti agama baru, yaitu agama yang
mencoba untuk menyingkirkan berhala-berhala dan patung-patung mereka
serta tuhan-tuhan mereka yang mereka yakini; agama yang mencoba
menyingkirkan kedudukan sosial mereka dan kepentingan-kepentingan
ekonomi mereka; agama yang menyatakan bahwa tiada tuhan lain selain
Allah SWT, dan tiada hukum lain selain hukum-Nya, serta tiada penguasa
lain selain Dia. Kedatangan agama tersebut menyebabkan penduduk kota
Mekah membencinya dan orang-orang yang memegang kekuasaan di dalamnya
merasa gelisah.
Setelah
pengumuman dakwah secara terang-terangan, dimulailah dan ditabuhlah
gendrang peperangan. Kemudian peperangan yang dahsyat terjadi antara
para pembesar Quraisy dan para pengikut Rasulullah saw. Orang yang
pertama kali menyerang Islam adalah seorang tokoh Mekah yang bernama Abu
Lahab.
Bukhari
meriwayatkan bahwa Rasulullah saw menaiki bukit Shafa dan beliau mulai
memanggil-manggil tokoh Quraisy dan para kabilah Mekah. Dan ketika semua
berkumpul, beliau bertanya kepada mereka: "Apakah kalian percaya jika
aku memberitahu kalian bahwa seekor kuda akan datang menyerang kalian?"
Mereka menjawab: "Tentu, kami belum pernah melihatmu berbohong." Beliau
berkata: "Aku seorang yang diutus sebagai pemberi peringatan terhadap
kalian. Di hadapanku terdapat siksaan yang berat jika kalian menentang."
Abu Lahab berkata: "Sungguh celaka engkau, apakah karena ini engkau
mengumpulkan kami."
Dengan
penghinaan inilah, peperangan terhadap Islam dimulai. Ketika kaum
Muslim tidak mampu mempertahankan diri mereka, maka mula-mula Allah SWT
membantu mereka dan menolong mereka dengan menurunkan surah yang pendek
yang mengecam tindakan Abu Lahab:
"Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia
akan binasa. Tidaklah bermanfaat kepadanya harta bendanya dan apa yang
dia usahahan. Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak. Dan
(begitu pula) isterinya, pembawa kayu bakar. Yang di lehernya ada tali
dari sabut. " (QS. Allahab: 1-5)
Dengan ayat-ayat yang pendek dan tepat tersebut, Abu
Lahab memasuki kancah sejarah dari pintunya yang paling pendek. Gambaran
tentang kejahatan Abu Lahab tertulis selama-lamanya. Abu Lahab adalah
seorang yang menentang dakwah kebenaran karena ia mengkhawatirkan
kedudukannya dan kekayaannya, padahal harta yang dipertahankannya dan
dijaganya tidak memiliki arti sama sekali di sisi Allah SWT karena ia
sekarang berada dan dijebloskan di tengah-tengah neraka yang
menyala-nyala, sedangkan isterinya membawa kayu bakar, sehingga menambah
nyala api itu sendiri. Dan di lehernya terdapat suatu belenggu sebagai
simbol keterikatannya dengan dunia binatang yang tidak berakal. Sebagian
besar orang-orang yang menentang dakwah adalah orang-orang yang
berhubungan dengan dunia binatang yang tidak sadar.
Allah SWT berfirman:
"Atau apakah kamu mengira
bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. Mereka itu tidak
lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat
jalannya (dari binatang ternak itu). " (QS. al-Furqan: 44)
Seandainya hari ini kita
merenungkan reaksi orang-orang kafir dan orang-orang musyrik, maka kita
akan terheran-heran.
Allah
SWT berfirman:
"Dan
mereka heran karena mereka kedatangan seorang pemberi peringatan (rasul)
dari kalangan mereka; dan orang-orang kafir berkata: 'Ini adalah
seorang ahli sihir yang banyak berdusta. Mengapa ia menjadikan
tuhan-tuhan itu Tuhan yang Satu saja? Sesungguhnya ini benar-benar suatu
hal yang sangat mengherankan'." (QS. Shad: 4-5)
Coba perhatikan bagaimana
kebodohan kaum itu di mana mereka menganggap bahwa pada hakikatnya
terdapat multi tuhan dan mereka jutru merasa heran ketika terdapat hanya
satu tuhan atau tuhan yang esa. Mereka justru merasa heran ketika
berhadapan dengan masalah yang fitri dan jelas ini.
Allah SWT berfirman:
"Dan apabila mereka melihat
kamu (Muhammad), mereka hanyalah menjadikan kamu sebagai ejekan (dengan
mengatakan): 'Inikah orangnya yang diutus Allah sebagai rasul?
Sesungguhnya hampirlah ia menyesatkan kita dari sembahan-sembahan kita,
seandainya kita tidak sabar (menyembah)nya. " (QS. al-Furqan: 41-42)
Perhatikanlah betapa nekatnya
kaum itu di mana mereka mulai menghina dan mengejek Rasulullah saw,
padahal beliau telah datang di tengah-tengah mereka untuk menyelamatkan
mereka dari api neraka, dan coba perhatikan bagaimana pandangan mereka
terhadap tuhan-tuhan mereka. Mereka membayangkan bahwa mereka nyaris
tersesat jika mereka tidak bersabar dalam membela tuhan-tuhan tersebut.
Demikianlah kesesatan mengejek kebenaran dan kebodohan menghina ilmu.
Mereka justru merasa heran terhadap kepandaiannya yang dapat
menyelamatkannya dari meninggalkan tuhan-tuhannya yang terbuat dari batu
dan kayu, bahkan terkadang mereka membuat tuhan dari adonan roti di
mana mereka menyembahnya kemudian memakannya. Mereka mengatakan bahwa
tuhan-tuhan kami menyelamatkan kami dari rasa lapar atau mereka
mengatakan bahwa kami menyembah mereka agar mereka dapat mendekatkan
kami pada Allah sedekat-dekatnya.
Meskipun demikian, dakwah Nabi terus berlanjut dan
tertanam di muka bumi. Mereka orang-orang musyrik menuduh Nabi sebagai
seorang dukun; mereka menuduhnya juga sebagai seorang gila, bahkan
mereka menuduhnya sebagai seorang penyihir; mereka menuduh bahwa beliau
berbohong atas nama kebenaran dan beliau dibantu oleh kaum yang lain;
mereka mengatakan ini adalah dongengan orang-orang yang dahulu.
Mereka meminta kepada beliau
untuk mendatangkan mukjizat dengan bentuk tertentu; mereka memberitahu
bahwa mereka tidak akan beriman kepadanya, sehingga terdapat suatu mata
air yang memancar dari bumi atau terwujud di depan mereka suatu taman
dari pohon kurma dan anggur yang memancar di tengah-tengahnya sungai,
atau langit akan runtuh sebagaimana yang beliau sampaikan kepada mereka
sebagai bentuk azab atau beliau datang dengan Allah SWT dan para
malaikat dan mereka semua menjamin kebenaran dakwah yang diserukannya,
atau beliau memiliki rumah dari emas atau beliau mampu mendaki langit
dan mereka masih belum beriman terhadap pendakian itu meskipun ia
mendaki di hadapan mata mereka dan kembali dengan selamat, kecuali jika
ia menghadirkan kitab kepada mereka yang dapat mereka baca dari langit.
Nabi tidak peduli dengan
usaha mereka untuk menyakiti hati beliau; Nabi tetap memberitahu mereka
dengan penuh kelembutan bahwa apa saja yang mereka minta itu tidak
sesuai dengan Islam. Sebab, Islam hanya menyeru akal dan berusaha
menciptakan kebebasan. Beliau menyampaikan kepada mereka bahwa beliau
hanya sekadar manusia yang diutus oleh Tuhan; beliau datang kepada
mereka untuk mengingatkan mereka akan suatu hari di mana seorang tua
tidak akan menyelamatkan anaknya dan tidak bermanfaat di dalamnya harta
dan anak-anak, dan mereka tidak akan selamat di dalamnya dari siksaan.
Orang-orang yang mempunyai kedudukan atau para tokoh mereka adalah para
tiran-tiran di muka bumi di mana semua itu tidak akan bermanfaat bagi
mereka pada hari kiamat. Siksaan yang bakal mereka terima tidak dapat
mereka hindari dan mereka pun tidak dapat meringankannya.
Demikianlah Islam—sebagaimana
agama-agama sebelumnya— mengumpulkan di sekelilingnya orang-orang yang
berakal dan orang-orang yang fakir serta orang-orang yang menderita di
muka bumi. Berimanlah sekelompok orang-orang fakir di mana mereka
menjadi kelompok sosial yang tertindas dan tersingkirkan di Mekah.
Mereka menjadi makanan empuk kelompok-kelompok yang lalim.
Islam bukan hanya memberikan
solusi ekonomi terhadap tragedi kehidupan atau masyarakat, tetapi Islam
memberikan solusi Ilahi terhadap keberadaan manusia secara umum; Islam
meyakini bahwa manusia bukan hanya sekadar perut yang harus dikenyangkan
dan naluri seksual yang harus dipuaskan, manusia bukan hanya dilihat
dan dinilai dari sisi ini, namun Islam justru meletakkan manusia pada
tempatnya yang hakiki, tanpa membesar-besarkan atau mengecilkannya.
Dalam pandangan Islam, manusia terdiri dari bangunan fisik dan ruhani,
terdiri dari akal dan ambisi dan terdiri dari celupan dari Allah SWT
dalam ruhnya.
Islam
tidak mementingkan fisik saja dan meninggalkan ruhani, begitu juga
sebaliknya. Terkadang fisik boleh jadi mendapatkan kebahagiaan dalam
kehidupan, tetapi ruhani justru mengalami penderitaan yang luar biasa.
Karena itu, pemuasan salah satu dimensi dari dimensi manusia tidak akan
membawa manusia kepada kesempurnaan atau kebahagiaan. Maka, Islam datang
untuk membawa suatu solusi yang dapat menyelamatkan manusia dari dalam
dirinya sendiri dan Islam membebankan tugas ini, yakni tugas perubahan
ini kepada Al-Qur'an.
Al-Qur'an
menjadi cermin dalam kehidupan di mana ayat-ayatnya diturunkan kepada
Rasul saw, lalu beliau mengajarkannya kepada kaum Muslim. Kemudian
Al-Qur'an berubah menjadi orang-orang yang berjalan di pasar-pasar dan
mengancam singgasana kebencian yang menguasai Mekah, sehingga
orang-orang musyrik justni meningkatkan usaha pengejekan dan penghinaan
terhadap Rasul saw. Oleh karena itu, beliau semakin sedih lalu Allah SWT
menghiburnya. Allah SWT memberitahu beliau bahwa mereka tidak
mendustakannya, tetapi mereka justru melalimi diri mereka sendiri.
Mereka mulai menentang Nabi dan ayat-ayat Allah SWT, padahal Nabi adalah
salah satu dari ayat Allah SWT.
Allah SWT berfirman:
"Sesungguhnya Kami mengetahui bahwasannya apa yang
mereka katakan itu menyedihkan hatimu, (janganlah hamu bersedih hati),
karena mereka sebenarnya bukan mendustakan kamu, akan tetapi orang-orang
yang lalim itu mengingkari ayat-ayat Allah." (QS. al-An'am: 33)
Kemudian kaum musyrik
meningkatkan penindasan kepada Rasul saw dan para pengikutnya.
Peperangan dimulai: dari peperangan urat saraf sampai peperangan fisik.
Mereka mulai menyiksa para pengikut Rasul saw, bahkan membunuhnya. Pada
saat itu, musuh-musuh Islam membayangkan bahwa dengan cara menindas kaum
Muslim dan menekan mereka dakwah Islam akan berhenti dan kaum Muslin
akan enggan untuk berdakwah. Mereka menganggap bahwa kaum Muslim justru
memilih untuk menyelamatkan diri mereka. Namun para tokoh-tokoh Quraisy
dan para tokoh-tokoh Mekah dikagetkan ketika melihat penekanan yang
mereka lakukan justru semakin membakar semangat kaum Muslim untuk
berdakwah. Saat itu kaum Muslim merasa yakin bahwa benih yang telah
ditanam Rasulullah saw dalam diri mereka menjadikan mereka tetap
bersemangat untuk menyebarkan risalah Allah SWT di muka bumi, yaitu
suatu risalah yang mengembalikan bumi menuju kematangan (kesempurnaan)
yang telah hilang darinya dan kema-nusiaan yang telah disia-siakan serta
kehormatan yang telah ditumpahkan dan kebebasan yang telah hilang.
Kaum Muslim yakin bahwa
mereka bukan hanya membangun suatu negeri yang kecil di Mekah, dan
mereka bukan hanya memperbaiki masyarakat yang rusak, yaitu masyarakat
jazirah Arab, tetapi mereka mengetahui bahwa mereka akan membangun suatu
manusia yang baru. Mereka akan menciptakan manusia seutuhnya; mereka
akan menghadirkan dunia dalam bentuk yang baru dan dalam gambar yang
baru yang merupakan cermin dari gambar kebesaran sang Pencipta.
Sebelum kedatangan Islam,
orang-orang Arab tidak dikenal. Dibandingkan dengan peradaban yang
dahulu dan modern, orang-orang Arab tidak memiliki apa-apa. Mereka tidak
memberikan kontribusi kepada dunia dalam bentuk ilmu, seni, atau
peninggalan apa pun yang dapat dijadikan sebagai kebanggaan. Namun
ketika Islam turun kepada mereka, mereka menjadi cermin kejayaan manusia
di mana mereka dapat memberikan sumbangan nyata pada umat manusia.
Bahkan orang-orang Barat banyak berhutang kepada mereka dalam kemajuan
yang mereka capai saat ini. Sebaliknya, ketika mereka berpaling dari
Islam di mana Islam hanya menjadi lembaran cerita-cerita dan
kertas-kertas yang tidak berguna, maka saat itulah orang-orang Barat
dapat menguasai kaum Muslim karena mereka justru mendapatkan ilmu dari
Kaum Muslim itu sendiri. Mereka justru mencapai kemajuan ketika kaum
Muslim meninggalkan agama mereka. Jadi, ketika kaum Muslim memahami
Islam secara benar dan berusaha untuk memnghidupkan ajaran-ajarannya
niscaya mereka akan mencapai puncak keilmuan.
Pada awal-awal masa tersebarnya Islam, kaum Muslim
menyadari bahwa mereka menghadapi peperangan yang tidak akan berhenti.
Selama kehidupan ada, maka pertentangan pun tetap ada. Oleh karena itu,
ketika mereka mendapatkan penganiayaan dan siksaan, maka keimanan mereka
justru semakin meningkat, dan setiap penganiayaan yang dilakukan oleh
kaum Quraisy, maka mereka tetap bertahan untuk mempertahankan kebenaran.
Sebagai contoh, Amar bin Yasir mengalami penderitaan dan penganiayaan.
Ia adalah salah seorang budak yang menjadi korban dari sistem ekonomi
yang berlaku saat itu, yaitu ekonomi yang berdasarkan kepada sistem
perbudakan. Seorang yang beriman tersebut disiksa di Mekah di mana ia
tidak memperoleh kebebasannya yang hakiki kecuali setelah ia memeluk
Islam. Mereka mengeluarkannya ke gurun dan menyiksanya beserta ibunya.
Bahkan siksaan semakin meningkat atas ibunya agar ia kembali menjadi
musyrik. Ketika ia tetap mempertahankan keimanannya dan dengan tegas
menolak ajakan untuk menentang Islam, maka Abu Jahal menikamnya dengan
belati yang ada di dua tangannya. Ia pun meninggal. Dan Islam
mengorbankan syahidnya yang pertama. Wanita mulia itu bernama Sumayah,
ibu dari Amar bin Yasir.
Banyak kalangan orang-orang bodoh mengatakan tentang
persetujuan Islam terhadap sistem perbudakan, atau Islam mendiamkan
sistem perbudakan. Mereka lupa bahwa Islam dibangun berdasarkan suatu
prinsip yang ingin membebaskan perbudakan dengan segala bentuknya; Islam
ingin mengeluarkan manusia dari kepemilikan sesama manusia menuju
kepemilikan kepada Allah SWT.
Jika Islam tidak turun dengan nas-nas yang terperinci
yang mengharamkan sistem perbudakan, maka dasar-dasarnya secara umum dan
prinsip-prinsip utamanya menghentikan—baik dalam tindakan maupun
ucapan—sumber-sumber sistem ini. Allah SWT sebagai pemilik syariat
mengetahui bahwa sistem perbudakan adalah sistem ekonomi yang sementara
yang akan berubah dengan perubahan waktu, dan karena Islam tidak turun
pada waktu yang terdapat perbudakan saja, tetapi ia turun secara umum
dan menyeluruh untuk setiap zaman, maka Islam sengaja melewati
bentuk-bentuk yang temporal ini dari bentuk-bentuk eksploitasi menuju
unsur yang pertama atau dasar pertama yang menimbulkan bentuk-bentuk
eksploitasi tersebut, sehingga Islam mengharamkannya. Dengan cara
demikian, Islam mengharamkan sistem perbudakan secara bertahap, seperti
proses pengharaman khamer. Jadi, keseriusan Islam sangat menonjol dalam
usaha menghapus dan mengharamkan perbudakan.
Jika dikatakan kepada kita bahwa Islam membolehkan para
tentaranya untuk memperbudak para tawanan perang, maka kita akan
mengatakan bahwa Islam menerapkan sistem ini sebagai bentuk pembalasan
terhadap perlakuan yang sama di mana musuh-musuh Islam menjadikan kaum
Muslim sebagai budak-budak mereka ketika mereka menawannya. Oleh karena
itu, secara alami orang-orang Islam pun menawan mereka sebagai
budak-budak. Jika Islam tidak melakukan yang demikian, maka boleh jadi
Islam akan dimain-mainkan dan ada kesempatan besar bagi orang-orang
musyrik untuk memperdaya Islam.
Demikianlah bahwa dakwah Islam mengalami berbagai macam
hambatan dan penindasan. Dan ketika orang-orang yang tersiksa mengadu
kepada Rasulullah saw atas penindasan yang mereka terima, maka
Rasulullah saw memberitahu mereka dengan pembicaraan yang jelas bahwa
para dai di jalan Allah SWT harus mengorbankan kesenangan mereka,
kedamaian mereka, dan darah mereka sebagai harga yang pantas untuk
tersebarnya dakwah Islam. Kebebasan bukan diperoleh dengan cuma-cuma.
Sejarah kehidupan menceritakan kepada kita bahwa ia dipenuhi dengan
gumpalan darah yang harus dibayar oleh masyarakat untuk memerangi
musuh-musuhnya dari luar dan dari dalam. Jika ini dialami setiap orang
yang menuntut kebebasan pada zaman dan tempat tertentu, maka bagaimana
dengan orang-orang yang menuntut kebebasan manusia secara keseluruhan.
Seorang Muslim hendaklah
sadar bahwa dengan mengumumkan dakwahnya, maka ia pasti akan menerima
pengusiran, penindasan, penjara, pengepungan dan pembunuhan. Ini adalah
harga yang pantas yang harus dibayar ketika berdakwah di jalan Allah
SWT; inilah harga kebebasan. Bahkan terkadang kaum yang batil pun
membayamya dengan senang hati, maka bagaimana mungkin orang-orang yang
bersama kebenaran ragu untuk melakukannya.
Pada hakikatnya, manusia cinta kepada keabadian. Secara
naluri manusia merasa takut pada azab dan kematian. Dan barangkali yang
membedakan orang-orang Islam yang hakiki dengan yang lainnya adalah
bahwa mereka terbebas dari rasa ketakutan dan cinta keabadian. Ini
adalah tolok ukur yang pasti untuk membedakan antara seorang Muslim yang
hakiki dan seorang Muslim yang hanya namanya atau Muslim warisan atau
hanya klaim semata.
Seorang
Muslim yang hakiki menyadari bahwa ajal di tangan Allah SWT, rezeki
adajuga di tangan-Nya, begitu juga keamanan semua ada di tangan-Nya.
Dengan keimanan seperti ini, ia memulai pergulatannya untuk menyebarkan
dakwah. Ia siap untuk menerima penyiksaan dan penderitaan di jalan Allah
SWT; ia pun siap meneteskan darahnya sebagai harga yang pantas yang
diberikannya dalam rangka memperoleh kebebasan. Ini semua dilakukanya
dengan begitu sederhana dan tidak ada rasa takut karena Islam
membebaskannya dari rasa ketakutan. Dahulu para pembangkang menggergaji
orang-orang yang menyeru di jalan Allah SWT dengan menggergaji saat
mereka dalam keadaan hidup-hidup.
Khabab bin Irit pergi menemui Rasulullah saw dan meminta
tolong kepada beliau dari penyiksaan orang-orang Quraisy, sambil
berkata: "Tidakkah engkau menolong kami, wahai Rasulullah? Tidakkah
engkau berdoa kepada kami, ya Rasulullah?" Rasulullah saw menjawab:
"Sungguh sebelum kalian terdapat orang-orang yang berdakwah di jalan
Allah SWT lalu mereka dimasukkan dalam suatu galian tanah lalu mereka
digergaji di mana tubuh mereka dipisah menjadi dua, namun mereka tetap
mempertahankan agamanya. Demi Allah, sungguh Allah SWT akan menolong
masalah ini tetapi kalian terlalu tergesa-gesa."
Dengan kalimat-kalimat yang penuh kesabaran
dan keberanian ini, Rasulullah saw ingin memahamkan kepada orang
tersebut bahwa termasuk dari kesempurnaan iman adalah membayar harga
kebebasan. Jelas sekali bahwa Islam tidak memberikan keuntungan bagi
orang yang memeluknya. Orang-orang Islam yang pertama tidak bertanya dan
mengatakan: "Apa yang kita peroleh dari agama ini?" Sebaliknya, mereka
bertanya: "Apa yang kita bayar untuk Islam?" Jawabannya adalah: "Segala
sesuatu dimulai dari suapan-suapan roti sampai darah yang tertumpah."
Jadi, kaum Muslim yang pertama telah membayar ongkos kebebasan. Mereka
merasakan kedamaian yang luar biasa untuk mempertahankan agama Allah
SWT; mereka mendapatkan kepercayaan yang tinggi tentang kemenangan
kebenaran yang datang kepada mereka; mereka justru memberitahu
orang-orang musyrik bahwa mereka akan dapat mengalahkan raja-raja Kisra
dan Kaisar. Dengan dakwah yang mereka lakukan, mereka akan menjadi
pemimpin-pemimpin di muka bumi. Kaum musyrik justru memanfaatkan
kepercayaan ini untuk mengejek mereka dan menertawakan mereka.
Ketika Aswad Ibnu Matlab dan
orang-orang yang bersamanya melihat sahabat-sahabat Nabi, maka mereka
mengejek dan mengatakan: "Telah datang kepada kalian pemimpin-pemimpin
bumi yang esok akan mengalahkan raja-raja Kisra dan Kaisar, kemudian
mereka bersiul dan bertepuk tangan." Namun kaum mukmin tidak peduli
dengan ejekan tersebut. Demikianlah bahwa ejekan demi ejekan terus
menyertai dakwah kaum Muslim. Kemudian kaum Quraisy mengadakan pertemuan
yang bersejarah untuk menyatukan pandangan dalam rangka menyerang
Rasulullah saw. Kaum musyrik menuduhnya bahwa beliau adalah seorang ahli
sihir, dan pada kali yang lain mereka menuduhnya bahwa beliau adalah
dukun, dan pada kali yang lain lagi mereka menuduhnya bahwa beliau
adalah penyair, bahkan pada kali yang lain mereka menuduhnya bahwa
beliau adalah seorang yang gila. Kemudian mereka semua sepakat untuk
menuduh bahwa beliau adalah seorang penyihir.
Walid bin Mughirah yang terkenal sebagai orang yang
terpandang di kalangan mereka menuduh Rasulullah saw sebagai penyihir
yang dapat memisahkan antara sesama saudara dan antara seseorang dengan
isterinya. Kemudian mereka membikin kelompok-kelompok yang mengingatkan
para pendatang di Mekah bahwa Muhammad adalah seorang penyihir. Meskipun
demikian, dakwah Islam tetap berlangsung. Ia tetap tersebar dengan
pelan namun pasti dan kalimat-kalimat yang diutarakan Nabi justru
mengingatkan perjanjian yang pernah dilakukan oleh manusia, yaitu
perjanjian saat Allah SWT menyaksikannya ketika mereka masih di alam
atom di punggung Adam:
"Bukankah
aku Tuhan kalian? Mereka menjawab: 'Benar.'" (QS. al-A'raf: 172)
Bertambahlah jumlah kaum
Muslim hingga kaum Quraisy merasakan ketakutan. Mereka mulai melihat
bahwa penggunaan cara-cara kekerasan tidak selalu berhasil. Kemudian
mereka memilih untuk menggunakan cara baru, yaitu bagaimana seandainya
mereka menggunakan perdamaian dan perundingan. Orang-orang Quraisy
mengutus 'Utbah bin Rabi'ah, seorang lelaki yang terkenal dengan
kecerdasan dan kebijaksanaan sebagai juru runding.
'Utbah berkata kepada Rasul
saw: "Wahai anak saudaraku, kami mengetahui kedudukanmu di sisi kami
dari sisi nasab. Engkau datang kepada kaummu dengan suatu hal yang besar
di mana engkau memisahkan kelompok-kelompok mereka. Maka dengarkanlah
aku karena aku ingin berbicara tentang beberapa hal. Barangkali engkau
akan menerima sebagiannya." Rasul saw berkata: "Silakan berbicara wahai
'Utbah." 'Utbah berkata: "Jika engkau menginginkan harta niscaya kami
akan mengumpulkan harta bagimu, sehingga engkau akan menjadi orang yang
paling kaya di antara kami, dan jika engkau menginginkan kehormatan,
maka kami akan memberi kehormatan itu bagimu dan jika engkau
menginginkan kekuasaan, maka kami akan menyerahkan kekuasaan padamu dan
jika engkau terkena penyakit yang engkau tidak mampu menolaknya dari
dirimu, maka kami akan mencarikan tabib bagimu dan kami akan
mengeluarkan harta kami sehingga engkau sembuh."
Demikianlah 'Utbah mengakhiri pembicarannya.
Kemudian ia menunggu reaksi Nabi. Lalu Rasulullah saw berkata:
"Dengan nama Allah yang Maha
Pengasih lagi Maha Penyayang. Haa miim. Diturunkan dari Tuhan Yang Maha
Pemurah lagi Maha Penyanyang. Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni
bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui. Yang membawa
berita gembira dan yang membawa peringatan, tetapi kebanyakan mereka
berpaling (darinya);, maka mereka tidak (mau) mendengarkan. Mereka
berkata: 'Hati kami berada dalam tutupan (yang menutupi) apa yang kamu
seru kami kepadanya dan di telinga kami ada sumbatan dan antara kami dan
kamu ada dinding, maka bekerjalah kamu; Sesungguhnya kami bekerja
(pula).' Katakanlah: 'Bahwasannya aku hanyalah seorang manusia seperti
kamu, diwahyukan kepadaku bahwasannya Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha
Esa, maka tetaplah pada jalan yang lurus menuju kepadanya dan mohonlah
ampun kepadanya. Dan kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang
mempersekutukan-(Nya), (yaitu) orang-orangyang tidak menunaikan zakat
dan mereka kafir akan adanya (hehidupan) akhirat. Sesungguhnya
orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh mereka mendapat
pahala yang tiada putus-putusnya.' Katakanlah: 'Sesungguhnya patutkah
kamu kafir kepada yang menciptakan bumi dalam dua masa dan kamu adakan
sekutu-sekutu bagi-Nya? (Yang bersifat) demikian itulah Tuhan semesta
alam. Dan dia menciptakan di bumi itu gunung-gunung yang kokoh di
atasnya. Dia memberkahinya dan Dia menentukan padanya kadar
makanan-makanan (penghuni)nya dalam empat masa. (Penjelasan itu sebagai
jawaban) bagi orang-orang yang bertanya. Kemudian dia menuju kepada
penciptaan langit dan langit itu masih merupakan asap, lalu Dia berkata
kepadanya dan kepada bumi: 'Datanglah kamu keduanya menurut perintah-Ku
dengan suka hati atau terpaksa.' Keduanya menjawab: 'Kami datang dengan
suka hati.' Maha Dia menjadikannya tujuh langit dalam dua masa dan Dia
mewahyukan pada tiap-tiap langit urusannya. Dan Kami hiasi langit yang
dekat dengan bintang-bintang yang cemerlang dan Kami memeliharanya
dengan sebaik-baiknya. Demikianlah ketentuan Yang Maha Perhasa lagi Maha
Mengetahui. Jika mereka berpaling, maka katakanlah: 'Aku telah
memperingatkan kamu dengan petir, seperti petir yang menimpa kaum 'Ad
dan kaum Tsamud." (QS. Fushilat: 1-13)
Rasulullah saw telah menjawab tawaran 'Utbah di mana
beliau memilih untuk menghadapi tawaran dan iming-iming tersebut dengan
membaca sebagian dari surah Fhusilat yang merupakan salah satu surah
Al-Qur'an yang diturunkan oleh Allah SWT melalui malaikat Jibril. 'Utbah
bangkit dari tempatnya ketika Rasulullah saw sampai pada firman-Nya:
"Jika mereka berpaling, maka
katakanlah: 'Aku telah memperingatkan kamu dengan petir, seperti petir
yang menimpa kaum "Ad dan kaum Tsamud. " (QS. Fushilat: 13)
'Utbah berdiri dalam keadaan
takut dan segera menuju kaum Quraisy. Bayang-bayang azab dunia terngiang
di telinganya. Dan ketika ia sampai ke orang Quraisy, ia mengusulkan
agar orang-orang Quraisy membiarkan apa saja yang dilakukan Muhammad.
Gagallah perundingan dengan seorang Muslim yang pertama, yaitu
Rasulullah saw. Gagalnya perundingan tersebut sebagai bentuk
pemberitahuan tentang kembalinya tindak kekerasan dan penyiksaan
terhadap sahabat-sahabat Rasul saw. Kemudian kaum musyrik semakin
meningkatkan penindasan terhadap kaum Muslim. Rasulullah saw sangat
menderita melihat hal yang dirasakan para sahabatnya. Ketika kaum Muslim
membayar harga yang paling mahal sebagai konsekuensi dari akidah yang
mereka anut dan mereka dengan sabar memikul penderitaan di jalan Allah
SWT, maka Rasulullah saw mengisyaratkan mereka untuk berhijrah. Beliau
memberikan izin untuk berhijrah bagi orang yang ingin hijrah.
Kemudian Dimulailah gelombang
hijrah. Itu terjadi pada lima tahun dari turunnya wahyu setelah dua
tahun diumumkannya dakwah. Maka berhijrahlah ke Habasyah enam belas
orang Muslim. Mereka keluar secara rahasia dan mereka menuju ke laut.
Mereka berlayar meskipun orang-orang yang tinggal di gurun sebenarnya
tidak ingin berlayar karena mereka takut dari laut dan mereka yakin
bahwa manusia yang berlayar di laut akan menjadi ulat di atas kayu-kayu
yang berenang.
Selanjutnya,
gelombang hijrah yang kedua pun dimulai. Kali ini diikuti oleh delapan
puluh tiga orang laki-laki dan sembilan belas perempuan. Kemudian
orang-orang Quraisy berusaha untuk mengirim beberapa orang dan tetap
berusaha menyiksa dan menyakiti orang-orang yang berhijrah. Mereka
mengutus ke Najasyi, Raja Habasyah, orang-orang yang dapat
mempengaruhinya untuk menentang orang-orang yang berhijrah. Mereka
menuduh kaum Muslim meninggalkan agama nenek moyang mereka di Mekah dan
mereka juga tidak menganut agama Najasyi, yaitu agama Kristen. Kemudian
orang-orang Quraisy tidak lupa mengirim hadiah kepada Najasyi sebagai
bentuk suapan kepadanya. Tampaknya Najasyi seorang yang berakal lalu ia
mengutus seseorang kepada kaum muhajirin dan bertanya kepada mereka
tentang agama baru yang mereka anut. Kemudian kaum muhajirin
menceritakan kepadanya tentang Islam.
Najasyi bertanya tentang Isa lalu mereka menjawab: "Ia
adalah hamba Allah SWT dan rasul-Nya dan ruh-Nya serta kalimat-Nya yang
diletakkan kepada Maryam, wanita yang perawan yang suci." Kemudian
Najasyi mengambil satu kayu kecil dari bumi dan mengatakan: "Penjelasan
tentang Isa yang kalian katakan tidak lebih dari kayu kecil ini.
Pergilah kalian dan kalian akan aman." Najasyi mengembalikan hadiah kaum
Quraisy dan mengatakan: "Allah tidak mengambil suap dariku sehingga aku
tidak mungkin mengambilnya dari kalian."
Demikianlah kaum muhajirin tinggal di negeri yang
damai, yaitu Habasyah negeri yang dipimpin oleh seorang laki-laki yang
diberi kematangan berpikir di mana ia cenderung mengimani karakter
al-Masih sebagai seorang manusia. Dan salah satu keajaiban kekuasaan
Ilahi adalah bahwa masyarakat Islam yang berhijrah tersebut tidak
mengalami kelemahan dalam akidahnya, namun mereka justru merasakan
kekuatan.
Allah SWT
memperkuat dakwah Islam dengan masuknya dua lelaki besar dalam Islam,
yaitu Hamzah, paman Nabi dan Umar bin Khatab. Kedua orang itu mempunyai
kepribadian yang tangguh di Mekah di mana masing-masing dari mereka
terkenal di tengah-tengah kaumnya. Allah SWT berkehendak untuk memberi
Islam dua orang lelaki yang tangguh di Mekah dan Allah SWT telah
meletakkan rahmat yang terpancar dalam hati mereka. Hamzah masuk Islam
karena dorongan emosi, fanatisme, dan rahmat terhadaporang-orang yang
tidak memberikan pembelaan kepada Muhammad saw.
Salah seorang perempuan berkata kepada Hamzah:
"Seandainya engkau melihat apa yang diperoleh oleh anak dari saudaramu,
Muhammad dari Abil Hakam bin Hisyam (Abu Jahal). Sungguh Abu Jahal
telah mencelanya dan menyakitinya, sedangkan Muhammad hanya terdiam dan
tidak mengatakan apa-apa." Mendengar pengaduan itu, darah mendidih
berkobar dalam urat-urat Hamzah. Dengan kemarahan yang sangat, Hamzah
mencari-cari Abu Jahal lalu ia melihatnya sedang duduk-duduk di
tengah-tengah kaumnya. Hamzah mengangkat tangannya lalu memukulkannya ke
kepala Abu Jahal sambil berteriak: "Apakah engkau akan mengejek
Muhammad, padahal aku berada di atas agamanya."
Demikianlah permulaan keislaman Hamzah. Hamzah
adalah seorang yang mulia di mana perasaannya berkobar ketika ia
melihat anak saudaranya disiksa dan dianiaya dan dia tidak mendapati
seorang pun yang membelanya. Beginilah sebab-sebab pertama dari
keislaman Hamzah, namun sebab yang paling dalam dan yang paling
menentukan adalah rahmat Allah SWT yang telah dianugerahkan kepadanya,
meskipun Hamzah tidak mengetahuinya, yaitu rahmat yang mendorongnya
untuk tidak membiarkan seseorang pun menyakiti lelaki yang berdakwah di
jalan Allah SWT hanya karena ia seorang yang lemah dan tidak mempunyai
penolong. Jadi, Hamzah adalah penolongnya.
Sedangkan Umar bin Khatab terkenal dengan ketangguhan
sikap dan kekerasan perilaku. Seringkali kaum Muslim mendapat siksaan
darinya ketika ia masih menganut jahiliah. Dan salah seorang yang
mendapatkan siksaan ciarinya adalah Amir bin Rabi'ah dan isterinya. Amir
beserta istcrinya menetapkan untuk berhijrah ke Habasyah. Umar bin
Khatab menemuinya lalu ia mendapati isteri Amir dan tidak mencmukan
suaminya. Umar melihat wanita itu sedang bersiap-siap untuk berhijrah
lalu Umar berkata (saat itu sumber rahmat telah memancar pada dirinya):
"Apakah engkau akan pergi wahai Ummu Abdillah?" Dengan nada jengkel,
wanita itu berkata: "Benar, demi Allah kami akan keluar dan menuju tanah
Allah SWT. Engkau telah menyiksa kami dan telah memaksa kami untuk
berhijrah. Kami akan pergi sehingga Allah SWT akan memberikan kelapangan
kepada kami." Umar berkata: "Mudah-mudahan Allah SWTmenemanimu."
Wanita itu melihat
tanda-tanda kelembutan dan kesedihan pada wajah Umar. Dan ketika
suaminya kembali, ia menceritakan kepadanya bahwa ia sangat berharap
kepada keislaman Umar. Lalu suaminya menjawab: "Ia tidak mungkin masuk
Islam sampai keledai Umar masuk Islam." Ia mengatkan demikian karena ia
melihat betapa bengisnya dan kejamnya Umar. Namun perasaan lembut wanita
itu lebih kuat daripada pandangan pikiran lelaki itu dan keputusannya
yang terlalu cepat kepada Umar.
Belum lama mereka berhijrah sehingga Umar masuk Islam.
Orang-orang muhajirin mengeluarkan penutup sumur rahmat dalam dirinya.
Dan barangkali Umar merasa kebingungan lalu ia menetapkan untuk membunuh
Rasul saw. Dengan menghunuskan pedangnya, ia pergi menuju Rasul saw.
Kemudian ia bertemu dengan orang-orang yang memergokinya dalam keadaan
kebingungan, lalu mereka bertanya kepadanya, hendak kemana ia akan
pergi? Umar menjawab: "Aku hendak ke Muhammad aku akan membunuhnya
sehingga orang-orang Arab merasa tenteram." Dengan nada mengejek,
seseorang berkata: "Tidakkah engkau memulai dari keluargamu sebelum
engkau membunuh Muhammad." Dengan nada jengkel, Umar berkata: "Apa yang
terjadi pada keluargaku?" Lelaki itu menjawab: "Saudara perempuanmu dan
suaminya telah masuk Islam, sedangkan engkau tidak mengetahuinya." Umar
segera mencari saudara perempuannya dan suaminya di mana saat itu
keduanya sedang membaca Al-Qur'an.
Ketika melihat Umar, mereka menyembunyikan Al-Qur'an.
Umar bertanya: "Sepertinya aku mendengar suara bisikan dari luar."
Tetapi saudara perempuannya mengatakan: "Tidak." Kemudian suaminya ikut
campur dan Umar pun tampak marah kepadanya. Wanita itu bangkit untuk
membela suaminya lalu Umar memukulnya sehingga darah segar mengucur
darinya. Darah itu justru membangkitkan sumber rahmat dari diri Umar.
Akhirnya, Umar mengambil air wudhu agar mereka mengizinkan untuk membaca
Al-Qur'an. Umar pun membacanya. Belum lama Umar membacanya sehingga ia
pergi menemui Rasul saw.
Tanpa ragu, Umar memilih untuk masuk Islam. Dan pedang
yang dibawanya itu menjadi pedang yang paling kuat yang dengannya ia
mempertahankan agama Muhammad saw. Kemudian ia mengetuk pintu untuk
menemui Rasul saw di mana saat itu beliau bersama sahabatnya. Dari
celah-celah pintu, sahabat Nabi melihat Umar bin Khatab sedang
menghunuskan pedang. Kemudian sahabat itu kembali kepada Nabi dengan
membawa berita yang sangat mengejutkan ini. Ia menduga bahwa Umar datang
dengan maksud jahat.
Rasulullah
saw bangkit dan memerintahkan para sahabatnya agar membiarkan Umar.
Rasulullah saw membukakan pintu Kemudian ia menyambut Umar bin Khatab
dan bertanya kepadanya apa yang diinginkannya. Umar menjawab bahwa ia
datang untuk mengucapkan dan bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan
Muhammad adalah utusan-Nya.
Orang-orang Quraisy mulai merasa bahaya akan mereka
temui setelah keislaman Umar dan Hamzah. Para tokoh-tokoh Mekah dan
orang-orang yang dihormati telah masuk Islam. Sebelum Umar masuk Islam,
kaum Muslim bertawaf di Ka'bah secara rahasia dan dengan malu-malu,
namun ketika Umar masuk Islam ia menampakkan keislamannya dan ia
menantang orang yang mencegahnya untuk bertawaf, bahkan banyak
orang-orang memberikan jalan padanya saat tawaf. Mekah mengetahui bahwa
ia menghadapi suatu dakwah yang akan dapat mengubah jazirah Arab.
Rasa ketakutan mulai
menghantui para pemuka Quraisy dan mereka menetapkan metode baru untuk
menghadapi kaum Muslim. Mereka yang sebelumnya menggunakan metode
penghinaan dan pengejekan kini mulai mencoba untuk memblokade kaum
Muslim secara ekonomi dan kemanusiaan. Kaum musyrik mengadakan
perkumpulan dan pertemuan untuk memboikot kaum Muslim. Mereka mengadakan
pertemuan itu di Ka'bah, sebagai penghormatan kepadanya. Orang-orang
musyrik menghormati Ka'bah meskipun mereka memenuhinya dengan berbagai
macam patung yang mereka sembah dalam rangka mendekatkan mereka kepada
Allah. Pasal kesepakatan itu menetapkan, hendaklah penduduk Mekah tidak
menjual barang apapun kepada kaum Muslim dan hendaklah mereka tidak
menikah dengan kaum Muslim. Dengan ketetapan yang kejam tersebut, mereka
ingin menghancurkan kaum Muslim dan membunuh perekonomian mereka.
Rasulullah saw dan orang-orang yang beriman kepadanya terpaksa
berlindung di dusun Bani Hasyim. Mereka dilindungi oleh keturunan Bani
Muthalib, baik mereka orang-orang kafir maupun orang-orang beriman
kecuali musuh Allah SWT, Abu Jahal di rnana ia bersama orang-orang
Quraisy menentang kaummnya.
Kemudian Dimulailah blokade ekonomi terhadap kaum Muslim
di mana tidak ada makanan dan minuman yang datang kepada mereka,
sehingga penderitaan yang sulit kini dialami oleh sahabat-sahabat Nabi.
Ketika kafllah perdagangan datang ke Mekah dan salah seorang dari
sahabat Nabi menemui mereka di pasar untuk membeli makanan untuk
keluarganya, maka Abu Lahab berdiri dan berkata kepada para penjual,
wahai para pedagang, mahalkanlah dagangan kalian terhadap
sahabat-sahabat Muhammad, sehingga mereka tidak mampu membelinya dan aku
menjamin kerugian yang kalian alami, bahkan aku akan membeli apa saja
yang ingin mereka beli dari kalian.
Mendengar hal tersebut, para pedagang pun menjual barang
dagangannya dengan harga yang tidak wajar, sehingga seorang Muslim
kembali ke rumah keluarganya tanpa membawa sedikit pun makanan. Kemudian
padagang itu pergi ke Abu Lahab dan memin-ta kepadanya agar membeli
barang yang ingin dibeli orang Muslim. Demikianlah peperangan tersebut
terus terjadi sehingga kaum Muslim merasakan penderitaan yang sangat
luar biasa di mana mereka dalam keadaan kelaparan dan kekurangan pakaian
yang layak. Peperangan ekonomi ini terjadi selama tiga tahun penuh.
Saking menderitanya para sahabat sampai-sampai Sa'ad bin Abi Waqas
pernah keluar pada suatu hari untuk memenuhi hajatnya, lalu ia mendengar
suara gemerincing di bawah air kencing. Tiba-tiba ia menemukan sepotong
kulit unta yang kering lalu ia mengambilnya dan membasuhnya. Kemudian
ia membakarnya dan mencucinya dengan air sampai bersih lalu ia
menjadikannya makanan selama tiga hari.
Selama tiga tahun tersebut wahyu tetap turun kepada
Rasul saw dan seakan-akan ia melupakan bencana yang keras ini. Allah SWT
ingin mendidik para pengikut agama-Nya agar mereka mampu memikul segala
penderitaan.
Meskipun
kaum Muslim mendapatkan berbagai ujian selama tiga tahun tersebut,
tetapi aktifitas dakwah Islam tidak pernah padam dan tidak pernah surut.
Kaum Muslim bertemu orang-orang selain mereka pada musim haji lalu
mereka berbicara kepada orang-orang tersebut tentang keberadaan Allah
SWT dan mereka meminta kepada para pengujung itu untuk mencari rahmat
Allah SWT dan ampunan-Nya. Keteguhan kaum Muslim dan keberanian mereka
telah memikat banyak orang sehingga mereka masuk Islam. Bahkan
orang-orang musyrik mulai bertanya kepada diri mereka dan mempertanyakan
kebenaran apa tindakan mereka. Lalu kecemburuan kepada kebenaran mulai
menyerang hati.
Kemudian
Selesailah peperangan ekonomi terhadap kaum Muslim di mana kaum musyrik
melihat itu tidak berdampak terlalu besar bagi kaum Muslim. Meskipun
kaum Muslim menerima penderitaan dan kerugian namun jumlah mereka tetap
bertambah dan keimanan mereka semakin kuat serta kepercaayaan kepada
Allah SWT pun semakin meningkat. Lalu datanglah tahun kesedihan kepada
Nabi. Belum lama Rasulullah saw merasakan dan menghirup udara segar
setelah tiga tahun masa blokade dan beliau ingin memulai kehidupan
barunya dan dakwahnya, sehingga beliau dikagetkan dengan kematian isteri
tercintanya Ummul Mukminin Khadijah dan kematian pamannya yang tercita
Abu Thalib.
Abu Thalib
adalah seorang yang besar yang memiliki kewibawaan di tengah-tengah
kaum Quraisy, sehingga usaha kaum Quraisy untuk menyakiti Nabi menjadi
terbatas ketika mereka berhadapan dengan "tembok perlindungan" Abu
Thalib kepada kemenakannya. Sedangkan Khadijah merupakan tempat
perlindungan dan kedamaian bagi Nabi. Ia adalah hati yang sangat
penyayang yang banyak menghibur Nabi saat beliau berdakwah. Khadiijah
adalah sebaik-baik teman dan sebaik-baik isteri. Begitu juga, bagi
Khadijah Rasulullah saw adalah sebaik-baik teman, sebaik-baik suami,
sebaik-baik pembantu, dan sebaik-baik sahabat.
Rasulullah saw sangat sedih ketika kehilangan dua orang
yang sangat berpengaruh dalam kehidupannya itu, bahkan para sejarawan
menamakan tahun tersebut dengan tahun kesedihan. Sebaliknya, orangorang
musyrik justru bergembira dengan kesedihan Rasul saw itu. Mereka
menganggap bahwa Rasul saw tidak lagi memiliki seorang tua yang mampu
melindunginya dan tidak lagi memiliki seorang isteri yang dapat
meringankan beban penderitaannya.
Setelah kematian dua orang tcrscbut, penindasan dan
penganiayaan kaum Quraisy kepada Nabi semakin meningkat dan orang-orang
musyrik memilih waktu yang tepat untuk menyembelih binatang di Mekah
lalu mereka membawa usus-usus atau jeroan dari unta dan mereka
melemparkannya dan meletakkannya di atas punggung Nabi saat beliau
sujud. Kemudian berita memilukan itu sampai kepada putri tercintanya,
Fatimah az-Zahrah, sehingga ia segera datang dan berusaha membela
ayahnya dan membersihkan kotoran yang ada di pundak ayahnya itu.
Demikianlah kemuliaan Siti Fatimah az-Zahra yang senantiasa melindungi
ayahnya.
Betapa
sedihnya Nabi saw ketika beliau melihat bahwa keadaan beliau sampai pada
batas di mana anak perempuan beliau pun turut membelanya. Namun beliau
tetap bersabar dalam berdakwah di jalan Allah SWT. Pada suatu hari
beliau berpikir untuk pergi ke Tha'if di mana di sana dihuni oleh kaum
Tha'if. Barangkali beliau berkata dalam dirinya: jika di sini aku
mendapati hati-hati yang telah membeku dan telah berhubungan mesra
dengan kebatilan ialu mengapa aku tidak pergi ke Tsaqif. Barangkali
Allah SWT akan membukakan pintu dakwah di sana. Mungkin di sana masih
terdapat hati yang akan terbuka guna menerima kebenaran.
Saat itu kaum musyrik
memberlakukan blokade umum atas dakwah yang dipimpin oleh Rasulullah saw
sehingga tekanan kepada beliau semakin meningkat sampai pada batas di
mana pergerakan dakwah tidak dapat bergerak satu langkah pun. Keadaan
demikian ini sangat menggelisahkan Nabi. Beliau ingin untuk melepaskan
belenggu yang mengikatnya. Lalu beliau memutuskan untuk pergi ke Tha'if.
Jarak antara Mekah dan Tha'if lebih dari tujuh puluh kilo meter. Nabi
menempuh perjalanan itu dengan jalan kaki, pergi dan pulang.
Kita tidak mengetahui
pemikiran-pemikiran apa yang terlintas dalam benak Rasulullah saw saat
beliau pergi dan menemui kabilah yang kafir kepada Allah SWT ini. Yang
kita ketahui adalah bahwa beliau pergi ke sana dengan membawa rahmat
dunia dan akhirat. Tetapi mereka justru membalas sikap baik Rasulullah
saw itu dengan tindakan jahiliyah. Mereka bersikap buruk kepada beliau
dan mendustakannya. Rasulullah saw tinggal di sana selama sepuluh hari.
Beliau mondar-mandir dari satu rumah ke rumah yang lain dan dari pasar
ke pasar yang lain dan dari satu jalan ke jalan yang lain. Tak seorang
pun yang mendengar kedatangan beliau di sana; tak seorang pun yang mau
mendengar dakwah beliau dan tak seorang pun yang mau beriman kepada
ajakannya. Bahkan masyarakat di situ semakin menjadijadi dalam menyerang
Rasulullah saw dan mengejeknya.
Pada hari yang terakhir yang mana beliau telah
menetapkan untuk kembali ke Mekah. Rasulullah saw berdiri di Tha'if dan
mengharap kepada masyarakat di sana agar merahasiakan kunjungannya
kepada mereka sehingga pencelaan yang beliau terima di Mekah terhadap
agama yang dibawanya tidak semakin menjadi-jadi. Tetapi penduduk Tha'if
menolak permohonan yang terakhir ini. Mereka tidak cukup melakukan hal
itu tetapi mereka melakukan perbuatan terburuk yang dilakukan manusia
terhadap sesama manusia. Mereka menahan keluarga orang-orang yang bodoh
dan orang-orang biasa untuk membentuk dua barisan dan memerintahkan
mereka untuk melempari Rasulullah saw dengan batu dan mengejeknya. Nabi
keluar dari Tha'if dan beliau mendapatkan lemparan bertubi-tubi dari
keluarga Tha'if bahkan beliau merasakan kepedihan saat kakinya terkena
lemparan batu itu sehingga darah suci mengucur dari kaki beliau.
Kemudian Rasulullah saw
diusir sehingga beliau sampai di suatu kebun yang dimiliki oleh dua
orang dari orang-orang kaya Tha'if. Di sana beliau duduk di bawah
naungan pohon anggur. Dua orang pemilik kebun itu merasa kasihan melihat
keadaan orang yang terusir dan terluka itu. Mereka membawa kepadanya
setangkai anggur dengan seorang pembantu. Pembantu mereka adalah seorang
Nasrani yang bernama Adas. Si pembantu meletakkan setangkai anggur itu
depan Rasul saw lalu beliau mengulurkan tangannya kepadanya sambil
berkata: "Bismillahirahmanirrahim (Dengan nama Allah yang Maha Pengasih
lagi Maha Penyayang). Adas berkata kepada Nabi, perkataan ini tidak
begitu dikenal oleh penduduk negeri ini. Nabi berkata: "Anda dari daerah
mana?" Adas menjawab: "Aku adalah seorang Nasrani dari Nainawa." Nabi
berkata: "Apakah engkau dari desa lelaki saleh Yunus bin Mata?"
"Bagaimana engkau tahu tentang Yunus?, sambung lelaki itu. Nabi berkata:
"Itu adalah saudaraku. Ia adalah seorang Nabi aku pun seorang Nabi."
Mendengar jawaban Rasul saw,
Adas segera merobohkan tubuhnya di depan kedua kaki Rasul saw lalu ia
menciuminya sambil menangis. Akhirnya, pembantu Nasrani itu masuk Islam
sehingga ia menambah barisan kaum Muslim. Ia adalah seorang yang menjadi
Muslim ketika Rasulullah saw berhijrah ke Tha'if. Inilah harga yang
harus dibayar Rasulullah saw sclania dua minggu saat beliau berada di
Tha'if, dan kemudian bcliau terkena cobaan dengan mengucurnya darah dari
kaki beliau akibat lemparan batu penghuni Tha'if.
Kemudian Rasulullah saw
kcmbali ke Mekah beliau kembali dalam keadaan ditolak oleh pcnduduk
Tha'if dan kini beliau kembali menerima penolakan itu di Mekah. Meskipun
demikian, beliau merasakan kesedihan yang mendalam melihat sikap
kaumnya. Namun ketika kebencian semakin deras mengalir kepada beliau,
hati beliau justru semakin bersemangat dan semakin dipenuhi dengan
rahmat kemudian datanglah kepada Nabi masa di mana tampak di dalamnya
Islam asing, dan tampak di dalamnya Nabi seorang diri, tanpa penolong.
Pada saat demikian ini ketika
manusia mulai meninggalkan Rasulullah saw lalu langit turut campur dan
terjadilah peristiwa besar dan mukjizat terbesar pada diri Nabi, yaitu
Isra' dan Mi'raj. Ia adalah mukjizat yang tidak berhubungan dengan
dakwah Islam; ia tidak datang untuk memperkuat dakwah ini atau
menetapkannya tetapi ia datang semata-mata untuk memperkuat keteguhan
Nabi dan sebagai penghormatan kepadanya. Seakan-akan Allah SWT ingin
berkata kepada Nabi, jika saja penduduk bumi tidak memujimu, maka
penduduk langit mengenal kedudukanmu dan memberikan pujian yang layak
kepadamu dan jika manusia menolak dakwahmu dan menolak keberadaanmu,
maka sesungguhnya Allah SWT memilihmu dan memuliakanmu.
Untuk melihat tanda-tanda
kebesaran-Nya, munculnya mukjizat Isra' dan Mi'raj dalam sejarah para
nabi sebagai mukjizat satu-satunya yang tiada tandingannya dibandingkan
dengan kisah nabi yang lain. Kita mengetahui bahwa di deretan para nabi
ada nabi-nabi yang dinamakan oleh Allah SWT sebagai para kekasih-Nya dan
sebagai para pendamping-Nya, seperti Nabi Ibrahim. Kita juga melihat
bahwa di antara para nabi ada seseorang yang diajak bicara oleh Allah
SWT tanpa perantara, seperti Nabi Musa. Kita juga melihat di antara para
nabi ada yang didukung oleh Allah SWT dengan ruhul kudus, seperti Nabi
Isa. Tetapi untuk pertama kalinya kita berada di hadapan seorang nabi
yang diajak dan dipanggil oleh Allah SWT untuk menuju ke sisi-Nya.
Beliau naik bersama Jibril
dengan jasadnya dan ruhaninya sehingga Jibril berdiri di suatu tempat
dan Nabi maju sendirian. Itu adalah tingkat dari tingkat kehormatan di
mana pena terasa keluh untuk mengungkapkannya dan sejarawan tidak dapat
menulis apa yang terjadi saat itu. Kita telah melihat dalam kisah para
nabi seorang nabi yang meminta kepada Tuhannya agar memperlihatkan
kepadanya bagaimana Dia menghidupkan orang-orang yang mati. Allah SWT
bertanya kepadanya, apakah ia belum beriman akan hal itu? Ibrahim
menjawab: Bahwa ia beriman tetapi ia ingin menenangkan hatinya.
Kita juga melihat dalam kisah
para nabi seorang nabi yang cintanya kepada Allah SWT memancar dalam
kalbunya sehingga ia meminta:
"Ya Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar
aku dapat melihat kepada Engkau". (QS. al-A'raf: 143)
Namun Allah SWT menjawab
kepada Musa tentang kemustahilan melihat Allah SWT atas manusia. Nabi
Musa memahami bahwa makhluk manapun tidak akan mampu menahan beban
penampakan dari Zat sang Pencipta.
Adapun Muhammad bin Abdillah ia tidak bertanya kepada
Tuhannya dan meminta kepadanya untuk diberi mukjizat atau kejadian yang
luar biasa; ia tidak meminta kepada Tuhannya agar dapat melihat Zat-Nya
dan ia tidak berusaha mencari ketenangan dalam hatinya. Cintanya kepada
Allah SWT termasuk bentuk cinta yang sulit untuk dipahami atau diselami
kedalamannya oleh para tokoh pecinta dan cintanya tersebut bukan
termasuk bentuk yang menimbulkan berbagai pertanyaan. Cinta beliau
melampaui tingkat permintaan menuju ketingkat penyerahan dan kepuasan
atau ridha. Segala sesuatu yang menggelisahkan Nabi adalah ridha Allah
SWT.
Rasulullah saw
berkata saat beliau dalam keadaan ditolak dan diusir dan terluka akibat
perbuatan kaum Tha'if: "Jika Engkau tidak murka kepadaku, maka aku tidak
peduli dengan mereka."
Lihatlah tingkat cinta yang tinggi itu: bagaimana
tingkat tersebut menyebabkan beliau merasa rendah diri sehingga beliau
berkata, "jika Engkau tidak murka kepadaku ..." Seakan-akan beliau tidak
menginginkan selain ridha Allah SWT dan yang beliau khawatirkan adalah
kemarahan Allah SWT.
Sungguh
adab yang diterapkan Rasulullah saw kepada Tuhannya adalah adab yang
paling layak dan paling tinggi yang sesuai dengan kedudukan beliau
sebagai orang Muslim yang paling sempurna.
Demikianlah mukjizat Isra' dan Mi'raj. Mukjizatyang
tujuannya adalah menghormati kepribadian Rasulullah saw; mukjizat yang
membangkitkan peranan akal dan hati secara bersama. Para nabi tanpa
terkecuali didukung oleh bcrbagai macam mukjizat yang terjadi di muka
bumi bahkan para nabi yang diangkat ke langit seperti Nabi Idris dan
Nabi Isa, maka pengangkatan mereka sebagai bentuk menyelamatkan mereka
dari usaha pembunuhan atau penyaliban. Mukjizat mereka saat mereka
diangkat ke langit adalah bentuk akhir dari aktifitas mereka di muka
bumi.
Ini adalah kali
pertama ketika kita mendapati suatu mukjizat yang tempat utamanya di
langit; suatu mukjizat yang terwujud bersama seorang Nabi yang diangkat
ke langit dengan jasadnya dan ruhaninya saat beliau masih hidup. Di sana
Allah SWT memperlihatkan kepadanya tanda-tanda kekuasaan-Nya. Kemudian
beliau kembali ke bumi di mana beliau akan mendapatkan berbagai macam
tantangan dan cobaan yang biasa diterima oleh penduduk bumi. Muhammad
bin Abdillah adalah manusia yang pertama melewati planet bumi dan beliau
menembus bulan dan matahari dan bintang-bintang. Kita menyaksikan di
zaman kita manusia pertama atau astronot pertama yang mampu menembus
ruang angkasa. Ruang angkasa itu baru dapat ditembus oleh manusia
setelah empat belas abad dari turunnya risalah Muhammad saw, namun sejak
empat belas abad yang lalu Nabi Islam telah dapat menembus ruang
angkasa itu, bahkan beliau mencapai Sidratul Muntaha dan puncak
al-Muntaha.
Beliau
sampai pada batas yang di situlah alam makhluk diakhiri dan beliau
menembus alam gaib. Bukankah surga bagian dari alam gaib? Beliau sampai
di surga. Allah SWT menamakannya dengan Jannatul Ma'wah. Beliau sampai
pada batas terputusnya ilmu manusia dan tiada yang mengetahui hakikat
ilmu tersebut kecuali Allah SWT. Mukjizat Isra' bukanlah mukjizat
Mi'raj, meskipun kedua-duanya terjadi di satu malam. Peristiwa Isra' dan
Mi'raj dikutip oleh dua surah yang berbeda dalam Al-Qur'an al-Karim.
Allah SWT berfirman tentang mukjizat Isra':
"Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya
pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami
berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari
tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar
lagi Maha Mengetahui." (QS. al-Isra': 1)
Sedangkan berkaitan dengan mukjizat Mi'raj, Allah SWT
berfirman:
"Dan
sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli)
pada waktu yang lain, (yaitu) di Sidratil Muntaha. Di dekatnya ada
surga tempat tinggal. (Muhammad melihat Jibril) ketika Sidratil Muntaha
diliputi oleh sesuatu yang meliputinya. Penglihatannya (Muhammad) tidak
berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauiya.
Sesungguhnya dia telah melihat sebagian tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya
yang paling besar." (QS. an-Najm: 13-18)
Pada malam Isra' dan Mi'raj, Nabi Muhammad berkeliling
di sekitar Ka'bah dan berdoa kepada Allah SWT. Beliau dalam keadaan
pucat wajahnya dan kedua air matanya mengucur; beliau tidak bertawaf
bersama seseorang pun; beliau tawaf sendirian lalu orang-orang kafir dan
orang-orang musyrik memandang beliau dengan pandangan kebencian saat
beliau bertawaf dan berdoa. Allah SWT melihat hamba-Nya yang khusuk itu
lalu Allah SWT menurunkan perintah-Nya kepada Ruhul Amin yaitu malaikat
Jibril agar menemani hamba-Nya dari Masjidil Haram menuju Masjidil Aqsha
Kemudian membawanya naik ke langit agar dia dapat melihat tanda-tanda
kebesaran Tuhannya.
Di
suatu rumah yang mulia dan sederhana dari rumah-rumah yang ada di
Mekah, Nabi saw sedang tidur dan datanglah waktu pertengahan malam.
Jibril turun dan memasuki rumah sang Rasul saw. Jibril as berdiri di
sisi kepala sang Nabi dan ia melihat kepadanya dengan pandangan cinta.
Pandangan Jibril itu membangunkan Rasul saw kemudian beliau membuka
kedua matanya dan bangkit dari tempat tidurnya.
Jibril berkata kepada Nabi saw, salam kepadamu
wahai Nabi yang mulia. Allah SWT ingin agar engkau melihat sebagian
tanda-tanda kebesaran-Nya di alam. Kemudian Jibril berjalan bersama Nabi
saw. Mereka keluar dari rumah dan beliau menyaksikan Buraq yaitu
makhluk yang menyerupai burung dan mempunyai sayap seperti burung
garuda; makhluk yang terbuat dari kilat. Karena itu, ia dinamakan dengan
Buraq. Kilat adalah listrik dan listrik adalah cahaya. Cahaya adalah
makhluk yang tercepat yang kita kenal di bumi. Kilauan cahaya pada satu
detik saja mencapai 186 ribu mil. Kita tidak akan terlibat terlalu jauh
tentang kendaraan luar angkasa yang digunakan dalam perjalanan itu; kita
tidak akan bertanya bagaimana Nabi saw menembus alam ruang angkasa
tanpa ada latihan sebelumnya dan berapa lama waktu yang beliau gunakan
untuk pulang pergi; kami juga tidak akan bertanya tentang kecepatan
Buraq; kami tidak heran dengan usaha penembusan luar angkasa ini; kita
tidak akan bertanya tentang semua itu karena kita mempunyai satu jawaban
dari semuanya: Allah SWT berkehendak agar hal itu terjadi dan untuk itu
Allah SWT mengatakan kun jadilah, maka jadilah.
Para ulama beselisih pendapat
tentang apakah Isra' dan Mi'raj terjadi dengan ruh saja atau dengan
ruhani dan jasad sekaligus. Ahli hakikat mengatakan bahwa itu terjadi
dengan ruh dan jasad. Tentu perselisihan itu berakibat pada perselisihan
akal dan terjerumus dalam perangkap kaifa (bagaimana) dan bertanya
tentang kekuasaan Allah SWT dan usaha untuk menundukkan masalah ini
terhadap sebab-sebab yang biasa atau hukum-hukum kita yang alami atau
logika kemanusiaan. Allah Maha Suci dan Maha Tinggi dari semua itu.
Apakah seseorang akan bertanya, bagaimana Rasulullah saw naik berserta
ruh dan fisiknya ke puncak segala puncak di langit kemudian beliau
kembali sebelum tempat tidurnya dingin? Mukjizat apa yang terjadi di
sini yang melebihi mukjizat berubahnya air mani menjadi manusia dan
berubahnya benih menjadi pohon atau mukjizat air yang menghidupkan
tanah, atau ia mampu memuaskan kehausan si dahaga atau mukjizat cinta
yang mengikat dua hati yang belum pernah mengenal?
Sementara itu, Buraq
menundukkan badannya kepada Nabi saw kemudian Nabi saw menungganginya
bersama Jibril dan Buraq pergi bagaikan anak panah dari cahaya di atas
gunung Mekah dan pasir-pasir menuju ke utara. Jibril mengisyaratkan agar
menuju arah gunung Saina' lalu Buraq itu berhenti. Jibril berkata di
tempat yang diberkati ini, Allah SWT berdialog dengan Musa as. Kemudian
Buraq kembali pergi ke Baitul Maqdis, Nabi saw turun dari pesawat ini
yang berjalan lebih cepat dari cahaya dan jutaan kali lebih cepat
darinya dan ia tidak berubah dari cahaya.
Nabi berjalan bersama Jibril dan memasuki Baitul
Maqdis. Beliau memasuki masjid dan beliau mendapati semua nabi sedang
menunggunya di sana. Allah SWT membangkitkan gambar para nabi-Nya dari
kematian dan mengumpulkan mereka di Mesjid Aqsha. Para malaikat
memberinya suatu bejana yang di dalamnya terdapat susu dan bejana yang
lain yang di dalamnya terdapat khamer. Lalu beliau memilih susu dan
meminumnya. Dikatakan pada beliau, sesungguhnya engkau telah memilih
fltrah dan umatmu akan memilih fitrah.
Para nabi mengitari Rasul saw dan datanglah waktu
salat. Para nabi bertanya di antara sesama mereka, siapa di antara
mereka yang menjadi imam salat, apakah itu Adam, Nuh, Ibrahim, Musa atau
Isa? Jibril berkata kepada Muhammad saw, sesungguhnya Allah SWT
memerintahkanmu untuk salat bersama para nabi. Rasulullah saw berdiri
dan salat bersama para nabi. Mereka semua adalah orang-orang Muslim dan
beliau adalah orang-orang Muslim yang pertama. Secara logis bahwa beliau
layak menjadi imam dari para nabi sebagaimana kitabnya dijadikan kitab
yang terbaik daripada kitab-kitab yang mendahuluinya. Beliau membacakan
Al-Qur'an kepada mereka dan beliau menangis saat membacanya. Kekhusukan
beliau saat membacanya membuat para nabi pun menangis. Dan ketika para
nabi sujud di belakang imam mereka, pohon-pohon dan bintang-bintang pun
turut bersujud.
Selesailah
waktu salat dan para nabi membubarkan diri. Setiap nabi kembali ke
langit yang mereka tinggal di dalamnya. Nabi keluar dari masjid bersama
Jibril dan mereka kembali menunggang Buraq seperti panah dari cahaya.
Buraq semakin meninggi dan ia melewati langit pertama lalu beliau
menyaksikan Nabi Adam. Kemudian ada panggilan dari Allah SWT: "Hendaklah
hamba-Ku semakin meninggi dan menjauh." Kemudian hamba Allah SWT
Muhammad bin Abdillah semakin terbang menjauh ia melampaui langit demi
langit. Beliau melampaui tempat materi dan mulai menjangkau tempat
ruhani dan melewatinya. Beliau bersiap berdiri di haribaan Ilahi; beliau
semakin tinggi dan jauh di tingkat dan dipuncak ruhani dalam kecepatan
yang tidak kurang dari kecepatan kilat.
Beliau melampaui kedudukan Nabi Adam di langit pertama
dan melampaui kedudukan Nabi Yahya dan Nabi Isa di langit kedua. Lalu
Tuhan pemilik kemuliaan memanggil, "hendaklah hamba-Ku lebih tinggi
lagi." Kemudian hamba Allah SWT dan Nabi-Nya yang mulia mencapai tingkat
yang lebih tinggi lagi. Beliau melampaui langit yang ketiga, keempat,
kelima, keenam, dan ketujuh. Beliau melampaui alam materi semuanya dan
melampaui alam ruhani. Akhirnya, beliau sampai ke Sidratul Muntaha.
Beliau sampai di tempat yang suci yang Allah SWT menamakannya dengan
sebutan Sidratul Muntaha dan di sana Nabi melihat dan menyaksikan
Jannatul Ma'wa. Beliau menyaksikan yang kita tidak mampu mengetahuinya
dan memahaminya bahkan membayangkannya:
"(Muhammad melihat Jibril) ketika Sidratil Muntaha
diliputi oleh sesuatu yang meliputinya. Penglihatannya (Muhammad) tidak
berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidnk (pula) melampauinya." (QS.
an-Najm: 16-17)
Sungguh
terjadilah pada tempat itu apa yang terjadi dengannya. Dengan kebesaran
yang misteri ini, Allah SWT memberitahu kita bahwa terjadilah hal
penting di sana meskipun hakikat hal tersebut tersembunyi dari kita.
Sesuatu yang Allah SWT sembunyikan dari kita tersebut disaksikan oleh
Rasul saw. Itu adalah mukjizat yang khusus baginya; itu adalah tingkat
cinta yang tidak tersingkap tabirnya karena ketinggiannya yang tidak
mampu ditangkap oleh pengetahuan manusia biasa.
Kemudian Tuhan pemilik surga dan neraka
memanggil, "hendaklah hamba-Ku lebih tinggi lagi." Hamba Allah SWT
Muhammad bin Abdillah menaik ke tempat yang tinggi. Kali ini beliau
melihat Jibril yang berada di belakangnya lalu beliau mendapatinya dalam
keadaan bertasbih kepada Allah SWT. Jibril tidak berada dalam wujud
manusia seperti yang Nabi saksikan ketika berada di dunia. Jibril as
kembali ke dalam wujud malaikatnya. Nabi melihat Jibril dan ia merupakan
tanda kebesaran Allah SWT yang Allah SWT janjikan untuk diperlihatkan
kepadanya:
Penglihatannya
(Muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula)
melampauinya." (QS. an-Najm: 17)
Pemandangan itu terjadi dengan hati dan mata serta panca
indera yang dikenal dan yang tidak dikenal. Pemandangan itu benar-benar
jelas. Di sana bukan mimpi, bukan khayalan, dan bukan gambaran. Rasul
saw melihat semua itu dengan jasadnya dan ruhaninya:
"Penglihatannya (Muhammad)
tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula)
melampauinya." (QS. an-Najm: 17)
Kemudian Rasulullah saw menuju ke tempat yang tinggi dan
lebih tinggi lagi. Beliau semakin naik ke tingkat yang makin tinggi
sampai beliau berdiri di hadapan Tuhan Pencipta langit dan bumi dan
Penebar kasih sayang di dunia dan di akhirat. Orang Muslim yang paling
sempurna itu bersujud di hadapan Tuhan Sang Pencipta sambil berkata:
"Sungguh penghormatan dan keberkatan serta shalawat yang baik tertuju
hanya kepada Allah SWT." Allah SWT membalasnya: "Salam kepadamu wahai
Nabi dan rahmat Allah SWT serta berkat-Nya juga tercurah kepadamu." Para
malaikat pun ketika mendengar ucapan itu bertasbih dan mengatakan:
"Salam kepada kita dan kepada hamba-hamba Allah SWT yang saleh."
Ungkapan-ungkapan tersebut
merupakan permulaan tahiyat (penghormatan) yang diucapkan orang-orang
Muslim saat mereka melaksanakan salat pada setiap hari. Salat telah
diwajibkan atas kaum Muslim pada kesempatan yang besar ini. Hal populer
di kalangan umumnya kaum Muslim adalah, bahwa Allah SWT mewajibkan atas
Nabi mula-mula lima puluh salat sehari. Kemudian Nabi turun dari langit
lalu beliau menemui Nabi Musa. Selanjutnya Nabi Musa bertanya kepadanya
tentang jumlah salat yang diwajibkan Allah SWT kepada umatnya. Nabi
menceritakan bahwa Allah SWT telah menentukan lima puluh kali salat.
Nabi Musa berkata sungguh umatmu tidak akan kuat untuk melakukan salat
itu, maka kembalilah kepada Tuhanmu dan mohonlah kepadanya agar Dia
meringankan bagi umatmu. Lalu Nabi kembali kepada Tuhan-Nya sehingga
Allah SWT meringankan salat hingga sepuluh kali. Setelah itu, Nabi
kembali bertemu dengan Nabi Musa. Lagi-lagi Nabi Musa memperingatkannya.
Kemudian Nabi kembali lagi kepada Allah SWT sehingga sampai diturunkan
salat dari lima puluh kali menjadi lima kali sehari. Namun salat yang
lima kali itu pahalanya sama dengan salat yang lima puluh kali.
Menurut hemat kami, kisah
tersebut tidak memiliki sandaran dalam kitab-kitab ulama yang
benar-benar teliti. Kami kira, kisah itu tersebut merupakan rekayasa
orang-orang Yahudi di mana mereka masuk Islam dan mereka memenuhi
kitab-kitab dengan dongeng-dongeng khurafat dan mereka menisbatkannya
kepada Rasul. Prasangka tersebut didukung oleh pemilihan Musa sebagai
seorang Nabi yang mengusulkan kepada Rasul saw agar meminta keringanan
atas umatnya sehingga terkesan Nabi Musa menjadi seseorang yang lebih
mengetahui sesuatu yang tidak diketahui oleh Nabi Muhammad. Kami sendiri
cenderung untuk menolak kisah tersebut dengan keyakinan bahwa pertemuan
Nabi dengan Allah SWT menimbulkan rasa kebesaran dan kewibawaan yang
luar biasa sehingga ketika Nabi telah pergi, maka sangat berat baginya
untuk kembali lagi.
Nabi
menyaksikan dan melihat hal-hal yang tidak mampu diungkap oleh lisan
dan tidak mampu ditulis dengan pena. Beliau berada di suatu keadaan yang
tidak dapat dipahami oleh manusia biasa. Al-Qur'an al-Karim sengaja
tidak mcnyebutkan apa saja yang dilihat oleh Nabi karena itu mernpakan
rahasia antara Nabi dan Tuhannya dan mukjizat yang khusus yang
diperuntukkan baginya sebagai bentuk penghormatan kcpadanya. Jadi
Al-Qur'an sengaja tidak menyebutkan itu semua untuk menegaskan bahwa
beliau melihat tanda dari tanda-tanda kebesaran Tuhannya.
Kami tidak mengetahui apa yang
dilihat oleh Nabi. Hal yang dapat kami bayangkan adalah, bahwa Nabi
bersujud dengan khusuk di hadapan Tuhannya dan beliau menangis karena
gembira. Kesedihan hatinya telah hilang selamanya. Setelah Nabi melihat
rahasia dan setelah penghormatan yang besar ini, beliau kembali menemani
Buraq dan pergi bersama Jibril untuk kembali ke bumi. Beliau kembali
dan mendapati tempat tidurnya masih dingin. Bagaimana beliau pergi dan
kembali sementara tempat tidumya belum dingin? Berapa lama waktu yang
diperlukannya saat melakukan perjalanan tersebut? Hanya Allah SWT semata
yang mengetahui. Yang kita ketahui adalah, bahwa Rasulullah saw kembali
ke tempat tidurnya setelah Isra' dan Mi'raj dan hatinya dipenuhi dengan
kegembiraan serta dadanya dipenuhi dengan ketenangan dan kepuasan serta
kefanaan dalam cinta kepada Allah SWT.
Kemudian datanglah waktu pagi. Nabi menceritakan
perjalanan dan pengalaman tersebut kepada sahabat-sahabatnya dan
orang-orang Musyrik sehingga berimanlah orang-orang yang beriman padanya
dan mendustakan kepadanya orang-orang yang mendustakannya. Namun beliau
tidak peduli dengan semua itu. Nabi terus melangsungkan perjuangannya
dengan penuh kesabaran.
Akhirnya, datanglah suatu masa di mana Nabi saw
mengetahui bahwa dakwah Islam di Mekah telah mengalami penekanan yang
luar biasa sehingga keadaan sangat tidak mendukung bagi kaum Muslim.
Rasulullah saw bergerak dengan dakwahnya. Lalu Allah SWT mewahyukan
kepadanya agar ia berhijrah. Kemudian mulAllah Nabi berhijrah di jalan
Allah SWT setelah tiga belas tahun beliau di Mekah. Islam ingin
membangun negaranya dan ingin menghilangkan pengepungan dan serangan
kaum musyrik. Mula-mula terjadilah perubahan sedikit dalam keadaan kaum
Muslim.
Rasulullah saw
keluar dalam musim haji untuk menunjukkan dirinya pada kabilah-kabilah
Arab sebagaimana yang beliau lakukan pada setiap musim. Beliau berada di
tempat yang bernama 'Aqabah, lalu beliau bertemu dengan jamaah dari
Khazraj. Rasulullah saw berkata kepada mereka, "siapa kalian?" Mereka
menjawab: "Kami berasal dari kelompok Khazraj." Beliau berkata. "apakah
kalian termasuk pembantu kaum Yahudi?" Mereka menjawab, "benar." Beliau
berkata, "maukah kalian duduk bersama aku karena aku ingin sedikit
berbicara dengan kalian." Mereka menjawab: "Boleh." Kemudian mereka
duduk bersama Nabi lalu beliau mengajak mereka untuk mengikuti agama
Allah SWT.
Rasulullah
saw sedikit menceritakan Islam kepada mereka dan membacakan Al-Qur'an.
Enam orang mendengarkan apa yang disampaikan oleh Nabi saw. Setelah
beliau selesai dari pembicaraannya, mereka membenarkannya dan beriman
kepadanya. Kemudian mereka menceritakan kepada Nabi saw bahwa mereka
meninggalkan kaumnya karena kaum mereka terlibat peperangan dan
kebencian. Mudah-mudahan Allah SWT mengumpulkan mereka dengan kedatangan
Nabi saw yang mulia ini. Mereka memberitahu Nabi saw bahwa mereka akan
menceritakan kepada kaumnya apa yang mereka dengar dari Nabi saw dan
akan mengajak mereka untuk memenuhi dakwah Nabi.
Keenam lelaki itu kembali ke kota Madinah yang
berubah namanya menjadi Madinah Munawarah yang sebelumnya ia bernama
Yatsrib di zaman jahiliah. Allah SWT berkehendak untuk meneranginya
dengan Islam. Para lelaki itu kembali ke Madinah dan mereka membawa
Islam di hati mereka sehingga banyak orang yang masuk Islam.
Kemudian datanglah musim haji
dan keluarlah dari Madinah dua belas orang lelaki dari orang-orang yang
beriman yang di antara mereka terdapat enam orang yang Rasulullah saw
telah berdakwah kepada mereka pada musim yang dulu dan Nabi saw menemui
mereka di 'Aqabah. Kemudian Nabi melakukan baiat pada mereka agar mereka
mempertahankan keimanan dan membela dakwah kebenaran serta kemanusiaan.
Kaum lelaki itu kembali ke
Madinah disertai salah seorang yang terpercaya dari tokoh Islam yaitu
Mus'ab bin Umair di mana ia menjadi utusan Rasulullah saw di Madinah dan
ia mengajari manusia tentang agama mereka dan membacakan kepada mereka
Al-Qur'an dan menyerukan kebenaran kepada manusia sehingga tersebarlah
Islam di Madinah. Penduduk Madinah mulai bertanya-tanya, mengapa
saudara-saudara kita kaum Muslim Mekah ditindas? Mengapa Rasul saw
keluar untuk berdakwah dan menebarkan rahmat tetapi beliau justru
mendapatkan angin kebencian? Sampai kapan kita akan membiarkan
Rasulullah saw teraniaya dan terusir di Mekah?
Demikianlah, pergilah tujuh puluh orang ke Mekah, tujuh
puluh orang dari penduduk Madinah Munawarah. Mereka pergi ke 'Aqabah
dalam keadaan sendirian dan berkelompok-kelompok. Islam telah
menghasilkan buah pertamanya dalam hati mereka sehingga hati mereka
dipenuhi cinta kepada Allah SWT dan Rasul-Nya serta kaum Muslim.
Penderitaan yang dialami kaum Muslim mempengaruhi jiwa mereka dan
mencegah mereka dari mendapatkan kenikmatan tidur dan nikmatnya memakan
dan nikmatnya kehidupan. Orang-orang yang baik itu datang dan berbaiat
kepada Rasul saw untuk membela beliau menolongnya dan melindunginya
serta siap untuk mati di jalannya. Mereka datang setelah hati mereka
diliputi oleh Islam dan mereka memberikan segala sesuatu untuk dakwah
yang baru; mereka datang sebagai pecinta-pecinta kebenaran.
Kitab-kitab hadis yang suci
meriwayatkan apa yang terjadi pada baiat 'Aqabah al-Kubra. Dalam kitab
tersebut dikatakan bahwa Abbas Ibnu Abdul Muthalib datang bersama Nabi
dan saat itu ia masih berada dalam agama kaumnya. Ia ingin menyelesaikan
urusan anak pamannya. Ketika ia duduk dan berbicara, ia mengatakan
suatu pernyataan yang mengisyaratkan bahwa Muhammad saw mendapatkan
kemuliaan dari kaumnya dan kekuatan di negerinya tetapi ia enggan dan
memilih untuk bergabung bersama kalian wahai penduduk Madinah. Jika
kalian memenuhi janjinya dan melindunginya, maka ambillah ia, namun jika
kalian khawatir jika suatu saat nanti akan mengkhianatinya, maka mulai
dari sekarang biarkanlah ia di negerinya.
Kata-kata Abbas tersebut berasal dari fanatisme
kesukuan dan ikatan darah keluarga namun penduduk Madinah tidak begitu
peduli dengan kalimat Abbas itu karena ia bukan termasuk dari agama
mereka dan ia tidak mengetahui tingkat cinta kepada Rasul saw yang
mereka capai. Abbas bin Abdul Muthalib menunggu jawaban dari penduduk
Madinah. Lalu mereka berkata kepadanya, "Kami telah mendengar apa yang
engkau katakan, maka berbicaralah ya Rasulullah, ambilah untuk dirimu
dan Tuhanmu apa saja yang engkau sukai."
Kita ingin mengamati jawaban sekelompok orang yang
mukmin dari penduduk Madinah ini sehingga Rasulullah saw berbicara.
Jawaban yang dicari oleh Abbas bin Abu Muthalib tersembunyi dalam
pernyataan Nabi. Demikianlah setelah Rasulullah saw mengucapkan
kalimatnya, maka tidak keluar pemyataan apa pun. Cukup hanya Nabi yang
berbicara dan mereka hanya menaatinya. Mereka meminta kepada beliau agar
mengambil pada dirinya dan Tuhannya apa saja yang beliau sukai; mereka
merasa tidak memiliki apa-apa dan tidak memiliki keputusan. Nabi
berbicara lalu beliau membaca Al-Qur'an dan mengajak ke jalan Allah SWT.
Kemudian beliau bebicara tentang Islam dan beliau membaiat mereka agar
membantu beliau sehingga mereka pun membaiat kepadanya. Demikianlah
terjadinya baiat 'Aqabah al-Kubra.
Orang-orang yang terpilih oleh Allah SWT itu mengetahui
bahwa sebentar lagi mereka akan diajak untuk mengangkat senjata: mereka
diajak untuk mendapatkan kematian di bawah naungan pedang. Mereka
menenangkan Rasulullah saw bahwa beliau akan mendapati orang-orang yang
sudah terlatih dalam peperangan karena mereka mewarisi dari kakek-kakek
mereka.
Salah seorang
dari tujuh puluh orang itu menyebutkan masalah yang penting. Abul
Haitsyam berkata: "sesungguhnya di antara orang-orang Madinah dan Yahudi
terdapat suatu tali ikatan, maka mereka boleh jadi akan memutuskannya
lalu, apakah sikap yang harus kita ambil jika mereka lakukan hal itu dan
memusuhi orang-orang Yahudi," kemudian Allah SWT menolong Nabi dan
memenangkan atas kaumnya, lalu ia kembali kepada mereka dan meninggalkan
mereka di bawah kasih sayang orang-orang Yahudi.
Perhatikanlah bahwa pertanyaan
tersebut berkisar pada kecintaan kepada Nabi dan keinginan agar Nabi
tetap bersama mereka selama perjalanan hari dan bulan. Masalah yang
dituntut oleh Abbas bin Abdul Muthalib secara jelas adalah masalah
perlindungan mereka kepada Nabi, di mana hal tersebut tidak lagi
diperdebatkan oleh orang-orang yang terpilih dari penduduk Madinah.
Namun masalah yang mereka inginkan adalah masalah perlindungan Nabi dan
keberadaan Nabi bersama mereka di Madinah.
Nabi tersenyum dan beliau mengatakan kalimat-kalimat
yang justru menekankan bahwa ikatan akidah lebih kuat daripada ikatan
darah. Beliau berkata: "Tetapi darah adalah darah dan kehancuran adalah
kehancuran. Aku dari kalian dan kalian dariku aku akan memerangi
orang-orang yang kalian perangi dan aku akan berdamai dengan orang-orang
yang kalian berdamai dengan mereka."
Akhirnya, penduduk Madinah pergi dan kembali ke negeri
mereka. Kemudian berita tentang baiat ini sampai ketelinga orang-orang
Mekah dan para tokoh musyrik, lalu mereka justru menambah penekanan
kepada Rasulullah saw dan kaum Muslim.
Para preman Mekah berkumpul di Darul Nadwah. Mereka
menetapkan akan mengambil sesuatu keputusan penting berkaitan dengan
Nabi. Salah seorang dari mereka mengusulkan agar beliau dibelenggu
dengan besi lalu dibuang di penjara sehingga beliau mati kelaparan.
Sebagian lagi mengusulkan agar beliau dibuang dari Mekah dan diusir. Abu
Jahal mengusulkan agar mereka mengambil dari setiap keluarga dari
keluarga-keluarga Quraisy seorang pemuda yang kuat, kemudian setiap dari
mereka diberi pedang yang terhunus dan hendaklah mereka memukulkan
pedang itu ke tubuh Nabi. Jika mereka berhasil membunuhnya niscaya semua
kabilah bertanggung jawab terhadap darah sang Nabi dan Bani Hasyim
tidak akan mampu menuntut dan memerangi orang Arab semuanya dan mereka
akan menerima diat sebagai tebusan dari pembunuhan itu. Demikianlah
persekongkolan itu digelar dan mereka sepakat untuk melaksanakan hal
itu. Namun Al-Qur'an al-Karim menyingkap persekongkolan yang dilakukan
orang-orang kafir itu dalam firman-Nya:
"Dan (ingatlah), ketika orang-orang kafir memikirkan
tipu daya terhadapmu untuk menangkap dan memenjarakanmu atau membunuhmu,
atau mengusirmu. Mereka memikirkan tipu daya itu. Dan Allah sebaik-baih
Pembalas tipu daya." (QS. al-Anfal: 30)
Allah SWT mewahyukan kepada Nabi-Nya agar ia berhijrah.
Lalu Nabi mulai menyiapkan sarana-sarana untuk hijrahnya. Beliau
menyembunyikan urusan tersebut bahkan beliau tidak memberitahu sahabat
yang akan menemaninya. Rasulullah saw menyewa seorang penunjuk jalan
yang pengalaman yang mengenal padang gurun seperti mengenal garis-garis
tangannya. Yang mengherankan penunjuk jalan itu adalah seorang musyrik.
Demikianlah Nabi memita bantuan kepada orang yang ahli tanpa
memperhatikan keyakinannya.
Kemudian datanglah malam pelaksanaan kejahatan itu.
Rasulullah saw memerintahkan Ali bin Abi Thalib untuk tidur di tempat
tidumya di malam tersebut. Datanglah pertengahan malam dan Rasulullah
saw pun keluar dari rumahnya. Para pemuda Mekah mengepung rumah. Mereka
menghunuskan pedangnya. Nabi menggenggam tanah lalu beliau
melemparkannya ke arah kaum sehingga mereka pun merasa kantuk sehingga
Nabi saw dapat menembus kepungan mereka. Beliau keluar dari Mekah dan
berhijrah.
Dengan
langkah yang diberkati ini, kaum Muslim menanggali tahun-tahun mereka.
Tahun dalam Islam adalah tahun Hijiriah, sedangkan kaum Masehi
menanggali tahun mereka dengan kelahiran Isa dan ini disebut dengan
tahun Masehi. Adapun tahun-tahun Islam, maka ia ditanggali pertama
kalinya saat Rasulullah saw keluar berhijrah di jalan Allah SWT. Hijrah
Rasul bukan hanya lari dari penindasan tetapi lari dari kebekuan; hijrah
tersebut bukan keluar dari keamanan tetapi keluar dari bahaya. Islam di
Mekah hanya dapat mempertahankan dirinya tetapi ketika ia keluar ke
Madinah ia mempertahankan dirinya ketika menyerang. Dan selama beberapa
tahun masa yang dihabiskan di Mekah, tak seorang dari kaum Muslim yang
mengangkat senjata. Ketika mereka keluar ke Madinah, mereka mulai
membawa senjata dan mulai menyalakan obor peperangan. Islam mulai
membawa senjata sebagaimana luka akan sembuh dengan syarat jika diobati.
Nabi saw mengetahui bahwa Islam tidak akan menghabiskan usianya hanya
untuk melawan serangan pada dirinya; Islam ingin tersebar; Islam ingin
mendirikan negaranya yang pertama yaitu suatu negara yang belum pernah
dikenal di muka bumi negara seperti itu. Negara yang mencapai keadilan,
kasih sayang, dan idealisme yang begitu luar biasa di mana hukum Allah
SWT ditegakkan dan kehormatan manusia benar-benar dijaga.
Inilah kedalaman hijrah yang
mengesankan yaitu pendirian negara Islam setelah sebelumnya membangun
individu masyarakat Muslim. Setelah Rasul saw membangun masyarakat
Muslim dan membangun masjid, maka beliau membangun suatu negara Islam.
Selanjutnya, sayap-sayap dakwah mengepak.
Kami kira pembaca tidak akan bertanya, apa gunanya
pembangunan masjid ditingkatkan sementara Islam masih mengalami
penindasan di muka bumi. Kami kira pembaca lebih pintar daripada orang
yang tidak mengetahui bahwa masjid yang dibangun Rasulullah saw di
Madinah bukan tempat peristirahatan dari keletihan, tetapi masjid
merupakan pusat dari kepemimpinan pergerakan Islam dan kepemimpinan
menuju peperangan Islam.
Manusia mandi di masjid dengan cahaya Allah SWT setelah
itu mereka mandi di kancah peperangan dengan darah mereka. Pertanyaannya
adalah, siapakah di antara mereka yang akan terbunuh di jalan Allah SWT
sebelum saudaranya? Demikianlah perlombaan dalam perbaikan terjadi di
antara mereka. Dengan cara demikianlah Islam tersebar.
Sementara itu, Nabi berlindung
di suatu gua; di gunung yang bernama Tsur. Beliau masuk ke gua itu
bersama sahabatnya Abu Bakar. Dan orang-orang musyrik pergi menyusul
beliau dengan membawa pedang mereka. Lalu mereka sampai ke gunung itu.
Abu Bakar berkata kepada Rasul saw dengan keadaan gelisah, "seandainya
salah seorang mereka melihat di bawah kakinya niscaya mereka akan
melihat kita."
Dengan
tenang, Rasulullah saw menepis kegelisahan Abu Bakar dan berkata: "Wahai
Abu Bakar apa yang kamu kira dengan dua orang yang ada di tempat yang
sepi sementara Allah SWT menjadi ketiga di antara mereka?" Sebelum
Rasulullah saw mengakhiri kalimatnya, terdapat laba-laba yang selesai
dari menenun rumahnya di atas pintu gua. Kitab-kitab sejarah mengatakan
bahwa kaum musyrik mengikuti jejak sang Nabi sehingga mereka sampai di
gunung Tsur lalu di situlah mereka mengalami kebingungan. Mereka mendaki
gunung dan mendaki gua itu. Lalu mereka melihat di atas pintu gua itu
terdapat tenunan laba-laba. Mereka mengatakan, seandainya seseorang
masuk di dalamnya niscaya tidak akan terdapat tenunan laba-laba di atas
pintunya. Beliau tinggal di gua itu selama tiga malam.
Demikianlah keimanan tenunan
laba-laba yang lembut dimenangkan atas ketajaman pedang kaum musyrik
sehingga Nabi bersama sahabatnya pun selamat. Kini, kedua orang itu
menuju Madinah. Dan Madinah pun menyambut mereka. Ketika Rasulullah saw
dan sahabatnya memasuki Madinah, mula-mula masyarakat tidak mengenal
siapa di antara mereka yang menjadi Rasul karena saking baiknya sikap
Rasul terhadap sahabatnya. Akhirnya, Nabi menerangi kota Madinah. Beliau
membangun masjid dan mendirikan negaranya serta memerangi
musuh-musuhnya dan tersebarlah Islam dan Mekah pun ditaklukkan dan
Baitul Haram disucikan.
Beliau menanamkan dalam akal dan hati suatu cahaya yang
tidak akan pernah padam. Kemudian berlangsunglah sepuluh tahun yang
dilewatinya di Madinah di mana beliau tidak menggunakannya untuk
berleha-leha. Demikian juga selama masa tiga belas tahun yang beliau
lalui di Mekah, beliau pun tidak mendapatkan istirahat yang cukup. Semua
kehidupan beliau hanya untuk Allah SWT dan hanya untuk Islam. Beban
berat yang dipikul oleh punggung beliau yang mulia lebih berat dari
beban yang dipikul oleh gunung. Meskipun beliau seorang diri, tetapi
beliau mampu memikul amanat yang pernah Allah SWT tawarkan kepada langit
dan bumi serta gunung namun mereka pun enggan untuk memikulnya. karena
mereka menyadari bahwa mereka tidak akan mampu memikulnya. Lalu
datanglah beliau dan beliau pun mampu memikul amanat itu dan
melaksanakannya secara sempurna. Yaitu amanat untuk menyampaikan agama
Allah SWT; amanat untuk menyucikan akal manusia dari polusi khayalisme
dan khurafatisme: amanat yang mewarnai kehidupan dengan hanya sujud
kepada Allah SWT.
Kemudian
mengalirlah dalam memori Nabi saw suatu arus dari gambar-gambar hidup:
bagaimana saat beliau memasuki Madinah. Lewatlah di hadapan akal
beberapa memori dan nostalgia: bagaimana wahyu yang turun kepadanya
dengan membawa risalah di gua Hira, kemudian berubahlah pandangan dan
bertiuplah angin kebencian kepadanya, bahkan angin itu membawa
pasir-pasir tuduhan-tuduhan yang dilemparkan ke wajah suci beliau.
Beliau berdiri sambil tersenyum dan hatinya dipenuhi dengan kesedihan di
hadapan gelombang gurun dan kesendirian serta badai kesengsaraan.
"Wahai manusia, tiada Tuhan selain Allah SWT. Demikianlah kalimat yang
beliau katakan. Meskipun kalimat itu tampak sederhana namun ia mampu
membangkitkan dunia. Dan bergeraklah patung-patung yang begitu banyak
yang memenuhi kehidupan dan mereka membekali dirinya dengan kegelapan
dan kebencian yang dialamatkan kepada sang Nabi. Para pembesar. para
penguasa, uang, emas, serta kebencian dan kedengkian setan yang klasik
dan banyaknya orang-orang munafik, semua ini menjadi musuh nyata sang
Nabi pada saat beliau mengatakan "tiada Tuhan selain Allah SWT." Nabi
mengingat kembali Waraqah bin Nofel ketika menceritakan kepadanya apa
yang terjadi dan apa yang dialami beliau di gua Hira. Tidakkah ia
mengatakan kepadanya bahwa kaumnya akan mengusirnya?
Hari-hari hijrah sangat
panjang dan berat. Matahari sangat dekat dengan kepala dan rasa panas
sangat mencekik tenggorokan dan rasa pusing-pusing pun semakin
meningkat. Setelah hijrah, Nabi memasuki Madinah. Beliau disambut oleh
kaum Anshar dengan sambutan luar biasa. Beliau datang sendirian lalu
mereka menolongnya; beliau datang dalam keadaan takut lalu mereka
mengamankannya; beliau datang dalam keadaan lapar lalu mereka memberinya
makanan; beliau datang dalam keadaan terusir lalu mereka memberikan
perlindungan.
Bangunan
Islam mulai ditancapkan di Madinah. Beliau mulai membangun negaranya
setelah beliau membangun sumber daya manusia Islam yang tangguh. Yang
pertama kali dibangunnya adalah sumber daya Islam, setelah itu beliau
baru membangun negara. Tidak ada nilai yang berarti dari satu sistem
yang hanya berdasarkan prinsip-prinsip besar yang tidak lebih dari
sekadar tinta di atas kertas. Penerapan prinsip-prinsip adalah tolok
ukur final dari nilai apa pun yang diberlakukan di dunia. Dan Islam
telah berhasil menerapkan pada masa-masa pertamanya suatu sistem yang
belum pernah dikenal dalam kehidupan manusia suatu sistem seperti itu.
Yaitu sitem yang menunjukkan keadilan, persaudaraan, dan kasih sayang
yang mengagumkan. Hal yang pertama kali dilakukan Rasulullah saw adalah
membangun masjid di mana di situlah unta yang ditungganinya berhenti.
Mesjid itu tampak sederhana. Tikarnya terdiri dari pasir-pasir dan
batu-batu. Tiangnya terbuat dari batang-batang kurma. Barangkali ketika
turun hujan, maka tanahnya akan menjadi lumpur karena mendapat siraman
air hujan. Mungkin ketika angin bertiup dengan kecang, maka ia akan
mencabut sebagian dari atapnya.
Di bangunan yang sederhana ini, Rasulullah saw mendidik
generasi Islam yang tangguh yang dapat menghancurkan orang-orang yang
lalim dan para penguasa yang bejat dan mereka mampu mengembalikan
kebenaran ke singgasananya yang terusir dan terampas. Mereka mampu
menyebarkan Islam di muka bumi. Mesjid itu tampak kecil dan sederhana
sekali tetapi ia dipenuhi dengan kebesaran; masjid itu tidak menunjukkan
kemewahan sama sekali. Di dalamnya Al-Qur'an dibaca lalu orang-orang
yang mendengarnya menganggap bahwa mereka benar dan mendapatkan perintah
harian untuk menerapkan dan melaksanakan apa-apa yang mereka dengar.
Al-Qur'an dibaca di masjid
bukan seperti nyanyian yang orang-orang duduk akan merasa terpengaruh
dengan keindahan nyanyian dan suara pembaca. Dan masjid di dalam Islam
bukanlah tempat satu-satunya untuk ibadah. Menurut kaum Muslim semua
burni adalah masjid namun masjid adalah simbol peradaban yang beriman
kepada Allah SWT dan hari akhir, sebagaimana ia menyuarakan ilmu,
kebebasan dan persaudaraan.
Semua Nabi berbicara tentang persaudaraan dan mengajak
kepadanya dengan ribuan kata-kata. Sedangkan Rasulullah saw telah
mewujudkan persaudaraan itu secara praktis, yakni ketika karakter
masyarakat saat itu mencerminkan Al-Qur'an. Nabi mulai mempersaudarakan
kaum muhajirin dan Anshar di mana sahabat Anshar Sa'ad bin Rabi',
seorang kaya dari Madinah dipersaudarakan dengan Abdul Rahman bin 'Auf,
seorang yang berhijrah dari Mekah. Sa'ad berkata kepada Abdul Rahman:
"Sesungguhnya, tanpa bermaksud sombong, aku memang memiliki harta yang
banyak daripada kamu. Aku telah membagi hartaku menjadi dua bagian dan
sebagiannya aku peruntukkan bagimu. Lalu aku mempunyai dua orang wanita,
maka lihatlah siapa di antara mereka yang mampu memikatmu sehingga aku
menceraikannya lalu engkau dapat menikahinya." Abdul Rahman bin 'Auf
menjawab: "Mudah-mudahan Allah SWT memberkatimu, keluargamu, dan
hartamu. Di manakah pasar yang engkau berdagang di dalamnya?"
Abdul Rahman bin 'Auf keluar
menuju ke pasar untuk berkerja. Ia kembali dan membawa sesuatu yang
dapat dimakannya. Ia menolak dengan lembut sikap baik Sa'ad dan
kedermawanannya. Ia bersandar pada keimanan kepada Allah SWT dan lebih
memilih untuk bekerja dan membanting tulang. Tidak berlalu hari demi
hari kecuali ia tetap bekerja sehingga ia mampu untuk membekali dirinya
dan melaksanakan pernikahan.
Demikianlah masyarakat Islam terbentuk dan menampakkan
identitasnya berdasarkan cinta, kebebasan, musyawarah, dan jihad.
Pekerjaan menurut Islam bukan suatu penderitaan untuk mendapatkan roti
atau potongan daging sebagaimana dikatakan peradaban kita masa kini,
tetapi pekerjaan dalam Islam melebihi ruang lingkup materi ini dan
menuju puncak yang lebih tinggi:
"Dan katakanlah: 'Bekerjalah kamu, maka Allah dan
Rasul-Nya serta orang-orang muhmin akan melihat pekerjaanmu itu. " (QS.
at-Taubah: 105)
Kesadaran
bahwa apa yang kita kerjakan akan dilihat oleh Allah SWT menjadikan
perkerjaan itu mendapat cita rasa yang lain. Yaitu suatu rasa yang
melampaui nikmatnya memakan roti dan daging. Setelah bekerja, datanglah
cinta. Cinta dalam Islam bukan hanya perasaan yang menetap dalam hati
dan tidak diwujudkan oleh suatu perbuatan; cinta dalam Islam merupakan
langkah harian yang akan mengubah bentuk kehidupan di sekitar manusia
menuju yang lebih tinggi dan mulia.
Seorang Muslim mencintai Tuhannya Pencipta alam semesta
dan mencintai Rasulullah saw dan mencintai kaum Muslim dan orang-orang
yang berdamai dengan orang-orang Muslim, meskipun keyakinan mereka
berbeda dengannya. Bahkan seorang Muslim mencintai makhluk secara
keseluruhan: ia mencintai anak-anak, hewan, bunga, pasir dan gunung
bahkan benda-benda mati pun mendapat cinta dari seorang Muslim. Seorang
Muslim jika dia benar-benar seorang Muslim akan merasakan dnta yang
dialami oleh Nabi Daud terhadap alam dan lingkungan di sekitarnya. Ini
adalah perasaan sufi yang tinggi. Seorang Muslim akan mewarisi cinta
yang sebenarnya seperti yang diwarisi Nabi Isa terhadap lingkungan yang
baik yang ada di sekitarnya di mana ketika Nabi Isa melihat tubuh anjing
yang mati, maka Nabi Isa tidak melihat selain keputihan giginya.
Demikianlah cinta yang
tersebar dalam kehidupan kaum Muslim di mana cinta itu pun tertuju
kepada binatang dan benda-benda mati. Cinta demikian ini tidak akan
terwujud dengan suatu keputusan dan tidak ditetapkan dengan suatu
undang-undang, tetapi cinta itu datang biasanya akibat dari kepuasaan
akal dan hati dengan adanya kepemimpinan besar yang hati cenderung
kepadanya dan akal mengambil darinya. Dan yang dimaksud dengan
kepemimpinan besar tersebut adalah keberadaan sang Nabi. Beliau adalah
cermin terbesar dari tingkat cinta yang tertinggi. Beliau adalah seorang
yang paling banyak berbuat demi Islam dan paling banyak sedikit
mengharapkan balasan darinya. Meskipun beliau seorang pemimpin namun
beliau hidup dalam kesederhanaan. Beliau adalah seorang tentara yang
paling sederhana. Tempat tidurnya bersih tetapi kasar, dan rumahnya
tidak menampakkan kesibukan yang di dalamnya memasak berbagai macam
hidangan. Beliau justru menyiapkan hidangan yang sangat sederhana.
Makanan utama beliau adalah roti kering yang dicampur dengan minyak.
Keinginan besar beliau adalah tersebarnya dakwah Islam.
Kaum Muslim menyadari bahwa
kesempurnaan Islam tidak akan terwujud kecuali ketika cinta Allah SWT
dan Rasul- Nya lebih didahulukan daripada cinta diri sendiri, cinta
kepada wanita, cinta kepada anak, kepentingan, kekuasaan, kehidupan, dan
apa saja yang tidak ada hubungannya dengan Allah SWT dan Rasul-Nya.
Demikianlah kaum Muslim sangat mencintai pemimpin mereka lebih dari
kehidupan pribadi mereka. Di samping pekerjaan dan cinta tersebut,
didirikanlah pemerintahan Islam yang berdasarkan kaidah-kaidah
kebebasan, musyawarah dan jihad.
Kebebasan dalam Islam bukan sekadar perhiasan yang
dilekatkan kepada tubuh Islam tetapi ia merupakan tenunan dari sel-sel
yang hidup itu. Allah SWT telah membebaskan kaum Muslim dari penyembahan
selain dari-Nya. Dengan demikian, runtuhlah semua belenggu yang hinggap
di atas akal, hati, dan masyarakat. Seorang Muslim memiliki—dalam
Islam—suatu kebebasan yang diberikan kepadanya agar ia melihat sesuatu
dengan akalnya dan mendebat segala sesuatu dengan akalnya. Dan hendaklah
ia merasa puas dengan sesuatu yang dapat menenteramkan hatinya.
Kebebasan dalam Islam bukan kebebasan mutlak yang menjurus kepada
anarkisme dan diskriminasi tetapi kebebasan dalam Islam adalah kebebasan
yang bertanggung jawab.
Dalam ruang lingkup nas-nas yang pasti yang terdapat
dalam Al-Qur'an atau sunah tidak ada kebebasan di hadapan orang Muslim
selain kebebasan untuk berlomba-lomba untuk menerapkan apa yang mereka
pahami. Selain itu, seorang bebas sampai tidak terbatas, dan pintu
ijtihad tetap terbuka sampai tidak ada batasnya, karena pintu ijtihad
adalah akal dan menutup pintu ijtihad yakni menutup akal dan itu berarti
akan membawa kematian baginya. Islam tidak menerima orang-orang yang
mati akalnya atau menga-lami kemunduran; Islam pada hakikatnya
memperlakukan manusia dari sisi akal dan hati.
"Adalah untukmu, sedang kamu menginginkan bahwa yang
tidak mempunyai kekuatan senjatalah yang untukmu, dan Allah meng-hendaki
untuk membenarkan yang benar dengan ayat-ayat-Nya dan memusnahkan
orang-orang kafir." (QS. al-Anfal: 7)
Orang-orang Islam karena kekafiran mereka dan kebutuhan
mereka serta situasi ekonomi yang memburuk, mereka ingin bertemu dengan
pasukan yang tidak bersenjata; mereka ingin bertemu dengan kafilah yang
kaya, bukan pasukan yang bersenjata; mereka membutuhkan harta untuk
menyebarkan dakwah. Namun Allah SWT menginginkan mereka dengan keadaan
seperti itu agar mereka berhadapan dengan pasukan kafir dan agar mereka
mampu memutus tali kekuatan orang-orang kafir sehingga kebenaran akan
menang.
Keluarlah
orang-orang Muslim dalam peperangan Badar dengan membayangkan bahwa
mereka akan mendapatkan keuntungan dan kesenangan dengan banyak
mengambil ganimah. Namun Allah SWT menginginkan terjadinya peperangan
yang berat, di mana itu berakibat pada jatuhnya tokoh-tokoh kaum kafir
Mekah sebagai korban darinya dan agar Madinah dapat menahan penderitaan
dan kefakiran yang dialaminya. Seharusnya pengikut Islam tidak
membayangkan untuk mengambil keuntungan tetapi ia justru harus memberi
kepadanya.
Nabi
mengetahui sebagai pemimpin pasukan ia harus mengingatkan pasukannya
bahwa mereka akan menemui kesulitan dan penderitaan, dan bukan masalah
sepele seperti yang mereka bayangkan. Nabi bermusyawarah dengan
sahabat-sahabat. Beliau berbincang-bincang dengan Abu Bakar Shidiq, Umar
bin Khattab, dan Miqdad bin Amr. Lalu mereka semua sepakat untuk terus
melakukan peperangan apa pun hasilnya dan apa pun pengorbanan yang harus
dilakukan.
Kemudian
Rasulullah saw berkata: "Wahai para sahabat, tunjukkanlah diri kalian."
Rasulullah saw mengisyaratkan kepada kaum Anshar. Rasulullah saw
khawatir jika mereka memahami bahwa baiat yang terjadi di antara mereka
yang berisi agar mereka melindungi beliau jika beliau diserang di
Madinah saja, dan memang pasal-pasal dari baiat itu mendukung hal itu.
Tidakkah mereka mengatakan kepada beliau: "Ya Rasulullah, kami tidak
akan bertanggung jawab kepadamu sehingga engkau sampai di negeri kami.
Jika engkau sampai di negeri kami, maka kami akan bertanggung jawab
untuk melindungimu."
Mayoritas
pasukan terdiri dari orang-prang Anshar, maka Rasulullah saw ingin
mengetahui keputusan mayoritas tentara sebelum dimulainya peperangan.
Kaum Anshar mengetahui bahwa Rasul saw ingin mengetahui pendapat kaum
Anshar. Oleh karena itu, Sa'ad bin 'Auf berkata: "Demi Allah,
seakan-akan engkau menginginkan kami ya Rasulullah." Nabi menjawab,
"benar." Kemudian kaum Anshar menyatakan apa yang mereka rasakan.
Mendengar pernyataan kaum
Anshar itu hilanglah kekhawatiran dan ketakutan Nabi, bahkan beliau
bergembira dan wajahnya berseri-seri. Rasulullah saw telah mendidik
mereka berdasarkan Islam dan Islam tidak mengenal pasal-pasal perjanjian
namun ia justru tenggelam dalam esensinya dan kedalamannya yang jauh.
Kaum Anshar meyakinkan Nabi bahwa mereka benar-benar beriman kepadanya,
mencintainya dan akan mendengarkan apa saja yang beliau katakan serta
akan benar-benar menaati beliau.
Sa'ad bin Mu'ad berkata: "Ya Rasulullah, lakukanlah apa
yang engkau inginkan dan kami akan bersamamu. Demi Zat yang mengutusmu
dengan kebenaran, seandainya engkau membelah lautan lalu engkau menyelam
di dalamnya niscaya kami akan menyelam bersamamu dan tidak ada
seseorang pun di antara kami yang akan meninggalkanmu." Demikianlah
keteguhan kaum Anshar. Kalimat tersebut menetapkan peperangan paling
penting dan paling berbahaya dalam sejarah Islam.
Perasaan kaum Anshar dan
Muhajirin dalam pasukan Rasul saw sangat berbeda dengan perasaan Nabi
Musa ketika mereka mengatakan kepadanya, "pergilah engkau wahai Musa
bersama Tuhanmu dan berperanglah, sesungguhnya kami di sini hanya
duduk-duduk saja." Namun kaum Muslim menyatakan bahwa seandainya Rasul
saw memerintahkan mereka untuk melalui lautan dengan berjalan kaki di
atas ombaknya niscaya mereka akan melakukan hal itu walaupun berakibat
pada tenggelamnya mereka dan kematian mereka dan tak seorang pun yang
akan menentang perintah Rasul saw tersebut.
Akhirnya, kaum Muslim bersiap-siap untuk memasuki
kancah peperangan lalu mereka membuat kemah-kemah yang di situ
ditentukan tempat peristirahatan dan pergerakan tentara Islam. Tempat
itu ditentukan oleh Rasul saw. Allah SWT membiarkan Rasul-Nya melakukan
kesalahan dalam memilih tempat sehingga itu akan dapat menjadi pelajaran
bagi kaum Muslim dalam kaidah umum dari kaidah-kaidah peperangan yaitu
sikap pemimpin pasukan untuk mengambil suatu kebijakan yang penting yang
berdasarkan pengalaman. Kemudian datanglah Habab bin Mundzir kepada
Rasulullah saw dan bertanya kepadanya, "apakah tempat yang kita jadikan
sebagai pusat pergerakan tentara kita merupakan pilihan dari Allah SWT
dan Rasul-Nya hingga kita tidak dapat mendahuluinya dan mengakhirinya
yakni kita tidak dapat memberikan pendapat kita ataukah itu hanya
masalah yang bersifat tehnik yakni itu terserah pada pendapat kita dan
sesuai kebijakan saat perang dan ia merupakan tipu daya semata?"
Rasulullah saw berkata:
"Tetapi itu adalah pendapat pribadi, peperangan, dan tipu daya." Habab
berkata: "Ya Rasulullah ini adalah tempat yang tidak tepat." Sahabat
yang sarat pengalaman ini memilih tempat di mana pasukan Madinah dapat
minum darinya sedangkan pasukan Mekah tidak dapat mengambil darinya.
Kemudian berpindahlah pasukan Muslim menuju tempat yang telah ditentukan
oleh pengalaman militer.
Sampailah pasukan Mekah di mana jumlah mereka mendekati
seribu tentara dan mereka akan berhadapan dengan tiga ratus tujuh belas
pasukan Muslim. Pasukan Quraisy berada di tempat yang jauh dari lembah.
Pasukan kafir terdiri dalam
perang Badar dari pemuka-pemuka Quraisy dan pahlawan-pahlawan mereka,
sedangkan pasukan Muslim terdiri dari keluarga-keluarga, ipar-ipar dan
keluarga dekat dari pasukan kafir. Allah SWT telah menentukan agar
seorang anak bertemu dengan ayahnya, saudara bertemu dengan sesama
saudara dan sesama ipar bertemu di medan peperangan. Mereka semua
dipisahkan dengan suatu prinsip di mana mereka ditentukan oleh pedang.
Akhirnya, peperangan Badar pun terjadi dan kaidah utama adalah kaidah
persaudaraan sesama Muslim. Dan ketika pasukan Muslim berpegang teguh di
atas dasar Islam, maka pasukan kafir mulai terpecah belah namun keadaan
tersebut mereka sembunyikan.
Lalu 'Utbah bin Rabi'ah berbicara di tengah-tengah
pasukan Mekah dan mengajak mereka untuk menarik kembali dari peperangan.
'Utbah memberikan pernyataan sesuai dengan tuntutan akal sehat, "wahai
orang-orang Quraisy demi Allah, jika kalian harus memerangi Muhammad,
maka kalian akan menyesal karena kita berhadapan dengan saudara-saudara
kita sendiri. Boleh jadi kita akan membunuh anak paman kita, atau salah
seorang dari kerabat kita. Mengapa kalian tidak membiarkannya saja?"
Kalimat yang rasional
tersebut cukup menggoncangkan pasukan Mekah. Sebagian tentara merasa
puas dengan pernyataan tersebut karena mereka melihat bahwa tidak ada
gunanya peperangan itu. Namun kebohohan justru memadamkan kalimat yang
rasional itu. Abu Jahal menuduh bahwa yang mengucapkan kata-kata adalah
orang yang penakut. Kemudian Abu Jahal lebih memilih pendapatnya untuk
menetapkan terus memerangi kaum Muslim.
Pemimpin pasukan kafir yaitu Abu Jahal mengetahui bahwa
Muhammad tidak pernah berbohong. Kitab-kitab sejarah menceritakan bahwa
Akhnas bin Syuraif menyendiri dalam perang Badar bersama Abu Jahal
sebelum terjadinya peperangan tersebut dan bertanya kepadanya, "wahai
Abul Hakam, tidakkah engkau melihat bahwa Muhammad pernah berbohong?
Abul Hakam menjawab: "Bagaimana mungkin ia berbohong atas Allah,
sedangkan kami telah menamainya al-Amin (orang yang dapat dipercaya)."
Peperangan tersebut bukan sebagai usaha untuk mendustakan Rasul saw
tetapi itu hanya semata-mata untuk menjaga kepentingan-kepentingan
sesaat dan keadaan ekonomi. Demikianlah orang-orang kafir mempertahankan
nilai yang paling rendah yang ada di muka bumi yang juga dipertahankan
oleh binatang, sementara kaum Muslim justru mempertahankan nilai yang
paling tinggi di bumi dan di langit yang ikut serta di dalamnya para
malaikat.
Kemudian
datanglah waktu malam menyelimuti dua kubu. Tiga ratus tentara yang
mukmin sudah bersiap-siap dan mendekati seribu tentara musyrik.
Orang-orang musyrik datang dengan menunggangi tunggangan mereka dan
tampak mereka memiliki persenjataan yang lengkap, sedangkan setiap orang
Muslim datang di atas satu kendaraan. Pakaian yang dipakai orang-orang
musyrik tampak masih baru dan pedang-pedang mereka tampak mengkilat
serta baju besi yang mereka gunakan sangat unggul dan kuat. Alhasil,
mereka memiliki persiapan yang sangat mengagumkan sedangkan pakaian yang
dipakai orang-orang Muslim tampak sudah usang dan pedang-pedang kuno
pun mereka gunakan dan baju besi yang mereka gunakan tampak tidak
sempurna. Nabi melihat keadaan pasukannya lalu hati beliau tampak sedih
melihat pasukan tersebut. Beliau berdoa kepada Tuhannya: "Ya Allah,
Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang lapar, maka kenyangkanlah
mereka. Ya Allah, sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang tanpa alas
kaki, maka tolonglah mereka. Ya Allah, Sesungguhnya mereka adalah
orang-orang yang tidak berpakaian, maka berilah mereka pakaian."
Kemudian rasa kantuk
menghinggapi mata kedua pasukan lalu mereka beristirahat di
tengah-tengah malam. Jatuhlah hujan kecil yang membuat tempat itu basah
sehingga kelembaban mengitari kaum Muslim. Hujan tersebut membasuh tanah
perjalanan dan menghilangkan debu-debu kepayahan serta menyucikan hati
dan membangkitkan kepercayaan atas kemenangan dari Allah SWT.
Allah SWT berfirman:
"(Ingatlah), ketika Allah
menjadikan kamu mengantuk sebagai suatu penenteram dari-Nya, dan Allah
menurunkan hujan dari langit untuk menyucikan kamu dengan hujan itu dan
menghilangkan dari kamu gangguan-gangguan setan dan untuk menguatkan
hatimu dan memperteguh dengannya telapak kaki(mu)." (QS. al-Anfal: 11)
Datanglah waktu pagi di Badar
lalu kaum Quraisy mulai menyerang, lalu Nabi memerintahkan pasukan
Muslim untuk bertahan. Rasulullah saw bersabda: "Jika musuh mengepung
kalian, maka usirlah mereka dengan panah dan janganlah kalian menyerang
mereka sehingga kalian diperintahkan."
Demikianlah ketetapan militer yang sangat jitu yang
berarti hendaklah kaum Muslim membentengi mereka di tempat-tempat mereka
agar orang-orang musyrik mendapatkan kerugian dari serangan yang mereka
lakukan. Kita mengetahui dari ilmu militer saat ini bahwa seorang yang
menyerang memerlukan tiga atau tiga kali lipat dari jumlah yang biasa
dilakukan sehingga serangannya betul-betul efektif; kita mengetahui
bahwa jumlah pasukan musyrik tiga kali lipat dibandingkan dengan tentara
Muslim. Kaum musyrik dilihat dari segi jumlah sangat memadai untuk
memenangkan peperangan, dan persenjataan mereka lebih lengkap dari
persenjataan kaum Muslim. Jumlah hewan yang mereka miliki pun sama
dengan jumlah mereka, sedangkan tiap tiga orang Muslim berperang di atas
satu tunggangan.
Keadaan
saat itu sangat menguntungkan kaum musyrik. Tanda-tanda kemenangan
tampak menyertai bendera kaum musyrik, tetapi kemenangan peperangan
bukan karena kebesaran jumlah pasukan dan persenjataan yang lengkap.
Terkadang peperangan justru dimenangkan oleh unsur spiritual yang tidak
kelihatan. Spiritualitas tentara dan keimanannya tentang persoalan yang
dipertahankannya serta keinginannya untuk mendapatkan dua kebaikan:
kemenangan atau kematian dan hasratnya yang tinggi untuk meneguk madu
syahadah, semua itu dapat mengubah seorang tentara menjadi makhluk yang
tidak terkalahkan. Boleh jadi ia akan merasakan kematian tetapi jauh
dari kekalahan. Demikianlah keadaan pasukan Muslim.
Sementara itu debu-debu
berterbangan di atas kepala pasukan yang bertempur dan kaum Muslim
mencurahkan tenaga yang keras dalam peperangan itu. Ketika dua pasukan
saling bertemu dan bertempur, Nabi saw melihat mereka, lalu Nabi saw
menyaksikan pasukannya terjepit. Pasukan yang berjumlah sedikit dengan
persenjataan yang tidak lengkap itu kini ditekan oleh orang kafir. Dalam
keadaan demikian, Nabi saw meminta pertolongan kepada Tuhannya: 'Ya
Allah, kirimkanlah bantuan dan pertolongan-Mu. Ya Allah, wujudkanlah
janji-Mu kepadaku. Ya Allah, jika kelompok ini dihancurkan, maka Engkau
tidak akan disembah setelahnya di muka bumi." Renungkanlah, bagaimana
kesedihan Nabi saat terjadi peperangan itu. Oleh karena itu, kita dapat
memahami mengapa Nabi saw meminta agar pasukannya dimenangkan.
Pemimpin pasukan tertinggi
Muhammad bin Abdillah keluar berperang di jalan Allah SWT dan saat ini
kematian sedang mengitari kaum Muslim, lalu apa yang dipikirkan oleh
Nabi saw pada keadaan yang sulit tersebut? Pemikiran Nabi saw melebihi
hal yang sekarang dan menuju pada hal yang akan datang, dan yang menjadi
fokus Nabi adalah penyembahan Allah SWT di muka bumi: "Ya Allah, jika
kelompok ini dihancurkan, maka Engkau tidak akan disembah setelahnya di
muka bumi."
Nabi tidak
terlalu mengkhawatirkan kehancuran kaum Muslim karena Nabi justru
mengkhawatirkan sesuatu yang lebih besar dari itu. Yang beliau
khawatirkan adalah penyembahan kepada Allah SWT akan berhenti di muka
bumi. Oleh karena itu, Nabi meminta tolong kepada Tuhannya dan
mengingatkan kembali kepada Tuhannya dan Allah SWT lebih tahu dari hal
itu. Kemudian turunlah bala tentara malaikat yang dipimpin oleh Jibril.
Allah SWT berfirman:
"(Ingatlah), ketika kamu
memohon pertolongan kepada Tuhanmu, lalu diperkenankankan-Nya bagimu:
'Sesungguhnya Aku akan mendatangkan bala bantuan kepada kamu dengan
seribu malaikat yang datang berturut-turut.' Dan Allah tidak
menjadikannya (mengirim bantuan itu), melainkan sebagai kabar gembira
dan agar hatimu menjadi tenteram karenanya. Dan kemenangan itu hanyalah
dari sisi Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana."
(QS. al-Anfal: 9-10)
Setelah
itu Nabi saw menghampiri sahabat Abu Bakar dan berkata: "Sampaikan
berita gembira wahai Abu Bakar, sesungguhnya telah datang kepadamu
bantuan dari Allah SWT."
Turunnya para malaikat merupakan cara untuk meneguhkan
kaum Muslim dan berita gembira kepada mereka. Mukjizat itu bukan
terletak pada penyertaan para malaikat dalam peperangan, namun melalui
nas-nas ditegaskan bahwa peranan malaikat tidak lebih dari sekadar
membawa berita gembira dan memberikan dukungan moril serta memenuhi hati
dengan ketenangan. Kami kira bahwa Allah SWT ingin agar para malaikat
menyaksikan manusia-manusia malaikat yang mempertahankan akidah tauhid.
Demikianlah Allah SWT
mewahyukan kepada malaikat bahwa Dia bersama mereka. Oleh karena itu,
hendaklah orang-orang yang beriman merasa tenang dan kebenaran akan
tertancap pada hati mereka sedangkan orang-orang kafir pasti akan
merasakan ketakutan.
Allah
SWT berfirman:
"(Ingatlah),
ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat: 'Sesungguhnya Aku
bersama kamu, maka teguhkanlah (pendirian) orang-orang yang telah
beriman.' Kelak akan Aku jatuhkan rasa ketakutan ke dalam hati
orang-orang kafir, maka penggallah kepala mereka dan pancunglah
tiap-tiap ujung jari mereka. (Ketentuan) yang demikian itu adalah karena
sesungguhnya mereka menentang Allah dan Rasul-Nya; dan barangsiapa
menentang Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya Allah amat keras
siksaan-Nya. Itulah (hukum dunia yang ditimpakan atasmu), maka
rasakanlah hukuman itu. Sesungguhnya bagi orang-orang yang kafir itu ada
(lagi) azab neraka." (QS. al-Anfal: 12-14)
Lalu orang-orang kafir pun mengalami kekalahan. Setelah
peperangan itu, terbunuhlah tujuh puluh kafir dan tujuh puluh tawanan
dari mereka dan sebagian pasukan melarikan diri. Runtuhlah tokoh-tokoh
kebencian dan kelaliman di peperangan tersebut. Hancurlahlah Abu Jahal,
pemimpin pasukan, dan pahlawan-pahlawan Mekah kini terkapar.
Rasulullah saw berdiri di
depan bangkai-bangkai orang-orang kafir dan berkata: "Wahai Utbah bin
Rabi'ah, wahai Syaibah bin Rabi'ah, wahai Umayah bin Khalf, wahai Abu
Jahal bin Hisam, apakah kalian menemukan apa yang dijanjikan oleh tuhan
kalian kepada kalian. Sungguh aku telah menemukan apa yang dijanjikan
Tuhanku." Orang-orang Muslim berkata: "Ya Rasulullah, apakah engkau
memanggil kaum yang sudah mati?" Rasulullah berkata: "Kalian tidak
mengetahui apa yang aku katakan kepada mereka, tetapi mereka tidak mampu
menjawab perkataanku." Rasulullah saw tinggal tiga malam di Badar
kemudian beliau kembali ke Madinah. Di depan beliau terdapat
tawanan-tawanan perang dan ganimah.
Kaum Muslim sangat menanggung beban berat dengan
banyaknya tawanan perang. Mula-mula Rasulullah saw bermusyawarah dengan
sahabat Abu Bakar dan Umar. Abu Bakar berkata: "Ya Rasulullah, mereka
adalah keturunan dari saudara-saudara dan keluarga, dan aku melihat
lebih baik engkau mengambil fidyah (tebusan) dari mereka sehingga apa
yang engkau ambil tersebut merupakan kekuatan bagi kita terhadap
orang-orang kafir, dan mudah-mudahan Allah SWT memberi petunjuk kepada
mereka sehingga mereka menjadi tulang punggung kita."
Kemudian Rasulullah saw
menoleh kepada Umar bin Khattab sambil berkata, "bagaimana pendapatmu
wahai Ibnul Khattab?" Lelaki itu berkata: "Demi Allah, aku tidak
sependapat dengan apa yang dikatakan Abu Bakar tetapi aku berpendapat,
seandainya aku mampu untuk bertemu dengan salah seorang kerabatku, maka
aku akan memukul lehernya, dan seandainya Ali mampu bertemu dengan
keluarganya, maka ia pun akan memukul lehernya begitu Hamzah sehingga
Allah SWT mengetahui bahwa tidak ada di hati kita kelembutan kepada kaum
musyrik."
Pasukan
Madinah dan pasukan Mekah terdiri dari keluarga-keluarga yang terikat
hubungan kekerabatan, namun kehendak Allah SWT menetapkan terjadinya
peperangan sesama keluarga: antara anak dan orang tuanya. Umar
menginginkan agar keadaan demikian terus berlanjut sehingga orang-orang
musyrik mengetahui bahwa Islam tidak ingin berdamai. Kemudian Selesailah
urusan itu dan terjadi peperangan di jalan Allah SWT dan mengangkat
senjata dan berperang adalah suatu kewajiban yang tiada keraguan di
dalamnya. Nabi saw menoleh kepada kaum Muslim dan mendapati sebagian
besar mereka cenderung kepada pendapat Abu Bakar. Nabi saw mengikuti
pendapat mayoritas saat itu. Pendapat mayoritas salah dan hanya Umar
yang benar.
Ini adalah
peperangan pertama yang dilalui oleh Islam. Hendaklah kaum Muslim harus
meninggalkan dorongan kemanusiaan mereka, yakni orang-orang kafir harus
dibunuh agar musuh-musuh Allah SWT mengetahui bahwa Islam telah memilih
darah. Allah SWT telah mendukung Umar bin Khattab dalam Al-Qur'an
sehingga Nabi saw dan Abu Bakar menangis ketika keduanya menyadari
kesalahan mereka pada hari berikutnya, lalu Umar memergoki mereka dalam
keadaan menangis dan ia bertanya, "apa yang menyebabkan Rasulullah saw
dan temannya di gua menangis?" Kemudian Rasulullah saw membaca
Al-Qur'an:
"Tidak
patut bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan
musuhnya di muka bumi. Kamu menghendaki harta benda duniawi sedangkan
Allah menghendaki (pahala) akhirat (untukmu). Dan Allah Maha Perkasa
lagi Maha Bijaksana. Kalau sekiranya tidak ada ketetapan yang telah
terdahulu dari Allah, niscaya kamu ditimpa siksaan yang besar karena
tebusan yang hamu ambil." (QS. al-Anfal: 67-68)
Kedua ayat itu mengatakan bahwa ini bukan
saatnya melindungi para tawanan dan berusaha untuk menebus mereka. Waktu
Demikian belum saatnya. Nabi tidak berhak memiliki tawanan kecuali jika
ia telah melakukan banyak peperangan dan banyak berjihad dan telah
banyak membunuh dan dakwahnya telah mapan.
Kedua ayat tersebut menyingkap tujuan di balik
penebusan tawanan: "Kamu menghendaki harta benda duniawi sedangkan
Allah menghendaki (pahala) akhirat (untukmu)."
Demikianlah pemikiran yang mempertimbangkan
keadaan-keadaan aktual yang sulit. Itu adalah pemikiran yang bersifat
taktik sebagaimana yang kita ungkapkan dalam istilah modern dan bukan
pemikiran yang bersifat strategis. Kemudian para tawanan tersebut bukan
tawanan biasa tetapi menurut istilah modern mereka adalah
penjahat-penjahat perang. Oleh karena itu, nyawa mereka harus
ditumpahkan saat mereka dapat ditangkap, meskipun mereka memiliki
kekayaan yang banyak atau kedudukan yang tinggi. Islam tidak mengakui
kekayaan atau kedudukan, yang diakuinya adalah keimanan, sedangkan
pertimbangan-pertimbangan duniawi lainnya tidak dihiraukan oleh Islam.
Nas Al-Qur'an memperingatkan
orang-orang yang menang bahwa kesalahan mereka bisa berakibat pada
datangnya siksaan yang bakal mereka terima tetapi Allah SWT mengampuni
mereka dan menurunkan rahmat-Nya: "Kalau sekiranya tidak ada ketetapan
yang telah terdahulu dari Allah, niscaya kamu ditimpa siksaan yang besar
karena tebusan yang kamu ambil."
Siksaan tersebut memang lebih dekat daripada pohon yang
dekat ini, kemudian Allah SWT mengampuni mereka dan Allah SWT mengampuni
sahabat-sahabat yang terjun di perang Badar, baik dosa yang lalu maupun
dosa mereka yang akan datang. Demikianlah Al-Qur'an ingin mendidik kaum
Muslim agar mereka tidak banyak mempertimbangkan urusan manusiawi saat
berperang. Jadi, Islam memulai peperangannya yaitu peperangan yang hanya
ditujukan kepada Allah SWT dan hendaklah peperangan tersebut
dihilangkan dari pertimbangan-pertimbangan yang sulit sehingga
sahabat-sahabat Nabi mengetahui bahwa kecenderungan kepada kesenangan
duniawi akan berakibat pada kekalahan mereka.
Dalam peperangan Uhud jumlah kaum musyrik tiga ribu
sedangkan jumlah kaum Muslim tiga ratus pasukan setelah pemimpin
orang-orang munafik Abdullah bin Saba' mengundurkan diri pasukan. Kaum
Muslim diletakkan di gunung dan Rasulullah saw membuat rencana yang jitu
untuk memenangkan pertempuran di mana beliau membagi pasukan pemanah di
puncak gunung untuk melindungi punggung kaum Muslim dan melinduingi
mereka dari serangan dari arah belakang. Rasulullah saw memberi
pengertian kepada pasukan panah itu agar mereka tetap di tempatnya baik
kaum Muslim menang maupun kalah. Yakni bahwa pasukan pemanah tidak boleh
turun dari gunung dan meski berusaha untuk melindungi kaum Muslim.
Rasulullah saw berkata kepada mereka. "lindungilah punggung-punggung
kami. Jika kalian melihat kami sedang bertempur, maka kalian tidak usah
turun darinya dan tidak usah menolong kami, dan jika kalian melihat kami
memperoleh kemenangan dan mengambil ganimah, maka kalian tidak boleh
ikut serta bersama kami."
Setelah membuat keputusan tersebut, Rasulullah saw
kembali ke pasukan yang lain, lalu beliau membikin suatu rencana untuk
menyerang. Dan Dimulailah peperangan kemudian pasukan Islam mendorong
pasukan musyrik laksana angin yang kencang yang memporak-porandakan
ribuan kaum musyrik. Pada tahapan pertama pasukan Islam tampak menguasai
medan dan berhasil menyapu kaum musyrik sehingga pasukan Mekah tampak
berputus asa meskipun mereka unggul secara bilangan dan meskipun mereka
memiliki kuatan persenjataan yang lengkap, pasukan Mekah justru
dikagetkan dengan ketangguhan pasukan Muslim yang dapat memukul mundur
mereka hingga mereka membayangkan balwa mereka tidak dapat memenangkan
peperangan atau dapat bertahan di hadapan pasukan Muslim.
Debu-debu peperangan mulai
berterbangan yang menyertai tanda-tanda kekalahan pasukan Mekah.
Sementara itu, para pemanah yang diletakkan Rasulullah saw di suatu
tempat yang strategis berpikir untuk memperoleh ganimah. Pasukan Mekah
telah kalah dan mereka telah melarikan diri dari pasukan Muslim, maka
bagaimana seandainya para pemanah turun dari tempat mereka untuk
mengumpulkan harta rampasan dan ganimah. Rasulullah saw telah
mengingatkan mereka agar jangan meninggalkan tempat mereka, apa pun yang
terjadi tetapi pasukan pemanah itu justru berkhianat dan menentang
perintah Nabi saw setelah mereka membayangkan bahwa peperangan telah
selesai dan keuntungan akan diperoleh pasukan Madinah yang beriman.
Pasukan pemanah mengira bahwa
Allah SWT akan menutupi kesalahan mereka dan akan melindungi mereka
sehingga mereka berhasil mengambil harta rampasan dan ganimah. Sungguh
keikhlasan telah tercabut dari hati sebagian pasukan. Belum lama hal
tersebut berlangsung sehingga terjadilah perubahan yang drastis pada
peperangan. Pemimpin pasukan berkuda musyirik dalam peperangan Uhud
yaitu Khalid bin Walid yang kemudian ia menjadi tokoh Muslim adalah
orang yang sangat jenius dalam peperangan. Begitu ia melihat pasukan
pemanah lari dari tempat mereka, maka ia melihat celah yang terbuka di
tengah-tengah kaum Muslim, sehingga ia segera memutarkan kudanya dan
disertai pasukan yang mengikutinya. Kemudian ia menyerang kaum Muslim
dari belakang. Serangan yang dilakukan Khalid itu sangat cepat dan
sangat mengejutkan. Orang-orang musyrik mengambil kesempatan emas.
Mereka yang tadinya lari, kini mereka menarik diri dan justru menyerang
kembali.
Pasukan
Muslim dikepung dari dua arah oleh pasukan berkuda: satu dari belakang
dan yang lain dari depan. Kemudian berjatuhanlah korban-korban dari
pasukan Muhammad bin Abdillah. Banyak di antara mereka yang mati sebagai
syahid saat mempertahankan dan melindungi Rasulullah saw, bahkan sang
Nabi pun hidungnya terluka dan giginya pun runtuh dan kepala beliau yang
mulia terluka sehingga beliau mengucurkan darah.
Kemudian tersebarlah isu bahwa
Muhammad saw telah meninggal. Ketika mendengar itu, kaum Muslim sangat
terpukul dan sangat sedih sehingga kaum Muslim pun terpecah-pecah.
Sebagian mereka kembali ke Mekah dan sekelompok yang lain ke atas gunung
dan mereka tetap menjaga Nabi saw yang mulia. Ketika mendengar kematian
Nabi, Anas bin Nadhir berkata kepada kaumnya: "Bangkitlah kalian dan
matilah seperti kematiannya. Apa yang kalian lakukan setelah kalian
hidup sesudahnya."
Pasukan
Muslim tetap bertahan dan melakukan peperangan, lalu tekanan kaum
musyrik semakin berat kepada Nabi saw dan para sahabatnya. Kemudian
terjadilah kejadian yang paling sulit dalam sejarah umat Islam. Nabi saw
berteriak saat melihat kaum musyrik menekannya dan berusaha
membunuhnya: "Barangsiapa yang dapat mengusir mereka dariku, maka
baginya surga."
Mendengar
perkataan itu, kaum Muslim segera mengitari Nabi saw dan melindungi
beliau sehingga banyak dari mereka berguguran sebagai syahid. Bahkan
sahabat-sahabat Abu Juanah melindungi Nabi saw sampai-sampai punggungnya
dipenuhi dengan anak-anak panah. Ia bagaikan baju besi yang dipakai
kepada Nabi saw dan ia tetap kokoh melindungi sang Nabi saw. Kemudian
berubahlah keadaan karena keteguhan dan keberanian yang diperlihatkan
oleh kaum Muslim. Pasukan Mekah merasa puas dan mereka memilih untuk
menarik diri. Saat itu orang-orang Quraisy tidak lebih sedikit
penderitaannya daripada orang-orang Muslim.
Setelah peperangan yang dahsyat itu, kaum musyrik
menarik diri setelah mereka berhasil membunuh beberapa orang Muslim,
bahkan mereka berhasil melukai pemimpin pasukan yaitu sang Nabi saw.
Semua itu terjadi karena satu kesalahan yaitu kesalahan terletak pada
penentangan dan pembangkangan para pemanah terhadap perintah sang Rasul
saw dan usaha mereka untuk meninggalkan tempat mereka.
Ketika sebagian kelompok dari
sahabat kehilangan pengorbanan dan kehilangan sikap ikhlas dalam hati
mereka, maka kesalahan tersebut harus dibayar oleh tentara yang paling
berani dan mulia di antara mereka yaitu sang Nabi saw. Langit tidak ikut
campur untuk menyelamatkan pasukan Islam itu. Kesalahan kaum Muslim itu
harus dibayar oleh Rasul saw di mana wajah beliau pun terluka bahkan
keluar darah yang cukup deras dari luka beliau sehingga setiap kali
dituangkan air di atas luka itu, maka darah pun semakin deras mengucur.
Darah itu tidak berhenti kecuali setelah dibakarkan potongan tembikar
lalu dilekatkan di atasnya.
Luka beliau bukan hanya bersifat materi tetapi luka
spiritual beliau dan ruhani beliau pun semakin bertambah. Ini beliau
rasakan ketika mendengar bahwa pamannya Hamzah gugur sebagai syahid dan
tidak cukup dengan itu, bahkan istri Abu Sofyan yaitu Hindun membelah
perutnya dan mengeluarkan jantungnya serta mengunyahnya dengan mulutnya.
Semua itu semakin menambah kesedihan sang Nabi.
Kaum Quraisy menguasi pasukan Muslim dan
mereka memberlakukan dan menekan kaum Muslim secara aniaya. Seandainya
bukan karena rahmat Allah SWT niscaya kaum Muslim akan mengalami
kekalahan yang telak. Kemudian turunlah dalam Al-Qur'an al-Karim
ayat-ayat yang mendidik kaum Muslim agar mereka benar-benar ikhlas dan
memahamkan mereka bahwa kekalahan mereka sebagai akibat dari adanya
pasukan di antara mereka yang menginginkan dunia meskipun di antara
mereka ada sebagian yang menginginkan akhirat. Jika terjadi demikian,
maka tidak adajalan untuk memperoleh kemenangan. Ini bukanlah hal yang
diinginkan oleh pasukan Muslim, yang diharapkan adalah hendaklah semua
pasukan tertuju untuk mencapai ridha Allah SWT dan hanya mengharapkan
akhirat. Jika demikian halnya, maka Allah SWT akan memberi mereka dunia
dan akhirat.
Allah SWT
berfirman dan menceritakan peperangan Uhud dalam surah Ali 'Imran:
"Di antaramu ada orang yang
menghendahi dunia dan di antara kamu ada orangyang menghendaki akhirat.
Kemudian Allah memalingkan kamu dari mereka untuk menguji kamu; dan
sesungguhnya Allah telah memaafkan kamu. Dan Allah mempunyai karunia
(yang dilimpahkan) atas orang-orang yang beriman." (QS. Ali 'Imran::
152)
Allah SWT
memaafkan hal itu. Orang-orang Muslim kini menghitung jumlah korban
mereka dan mengobati orang-orang yang terluka. Rasulullah saw bertanya
tentang pamannya Hamzah, dan ketika beliau mendapatinya di tengah-tengah
sahabat yang gugur, dan orang-orang kafir telah merusak jasadnya, maka
beliau berkata dalam keadaan menangis: "Tidak akan ada orang yang akan
tertimpa sepertimu selama-lamanya."
Kemudian Nabi saw berdiri dan memuji Allah SWT lalu
beliau memerintahkan untuk mengembalikan orang-orang yang terbunuh dari
kaum Muslim ke tempat asal mereka di mana mereka terbunuh. Saat itu
keluarga mereka telah membawanya ke kuburan kemudian Nabi saw
mengumpulkan kedua orang laki-laki dari pahlawan-pahlawan Uhud dalam
satu pakaian dan beliau bertanya siapa di antara keduanya yang paling
banyak mengambil manfaat dari Al-Qur'an. Jika diisyaratkan kepada salah
satunya, maka beliau akan mendahulukannya untuk dimasukan dalam liang
lahad.
Rasulullah saw
juga memerintahkan agar mereka dikebumikan dengan darah mereka dan
beliau pun tidak mensalati mereka, serta tidak memandikan mereka. Allah
SWT ingin memperlihatkan bagaimana mereka dibangkitkan pada hari kiamat
lalu beliau bersabda: "Tiada seorang pun yang terluka di jalan Allah SWT
kecuali Allah SWT membangkitkannya di hari kiamat dalam keadaan di mana
Iukanya akan mengucur darah. Warna itu adalah warna darah dan baunya
seperti minyak misik."
Bukanlah
penderitaan yang dalam yang merupakan pelajaran yang harus dimengerti
kaum Muslim dari peperangan Uhud sebagai akibat dari pembangkangan
mereka dari perintah Rasul saw dan ketidaktaatan mereka kepadanya,
tetapi wahyu juga menurunkan berbagai pelajaran yang lain yang dapat
dimanfaatkan. Pelajaran yang terpenting setelah pelajaran kesetiaan
adalah penjelasan tentang central utama yang di situ kaum Muslim
berkumpul. Pribadi Rasulullah saw bukanlah markas yang di situ kaum
Muslim berkumpul yang ketika pribadi Rasulullah saw yang mulia pergi
karena satu dan lain hal, maka orang-orang Muslim akan pergi dan
meninggalkan beliau. Tidak seharusnya pribadi Rasul saw menjadi markas
atau central tetapi yang menjadi central dari semuanya adalah pemikiran
beliau. Itulah yang paling penting.
Demikianlah bahwa Al-Qur'an al-Karim mencela orang-orang
yang meletakkan senjatanya ketika tersebar isu terbunuhnya Nabi saw.
Islam tidak akan mencapai puncaknya ketika kaum Muslim berkumpul di sisi
Rasulullah saw saat beliau masih hidup namun ketika beliau terbunuh
atau mati, maka mereka murtad di mana mereka membuang senjatanya dan
pergi mengurusi diri mereka sendiri. Orang-orang Islam adalah
orang-orang yang mengikuti prinsip bukan mengikuti pribadi. Muhammad bin
Abdillah memang seorang pemimpin manusia dan Imam para rasul dan
penutup para nabi, dan sebagai makhluk Allah SWT yang paling mulia,
namun ini semua tidak membenarkan bahwa seorang Muslim diperbolehkan
untuk meletakkan senjatanya ketika Rasul saw wahfat atau terbunuh.
Hendaklah seorang Muslim memanggul senjatanya dan tidak membuang dari
tangannya kecuali dalam dua keadaan: pertama ketika ia telah memperoleh
kemenangan dan kedua ketika ia telah mati.
Nas Al-Qur'an menjelaskan secara gamblang hubungan kaum
Muslim dengan akidah Islam, bukan dengan pribadi sang Rasul saw. Allah
SWT berfirman:
"Muhammad
itu tidak lain hanyalah seorang Rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya
beberapa orang rasul. Apakahjika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik
ke belakang (tnurtad)? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, maha ia
tidak dapat mendatangkan mudarat kepada Allah sedikit pun; dan Allah
akan memberi balasan kepada orang-orangyang bersyukur." (QS. Ali 'Imran:
144)
Demikianlah
bahwa peperangan Uhud telah membawa dampak yang luar biasa terhadap kaum
Muslim, utamanya terhadap Nabi saw. Orang-orang yang terbunuh di perang
Uhud adalah sahabat-sahabat yang paling mulia dan paling banyak
imannya. Mereka adalah pilihan dari orang-orang Muslim yang pertama;
mereka memikul beban dakwah di saat-saat yang sulit bahkan mereka harus
berhadapan dan memusuhi kerabat mereka dan teman-teman mereka; mereka
menjadi terasing saat menyatakan keislaman mereka sebelum hijrah dan
sesudahnya; mereka telah menginfakkan harta; mereka berjuang di jalan
Allah SWT; mereka telah bersabar dalam menanggung berbagai macam
penderitaan, dan ketika datang saat yang paling berbahaya dan pasukan
Islam telah terkepung di mana jiwa Rasul saw telah terancam, mereka
justru mencurahkan darah mereka bagaikan lautan yang menenggelamkan
orang-orang kafir dan mereka mampu melindungi sang Rasul saw dan
mengubah jalan peperangan serta menyelamatkan akidah tauhid.
Peperangan Uhud bukanlah
pengorbanan pertama yang dilakukan oleh kaum Muslim dan bukanlah
merupakan peperangan yang terakhir. Ia adalah satu peperangan di antara
cukup banyak peperangan yang dilalui oleh Islam untuk menyebarkan
kalimat Allah SWT di muka bumi dan membimbing hamba-hamba-Nya. Begitu
juga pengorbanan Rasul saw, dan peperangan Uhud bukanlah pengorbanan
yang pertama terhadap Islam dan bukan juga yang terakhir. Rasulullah saw
telah hidup setelah diutusnya kepada manusia di mana beliau telah
memberikan semuanya untuk kehidupan dan untuk dakwah; beliau tidak
memiliki dirinya sendiri; beliau tidak memboroskan waktunya dengan
sia-sia bahkan beliau beristirahat sedikit saja. Semua kehidupan beliau
diberikan kepada dakwah dan untuk Islam. Beliau menjalani berbagai macam
peperangan dan beliau memikul berbagai macam penderitaan dan belum lama
beliau lari dari suatu problem kecuali beliau berhadapan dengan problem
yang baru dan lain; belum lama beliau menyelesaikan suatu krisis
kecuali beliau menghadapi krisis yang lain. Demikianlah kehidupan sang
Nabi saw di mana beliau selalu memberikan kontribusi dan sumbangannya
demi kepentingan agama Allah SWT.
Silakan Anda mengamati kehidupan sang Rasul saw dari
sudut manapun yang Anda inginkan niscaya Anda tidak akan menemukan sudut
dari sudut-suduut kehidupan beliau kecuali dimulai dan dipenuhi dengan
pergulatan yang hebat.
Rasulullah
saw telah melalui pergulatan militer dalam berbagai macam pertempuran
yang silih berganti yang beliau lakukan. Beliau memulai pergulatan
politiknya yang terwujud dalam perundingan-perundingan dan surat-surat
yang beliau kirimkan kepada penguasa dan para raja di berbagai negara
agar mereka memeluk Islam, bahkan beliau melakukan pergulatannya dalam
masalah pribadi di rumah tangga. Rumah tangga beliau pun tidak kosong
dari pergulatan. Beliau adalah pejuang sejati dalam setiap waktu. Kalau
kita mengenal Nabi Ibrahim sebagai seorang musafir di jalan Allah SWT,
maka Muhammad bin Abdillah adalah seorang pejuang di jalan Allah SWT.
Belum lama peperangan Uhud berakhir sehingga pengaruh-pengaruh buruknya
berbekas pada kaum Muslim. Orang-orang Arab Badui mulai berani bersikap
kurang ajar kepada mereka, demikianjuga orang-orang Yahudi, apalagi
orang-orang munafik dan tidak ketinggalan orang-orang Quraisy pun mulai
menyudutkan kaum Muslim.
Kemudian datanglah utusan dari kabilah Arab kepada Rasul
saw dan mereka mengatakan kepada beliau bahwa mereka mendengar tentang
Islam dan mereka ingin memeluknya, maka hendaklah beliau mengutus kepada
mereka beberapa dai dan mubalig untuk mengajari mereka tentang
dasar-dasar agama. Nabi saw mengutus bersama mereka sekelompok para dai
yang dipimpin oleh 'Ashim bin Tsabit. Temyata orang-orang itu berkhianat
atas para sahabat-sahabat yang berdakwah itu dan mereka pun dibunuh.
Bahkan tiga di antara mereka ditawan dan dijual di Mekah. Dijualnya
mereka di Mekah berarti mereka diserahkan pada kelompok orang-orang
Quraisy yang telah lama menunggu untuk menangkap kaum Muslim. Kaum
Quraisy Mekah membunuh tiga tawanan kaum Muslim itu. Orang-orang Muslim
sangat sedih mendengar dai-dai Allah SWT itu terbunuh dengan cara yang
begitu tragis.
Ketika
datang kepada Nabi saw orang-orang yang minta pada beliau agar dikirim
utusan dari kalangan mubaligh untuk menyebarkan Islam untuk para kabilah
kaum Najd, maka Nabi kali ini betul-betul mempertimbangkan antara
kepentingan menyebarkan Islam dan perlindungan terhadap kehormatan
manusia. Lalu beliau memilih untuk kepentingan dakwah Islam. Beliau
menyadari bahwa beliau mengutus para sahabatnya dalam bahaya; beliau
memberitahu mereka bahwa mereka akan menghadapi suatu keadaan yang
misterius yang tiada mengetahuinya kecuali Allah SWT. Namun bahaya
tersebut sudah menjadi bagian dari cita rasa kehidupan yang selalu
meliputi dakwah Islam.
Ketika
Nabi saw mengutarakan kekhawatirannya terhadap para sahabatnya yang
bakal diutusnya di tengah kabilah itu, orang-orang yang meminta beliau
untuk mengutus para sahabatnya menyakinkan beliau bahwa mereka akan
melindungi sahabat beliau. Kemudian Nabi saw memerintahkan tujuh puluh
orang pilihan dari sahabatnya untuk pergi dan berjihad di jalan Allah
SWT serta mengajak manusia untuk mengikuti Islam. Lalu pergilah para
sahabat yang kemudian dikenal dengan sebutan al-Qurra' (yaitu
orang-orang yang pandai membaca Al-Qur'an dan menghapalnya). Mereka
adalah para dai yang terbaik yang diutus Nabi di mana pada siang hari
mereka memikul kayu bakar dan pada malam hari mereka sibuk dalam keadaan
salat. Ketika datang perintah Rasulullah saw kepada mereka untuk pergi
dan berdakwah mereka pun pergi dalam keadaan gembira karena mereka
diajak untuk berjihad di jalan Allah SWT. Mereka melangkahkan kaki
dengan mantap di tanah orang-orang munafik dan para penghianat sehingga
mereka sampai di suatu sumur yang bemama sumur Ma'unah. Kemudian mereka
mengutus salah seorang di antara mereka untuk menemui pemimpin
orang-orang kafir di negeri itu. Mubalig dari sahabat Rasulullah saw itu
menyampaikan surat Nabi yang dibawanya di mana beliau mengharapkan agar
masyarakat di situ masuk Islam, tetapi ia dikagetkan dengan adanya
pisau yang menembus punggungnya. Mubaligh itu berteriak saat ia
tersungkur: "sungguh aku beruntung demi Tuhan pemelihara Ka'bah."
Kemudian pemimpin orang-orang
kafir itu mengangkat senjata dan mengumpulkan para kabilah untuk
memerangi para mubaligh di jalan Allah SWT itu sehingga sahabat-sahabat
terbaik yang berdakwah di jalan Allah SWT itu pun gugur di sumur
Ma'unah. Jasad-jasad mereka menjadi makanan dari burung nasar dan
burung-burung yang lain. Dari tujuh puluh orang yang dikirim itu hanya
seorang yang selamat yang kembali kepada Nabi saw. Ia menceritakan apa
yang dialami oleh fuqaha-fuqaha Muslimin di mana mereka dikhianati.
Ketika mendengar berita tentang tragedi itu, Nabi sangat terpukul dan
sedih. Kemudian beliau mengangkat kepalanya dan berkata kepada
sahabat-sahabatnya: "Sungguh sahabat-sahabat kalian telah terbunuh dan
mereka telah meminta kepada Tuhan mereka. Mereka mengatakan, Tuhan kami,
berikanlah kami ujian sesuai dengan kehendak-Mu dan ridha-Mu. Apa saja
yang menjadi kepuasan-Mu kami pun akan merasakan kepuasan."
Sungguh penderitaan yang
dialami oleh Islam sangat berat, terutama yang menimpa para sahabat yang
gugur sebagai syahid di sumur Ma'unah. Nabi saw sangat sedih mendengar
sikap orang-orang Arab dan orang-orang kafir terhadap Islam. Mereka
telah mengejek dan merendahkan kaum mukmin sampai pada batas ini.
Kemudian beliau menetapkan akan kembali mengangkat kewibawaan Islam
dengan tindak kekerasan.
Dalam keadaan seperti ini, bergeraklah orang-orang
Yahudi untuk membunuh Rasulullah saw. Pada suatu hari beliau pergi ke
Bani Nadhir untuk menyelesaikan suatu urusan. Kemudian mula-mula mereka
menampakkan persetujuan atas apa yang diucapkan beliau. Mereka
mendudukkan Nabi di bawah naungan benteng-benteng mereka, lalu mereka
bersekongkol untuk melenyapkan beliau; mereka menetapkan untuk
melemparkan batu yang berat dari atas benteng itu saat beliau duduk dan
tidak membayangkan akan terjadinya kejahatan yang direncanakan padanya.
Namun Allah SWT mengilhami Rasul-Nya akan datangnya bahaya kepada
beliau, lalu beliau bangun sebelum pelaksanaan tipu daya itu. Lalu
beliau segera pergi menuju rumahnya. Beliau berpikir saat beliau kembali
ke rumahnya dengan membawa penderitaan yang baru. Pembangkangan dan
pengkhianatan tersebut tidak akan dapat berhenti kecuali setelah Islam
menunjukkan taringnya. Islam ingin mengembalikan kewibawaannya dengan
cara mengangkat senjata.
Rasul saw mengutus utusan ke Bani Nadhir dan
memerintahkan mereka untuk keluar dari Madinah, bahkan Rasul saw memberi
waktu kepada mereka hanya sepuluh hari. Kemudian orang-orang munafik
yang ada di Madinah bersatu bersama orang-orang Yahudi dan mereka
sepakat untuk memerangi Islam. Namun ketika berhadapan dengan Islam,
orang-orang Yahudi menelan kekalahan. Kemudian turunlah surah al-Hasyr
yang menyebutkan pengusiran orang-orang Yahudi dan menyingkap kedok
orang-orang munafik. Setelah kemenangan yang meyakinkan ini, Rasul saw
keluar bersama sahabatnya untuk membalas kejadian yang menimpa
sahabat-sahabatnya yang dikenal dengan al-Qurra' itu. Rasul saw ingin
mengembalikan kewibawaan Islam. Kemudian pasukan Rasul saw itu mampu
membuat para pengkhianat dari orang-orang Arab ketakutan. Hanya sekadar
mendengar nama pasukan Muslim, maka serigala-serigala gurun yang dulu
bengis itu pun ketakutan laksana tikus-tikus yang panik yang bersembunyi
di bawah lobang-lobang gunung. Orang-orang Quraisy mendengar kegiatan
pasukan Islam. Pasukan Quraisy menarik diri saat mereka mendekati
Dahran, sementara pasukan Muslim berada di Badar. Mereka menunggu
pertemuan yang disepakati di Uhud. Orang-orang Muslim menyala-kan api
selama delapan hari sebagai bentuk tantangan dan menunggu kedatangan
kaum kafir sehingga ketika mereka (kaum kafir) telah pergi, maka citra
kaum Muslim pun terangkat setelah mereka menerima kepahitan dalam
peperangan Uhud.
Kaum
Muslim menoleh ke arah utara jazirah Arab setelah menetapkan kewibawaan
mereka di selatan. Kabilah di sekitar Daumatul Jandal dekat dengan Syam
merampok di tengah jalan dan merampas kafilah yang berlalu di situ,
bahkan kenekatan mereka sampai pada batas di mana mereka berpikir untuk
menyerbu Madinah. Oleh karena itu, Rasulullah saw keluar bersama seribu
orang Muslim yang mereka bersembunyi di waktu siang dan berjalan di
waktu malam, sehingga setelah lima belas malam beliau sampai ke tempat
yang dekat dengan tempat tinggal musuh-musuh mereka lalu mereka
menggerebek tempat itu. Pasukan kafir itu dikagetkan dengan kedatangan
kaum Muslim yang begitu cepat.
Kita akan mengetahui bahwa alat komunikasi yang dimiliki
oleh Rasulullah saw sangat unggul sebagaimana alat pertahanan beliau
pun sangat unggul. Serangan mendadak yang dilakukan oleh pasukan
Rasulullah saw menunjukkan bahwa mereka memiliki pertahanan yang luar
biasa. Sistem pertahanan yang luar biasa sebagaimana kedatangan pasukan
yang secara tiba-tiba itu menunjukkan kemampuan pasukan Islam untuk
menyusup.
Demikianlah,
terjadilah hari-hari pertempuran militer. Belum lama Nabi saw
meletakkan baju besinya, dan beliau kembali membangun pribadi kaum
Muslim sehingga beliau terpaksa kembali memakai baju besinya dan kembali
berperang. Ketika musuh-musuh Islam yang berada di sekelilingnya
melihat bahwa kemampuan militer mereka tidak dapat menandingi kemampuan
kaum Muslim, maka mereka sengaja melakukan cara-cara baru untuk
memerangi Islam. Yaitu peperangan psikologis atau peperangan urat syaraf
dengan cara menyebarkan berbagai macam isu atau apa yang dinamakan
Al-Qur'an al-Karim dengan peristiwa al-Ifik (kebohongan). Setelah
peperangan Bani Musthaliq yaitu peperangan yang membawa kemenangan yang
cepat bagi kaum Muslim, terjadilah kesalahpahaman dan pertengkaran di
antara sahabat-sahabat yang biasa mengambil air di mana salah seorang
mereka berteriak: "wahai kaum Muhajirin," dan yang lain berteriak:
"Wahai kaum Anshar."
Peristiwa
yang sangat sepele itu dimanfaatkan oleh pemimpin kaum munafik yaitu
Abdullah bin Ubai. Abdullah bin Ubai memprovokasi orang-orang Anshar
untuk menyerang kaum Muhajirin. Ia ingin membangkitkan luka-luka
jahiliah yang lama yang telah dibuang dan telah dikubur oleh Islam,
Salah satu yang dikatakan oleh Ibnu Ubai adalah, "sungguh mereka telah
menyaingi kita dan mengambil kebaikan dari dan seandainya kita telah
kembali ke Madinah niscaya orang-orang yang mulai akan dapat mengusir
orang-orang yang hina di dalamnya."
Zaid bin Arqam menyampaikan kalimat si munafik itu
kepada Nabi saw, di mana kalimat itu berisi provokasi terhadap
orang-orang Anshar untuk menyerang kaum Muhajirin. Ubai menginginkan
agar mereka berpecah belah dan agar kesatuan mereka runtuh. Si Munafik
itu segera datang kepada Rasul saw dan menafikan apa yang dikatakannya.
Orang-orang Muslim secara lahiriah membenarkan perkataan si munafik itu
dan mereka justru menuduh Zaid bin Arqam salah mendengar. Tetapi hakikat
peristiwa itu tidak tersembunyi dari Nabi saw sehingga peristiwa itu
sangat menyedihkan beliau. Lalu beliau mengeluarkan perintah agar para
sahabat pergi ke suatu tempat yang tidak biasanya mereka lalui. Kemudian
beliau pergi bersama sahabat di hari itu sampai waktu malam menyelimuti
mereka. Dan kini, mereka memasuki waktu pagi. Kepergian yang singkat
dan tiba-tiba itu mampu menepis kebohongan yang dirancang oleh si
Munafik, Abdullah bin Ubai. Yaitu kebohongan yang bertujuan untuk
membakar persatuan kaum Muslim ketika ia berusaha untuk menyalakan api
di tengah-tengah rumah sang Nabi saw.
Ketika Nabi masih memiliki kekuatan yang menakutkan bagi
yang mencoba melawannya, maka mereka pun melakukan berbagai penipuan
dan, makar. Dan salah satu yang menjadi obyek tipu daya itu adalah istri
beliau, yaitu Aisyah. Alkisah, Aisyah pada suatu hari pergi untuk
memenuhi hajatnya lalu dilehernya terdapat anting-anting. Setelah ia
memenuhi hajatnya, anting-anting itu terjatuh dari lehernya dan ia tidak
mengetahui. Ketika Aisyah kembali dari kafilah yang telah siap-siap
untuk pergi, ia kembali mencari kalungnya sampai ia menemukannya.
Sementara itu orang-orang yang membawanya dalam tandu (haudaj) mengira
Aisyah sudah berada di dalamnya. Mereka tidak ragu dalam hal itu karena
memang berat badan Aisyah sangat ringan.
Pasukan Nabi berjalan dan membawa tandu, sedangkan
Aisyah tidak ada di dalamnya. Aisyah kembali dan tidak mendapati pasukan
di mana mereka telah pergi. Aisyah merasa heran atas kepergian pasukan
yang begitu cepat. Aisyah merasa takut saat ia berdiri sendirian di
padang gurun. Aisyah berusaha bersikap baik, ia duduk di tempatnya di
mana di situlah untanya duduk juga. Aisyah melipat-lipat pakaiannya
sambil berkata dalam dirinya: Mereka akan mengetahui bahwa aku tidak ada
dan karena itu mereka akan kembali mencariku dan akan menemukan aku.
Sementara itu, Sofwan bin
Mu'athal juga tertinggal karena ia melakukan keperluannya. Ia berjalan
dari arah yang jauh lalu ia melihat bayangan orang yang tidak begitu
jelas. Sofwan mendekat dan tiba-tiba ia mengetahui bahwa ia sedang
berdiri di hadapan Aisyah. Ia melihat Aisyah sebelum diwajibkannya
perintah memakai hijab (jilbab) atas istri-istri Nabi. Ketika
melihatnya, Sofwan berkata: "Sesungguhnya kita milik Allah SWT dan
kepadanya kita akan kembali,... istri Rasulullah Aisyah tidak menjawab.
Sofwan mundur dan mendekatkan
untanya kepadanya sambil berkata: "Silakan Anda menaikinya." Aisyah pun
menaikinya. Kemudian Sofwan membawanya pergi dan mencari pasukan yang
telah meninggalkannya. Sementara itu, pasukan Nabi sedang beristirahat.
Para sahabat mengira bahwa Aisyah masih berada dalam tandu. Tiba-tiba
mereka terkejut ketika Aisyah datang kepada mereka bersama Sofwan yang
menuntun untanya.
Tokoh
munafik Abdullah bin Ubai segera memanfaatkan kesempatan emas ini. Ia
membuat kisah bohong yang terkesan menuduh istri Nabi melakukan
pengkhianatan. Abdullah bin Ubai pandai memilih beberapa sahabat yang
dikenalinya sebagai orang-orang yang mudah percaya dan cenderung
membenarkan hal-hal yang bersifat lahiriah, atau ia mengetahui bahwa di
antara mereka dan Aisyah terdapat kedengkian sehingga mereka suka jika
tersebar kebohongan yang berkenaan dengan Aisyah.
Demikianlah pemimpin munafik
itu berhasil menjerat beberapa sahabat dalam tali kebohongannya, di
antaranya Hasan bin Sabit. Musthah, dan seorang wanita yang dipanggil
Hamnah binti Jahasv. yaitu saudara perempuan Zainab binti Jahasy istri
Rasulullah saw. Ketiga orang itu tertipu dengan kebohongan tersebut lalu
mereka menyebarkannya sehingga orang-orang yang terjerat dalam kebo
hongan itu mengatakan apa saja yang mereka inginkan. Akhirnya. pasukan
pun berguncang dengan isu itu. Sementara itu, Aisvah tidak mengetahui
sedikit pun tentang hal tersebut. Isu tersebut bertujuan untuk
menjatuhkan Islam dan melukai perasaan RasuhiHah saw dan itu termasuk
peperangan menentang Rasulullah saw dan ajaran yang dibawanya. Begitu
juga ia bertujuan menunjukkan bahwa kaum Muslim tidak konsekuen dengan
akidah yang mereka yakini dan secara tidak langsung ia juga menyerang
kesucian rumah tangga Aisyah.
Pasukan kembali ke Mekah dan Aisyah jatuh sakit, namun
ia tidak mengetahui isu-isu yang dikatakan tentang dirinya. Kemudian
Rasulullah saw mendengar hal itu sebagaimana ayahnya Abu Bakar dan
ibunya pun mendengarnya, namun tak seorang pun di antara. mereka yang
memberitahu Aisyah. Begitu juga Rasul saw tidak menceritakan peristiwa
itu di hadapan Aisyah. Namun sikap beliau berubah di mana beliau tidak
lagi menunjukkan perhatiannya seperti biasanya saat Aisyah sakit. Ketika
beliau menemui Aisyah dan saat itu ibunya ada di situ, beliau berkata:
"Bagaimana keadaanmu?" Beliau tidak lebih dari mengucapkan kata-kata
itu. Ketika Aisyah melihat perubahan sikap Rasul saw, ia mulai marah.
Pada suatu hari ia berkata pada Nabi: "Seandainya engkau mengizinkan
aku, niscaya aku akan pindah ke tempat ibuku." Beliau menjawab: "Itu
tidak ada masalah."
Aisyah
pun pindah ke tempat ibunya dan ia tidak mengetahui sama sekali apa
yang sebenarnya terjadi padanya. Setelah melalui lebih dari dua puluh
malam, Aisyah sembuh dari sakitnya dan ia pun belum mengetahui hal-hal
yang dikatakan tentang dirinya. Umul mu'minin Aisyah menceritakan
bagaimana ia mengetahui isu bohong tersebut dan bagaimana Allah SWT
membebaskannya dari isu itu, ia berkata:
"Kami adalah kaum Arab di mana kami tidak mengambil di
rumah kami tanggung jawab ini yang biasa di ambil oleh orang-orang Ajam.
Kami membencinya. Kami keluar untuk menikmati keluasan kota. Sementara
itu para wanita keluar pada setiap malam untuk memenuhi hajat mereka.
Pada suatu malam, aku keluar bersama Ummu Musthah untuk memenuhi
sebagian keperluanku. Lalu ia berkata: "Tidakkah kau sudah mendengar
suatu berita wahai putri Abu Bakar?" Aku bertanya, "berita apa itu?"
Lalu ia memberitahukan padaku apa-apa yang dikatakan oleh para penyebar
kebohongan. Aku berkata: "Apa ini memang benar?" Ia menjawab: "Demi
Allah, ini benar-benar terjadi." Aisyah berkata: "Demi Allah, aku tidak
mampu memenuhi hajatku." lalu aku pulang. Demi Allah, aku tetap menangis
sampai-sampai aku mengira bahwa tangisanku akan merusak jantungku dan
aku berkata kepada ibuku, mudah-mudahan Allah SWT mengampunimu, banyak
orang berbicara tentangku namun engkau tidak menceritakan sedikit pun
kepadaku. Ia berkata: "Wahai anakku, sabarlah demi Allah jarang sekali
wanita yang baik yang dicintai oleh seorang lelaki yang jika ia memiliki
istri-istri yang lain (madunya) kecuali wanita itu akan diterpa oleh
berbagai isu."
Aisyah
berkata: "Rasulullah saw berdiri dan menyampaikan pembicaraannya pada
mereka dan aku tidak mengetahui hal itu." Beliau memuji Allah SWT
kemudian berkata: "Wahai manusia, bagaimana keadaan kaum lelaki yang
menyakiti aku melalui keluar gaku dan mereka mengatakan sesuatu yang
tidak benar. Demi Allah, aku tidak mengenal mereka kecuali dalam
kebaikan. Lalu mereka mengatakan hal itu pada seorang lelaki yang aku
tidak mengenalnya kecuali dalam kebaikan di mana ia tidak memasuki suatu
rumah dari rumah-rumahku kecuali ia bersamaku."
Kemudian Rasulullah saw memanggil Ali bin Abi
Thalib dan Usamah bin Zaid dan bermusyawarah dengan keduanya. Usamah
hanya melontarkan pujian dan berkata: "Ya Rasulullah aku tidak mengenal
istrimu kecuali dalam kebaikan dan berita ini hanya kebohongan dan
kebatilan," sedangkan Ali berkata: 'Ya Rasulullah masih banyak wanita
yang lain yang dapat kau percaya." Kemudian Rasulullah saw memanggil
Burairah dan bertanya kepadanya, lalu Ali berdiri kepadanya dan
memukulnya dengan keras sambil berkata: "Jujurlah kepada Rasulullah
saw," lalu wanita itu berkata: "Demi Allah, aku tidak mengetahui kecuali
kebaikan. Aku tidak pemah mencela Aisyah kecuali pada suatu waktu aku
sedang membikin adonan roti lalu aku memerintahkannya untuk menjaganya
namun Aisyah tertidur dan datanglah kambing lalu adonan itu dimakan
olehnya."
Aisyah
berkata: "Kemudian datanglah kepadaku Rasulullah saw dan saat tu aku
bersama kedua orang tuaku dan seorang wanita dari kaum Anshar. Aku
menangis dan wanita itu pun turut menangis. Rasulullah saw duduk lalu
memuji Allah SWT dan berkata: "Wahai Aisyah, sungguh kamu telah
mendengar sendiri apa yang dikatakan orang-orang tentang dirimu, maka
bertakwalah kepada Allah SWT dan jika engkau telah melakukan keburukan
seperti yang diucapkan orang-orang itu, maka bertaubatlah kepada Allah
SWT karena sesungguhnya Allah SWT menerima taubat dari hamba-hamba-Nya."
Aisyah berkata, "demi Allah, itu tidak lain hanya kebohongan yang
dialamatkan kepadaku sehingga membuat air mataku kering. Aku sama sekali
tidak seperti yang mereka katakan," lalu aku menunggu kedua orang tuaku
untuk mengatakan tentang diriku namun mereka justru terdiam. Aisyah
berkata, "demi Allah aku merasa sebagai seorang yang hina yang tidak
layak diturunkan Al-Qur'an dari Allah SWT berkenaan denganku, tetapi aku
hanya berharap agar Nabi saw melihat kebohongan yang dialamatkan
kepadaku itu sehingga ia memastikan terbebasnya aku darinya."
Aisyah berkata: "Ketika aku
tidak melihat kedua orang tuaku berbicara aku berkata kepada mereka
tidakkah kalian menjawab apa yang dikatakan Rasuullah saw?" Mereka
berkata: "Demi Allah kami tidak mengetahui apa yang harus kami jawab."
Aku mengetahui bahwa aku bebas dari tuduhan itu. Tiba-tiba Rasulullah
saw mengusap keringat dari wajahnya sambil berkata: "Bergembiralah wahai
Aisyah karena sesungguhnya Allah SWT telah menurunkan ayat yang
membebaskan kamu dari tuduhan itu," lalu aku berkata: "Segala puji bagi
Allah SWT." Kemudian beliau keluar menemui para sahabat dan membacakan
kepada mereka ayat berikut ini:
"Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu
adalah dari golongan kamu juga. Janganlah kamu kira bahwa berita bohong
itu buruk bagi kamu. Tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat balasan
dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa di antara mereka yang mengambil
bagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu, maka baginya
azab yang besar. " (QS. an-Nur: 11)
Jibril turun kepada Nabi saw untuk menyampaikan
terbebasnya Aisyah dari segala tuduhan yang ditujukan kepadanya. Dan
gagallah peperangan psikologis menentang kaum Muslim dan rumah tangga
Rasulullah saw, dan kelompok-kelompok kafir meyakini bahwa mereka harus
menggunakan cara baru lagi untuk menentang Islam. Kemudian Rasulullah
saw kembali memasuki pergulatan menentang peperangan fisik. Peperang
Khandaq termasuk contoh peperangan fisik yang dilakukan oleh Rasulullah
saw. Orang-orang Yahudi menyerahkan urasan mereka kepada kaum musyrik,
dan Dimulailah rangkaian persekongkolan dan sumpah di antara tokoh-tokoh
Yahudi dan pemimpin-pemimpin kaum musyrik, bahkan pendeta-pendeta
Yahudi berfatwa bahwa agama Quraisy yang disimbolkan dengan penyembahan
berhala lebih baik daripada agama Muhammad yang penyembahan hanya layak
ditujukan kepada Tuhan Yang Esa sebagaimana tradisi jahiliah lebih baik
daripada ajaran Al-Qur'an.
Politik kaum Yahudi berhasil menyatukan
kelompok-kelompok orang kafir dan mengerahkannya untuk menentang kaum
Muslim. Kemudian mereka akan menyerang Madinah dengan jumlah kekuatan
sepuluh ribu tentara. Akhirnya, berita itu sampai ke Nabi saw. Beliau
tidak heran ketika mendengar orang-orang Yahudi bersatu—padahal mereka
mempunyai azas agama yang menyeru kepada tauhid—bersama kaum musyrik
menentang agama tauhid. Nabi saw mengetahui bahwa perjanjian telah lama
membelenggu orang-orang Yahudi sehingga hati mereka menjadi keras dan
hari telah menjauhkan antara mereka dan sumber yang jernih yang
dipancarkan oleh Musa. Akhirnya, mereka menjadi buah yang rusak yang
kulitnya bergambar tauhid namun isinya bergambar kepahitan syirik. Dan
yang lebih penting dari itu adalah kesamaan kepentingan kaum Yahudi dan
kaum musyrik.
Nabi saw
menyadari bahwa beliau sekarang menghadapi ancaman dan pasukan yang
besar. Pertempuran secara terbuka tidak memberi keuntungan bagi
Muslimin. Beliau mulai berpikir bagaimana cara mempertahankan Madinah
tanpa harus keluar darinya. Kali ini taktik militernya berubah di mana
sebelum itu beliau keluar dari Madinah dan menjauhinya serta menyerang
kelompok-kelompok yang berencana menyerbu Madinah. Kali ini bentuk
ancaman berbeda dan tentu pikiran Nabi pun berubah karena mengikuti
perbedaan ancaman itu.
Kemudian
beliau mengadakan pertemuan militer bersama para tentaranya. Beliau
ingin mendengar berbagai usulan tentang bagaimana cara mempertahankan
Madinah. Lalu Salman al-Farisi mengusulkan agar Nabi menggali suatu
parit yang dalam di sekeliling Madinah yaitu parit yang seperti
bendungan alami yang dapat menahan laju banjir yang ingin maju, suatu
parit yang pasukan berkuda tidak akan mampu melewatinya dan kaum Muslim
dapat mempertahankan diri dari belakangnya. Mula-mula usulan itu
terkesan agak mustahil diwujudkan namun pada akhirnya Nabi menyetujui
usulan Salman itu. Melalui sensifitas militernya yang mengagumkan,
beliau mengetahui bahwa situasi cukup genting dan karenanya ia menuntut
usaha keras untuk dapat melaluinya. Nabi saw memerintahkan para sahabat
untuk menggali parit di sekitar Madinah. Pekerjaan itu sangat berat dan
saat itu musim dingin di mana udara sangat dingin. Di samping itu, kaum
Muslim sedang mengalami krisis ekonomi yang mengancam Madinah, meskipun
demikian, penggalian parti tetap dilaksanakan, bahkan Rasulullah saw
terjun langsung untuk membuat galian dan memikul tanah.
Kaum Muslim dengan semangat
yang luar biasa dapat menyelesaikan penggalian parit itu meskipun
kehidupan sangat keras dan mereka merasakan kelaparan karena kekurangan
harta. Namun semangat pasukan Islam tetap meninggi. Mereka percaya akan
datangnya kemenangan dan pertolongan dari Allah SWT.
Allah SWT berfirman:
"Dan tatkala orang-orang
mukmin melihat golongan-golongan yang bersekutu itu, mereka berkata:
'lnilah yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya kepada kita.' Dan benarlah
Allah dan Rasul-Nya. Dan yang demikian itu tidaklah menambah kepada
mereka kecuali iman dan ketundukan." (QS. al-Ahzab: 22)
Pasukan Quraisy mulai
mendekati Madinah dan tiba-tiba Madinah berubah menjadi jazirah cinta di
tengah-tengah lautan kebencian, lautan itu mulai menghantam jazirah dan
berusaha menenggelamkannya dari dalam. Kemudian bertebaranlah
panah-panah kaum Muslim untuk menghalau pasukan kafir yang cukup banyak.
Pasukankafir mulai berputar-putar di sekeliling parit dalam keadaan
bingung: apa gerangan yang telah dilakukan pasukan Islam, bagaimana
mereka dapat menggali parit ini?
Kuda-kuda musuh berusaha melalui parit itu namun pasukan
Muslim segera menyerangnya. Demikianlah peperangan Ahzab terus
berlangsung. Pada hakikatnya ia adalah peperangan urat syaraf. Pasukan
musuh mengepung Madinah selama tiga minggu di mana serangan demi
serangan terus dilakukan sepanjang siang dan mata mereka tetap terjaga
sepanjang malam. Bahkan saking dahsyatnya pertempuran itu sehingga kaum
Muslim tidak mengetahui apakah pasukan musuh berhasil menduduki Madinah
atau tidak, dan apakah para musuh berhasil menembus lubang yang mereka
bangun? Allah SWT menggambarkan keadaan peperangan Ahzab dalam
firman-Nya:
"(Yaitu)
ketiha mereka datang kepadamu dari atas dan dari bawahmu, dan ketiha
tidak tetap lagi penglihatan(mu) dan hatimu naik menyesak sampai ke
tenggorokan dan kamu menyangka terhadap Allah dengan bermacam-macam
persangkaan. Di situlah diuji orang-orang mukmin dan digoncangkan
hatinya dengan goncangan yang dahysat." (QS. al-Ahzab: 10-11)
Keadaan semakin buruk di mana
orang-orang Yahudi membatalkan perjanjian mereka dengan kaum Muslim dan
mereka bergabung dengan al-Ahzab. Demikianlah Bani Quraizhah membatalkan
perjanjiannya dan mereka lupa terhadap pengkhianatan bani Nadhir dan
pembalasan Nabi saw terhadap mereka. Setiap hari keadaan semakin buruk.
Kaum Muslim benar-benar
mengalami ujian yang berat di mana pikiran mereka benar-benar kacau.
Ketika keadaan mencapai puncaknya kaum Muslim bertanya kepada Rasul saw,
"apa yang harus mereka katakan?" Rasulullah saw memberitahu agar mereka
mengatakan: "Ya Allah, kalahkanlah mereka dan tolonglah kami untuk
mengatasi mereka."
Doa
tersebut keluar dari mulut-mulut kaum yang telah melaksanakan kewajiban
mereka dan telah membuat mukjizat mereka dalam menghalau serangan.
Jadi, mereka tidak memiliki apa-apa selain doa dan Allah SWT-lah Yang
Maha Mendengar permintaan hamba-Nya dan Dia yang mengabulkannya. Dia
mengetahui orang yang melaksanakan kewajibannya dan akan mengabulkan
orang yang berdoa.
Akhirnya,
kaum Muslim benar-benar mendapatkan rahmat Allah SWT. Kemudian
perjalanan pertempuran bergerak dengan cara yang tidak bisa dipahami.
Para penyerang menyadari bahwa mereka sebenamya telah kalah di mana
mereka telah menyerang selama tiga pekan namun serangan tersebut tidak
memberikan hasil apa pun. Mereka telah mencurahkan berbagai upaya namun
tanpa memberikan hasil yang diharapkan dan boleh jadi mereka akan tetap
begini selama tiga tahun.
Kemudian datanglah suatu malam di mana kaum Muslim belum
pernah melihat malam segelap itu dan angin sekencang itu, bahkan saking
kerasnya angin sampai-sampai suaranya laksana halilintar. Bahkan saking
gelapnya malam itu sehingga tak seorang pun di antara umat Islam yang
mampu melihat jari-jari tangannya atau berdiri dari tempatnya karena
saking dinginnya cuaca. Kemudian Nabi saw datang menemui Hudaifah bin
Yaman. Beliau tidak mampu melihatnya meskipun beliau berdiri di
sebelahnya. Nabi saw bertanya: "Siapa ini?" Hudaifah menjawab: "Aku
adalah Hudaifah." Nabi saw berkata: "Oh, kamu Hudaifah." Hudaifah tetap
tinggal di tempatnya karena ia khawatir jika ia berdiri ia akan tidak
mampu karena saking dinginnya dan akan menabrak Rasul saw. Rasul saw
berkata kepada Hudaifah, "Aku kehilangan berita penting tentang keadaan
kaum yang menyerang kita."
Hudaifah sebagai mata-mata dari pasukan Islam merasakan
ketakutan di mana ia tidak mampu menahan cuaca yang begitu dingin, lalu
bagaimana ia dapat berdiri dan keluar dari Madinah menuju ke tempat
pasukan musuh dan menyusup di tengah barisan mereka lalu kembali kepada
Nabi saw dengan membawa berita tentang mereka. Hudaifah bangkit dari
tempatnya ketika Nabi saw selesai dari pembicaraannya. Nabi saw
memberikan doa kebaikan kepadanya. Hudaifah pun pergi dan kehangatan
keimanannya mengalahkan kegelapan malam dan kedinginan cuaca. Ia keluar
dari Madinah dan menyusup di tengah-tengah pasukan musuh. Nabi saw
memerintahkannya untuk tidak melakukan tindakan apa pun selain
mendapatkan berita dan kembali. Inilah tugas utamanya. Hudaifah sampai
di tengah-tengah musuh. Mereka berusaha menyalakan api namun angin
segera mematikannya sebelum menyala dan di dekat api itu terdapat
seorang lelaki yang berdiri sambil mengulurkan tangannya ke arah api
dengan maksud untuk menghangatkannya. Lelaki itu adalah pemimpin kaum
musyrik yaitu Abu Sofyan.
Melihat itu, Hudaifah segera memasang anak panah pada
busur yang dibawanya dan ia ingin memanahnya. Seandainya ia berhasil
membunuhnya, maka kaum Muslim dapat merasa tenang dengannya, namun ia
ingat pesan Rasulullah saw kepadanya agar ia tidak melakukan tindakan
apa pun. Kemudian ia kembali meletakkan anak panahnya dan
menyembunyikannya.
Abu
Sofyan berkata: "Wahai orang-orang Quraisy situasi saat ini tidak
menguntungkan bagi kalian, maka pergilah kalian karena aku pun akan
pergi." Abu Sofyan melompat ke atas untanya lalu mendudukinya dan
memukulnya sehingga unta itu bangkit.
Hudaifah kembali menemui Rasulullah saw dengan membawa
berita mundumya pasukan Ahzab dan gagalnya serangan mereka. Ketika
mendengar peristiwa penarikan mundur pasukan musuh, Rasulullah saw
berkata: "Sekarang kita akan menyerang mereka dan mereka tidak akan
menyerang kita." Belum lama pasukan Ahzab kembali ke negerinya dengan
tangan hampa sehingga beliau keluar dari Madinah bersama pasukannya
menuju ke kaum Yahudi Bani Quraizhah. Orang-orang Yahudi itu telah
mengkhianati peijanjian mereka bersama Nabi saw. Mereka menipu Islam di
saat-saat genting. Oleh karena itu, mereka harus membayar biaya
pengkhianatan mereka sekarang.
Nabi saw memerintahkan agar para sahabat tidak
melaksanakan salat Ashar kecuali di Bani Quraizhah. Kaum Muslim memahami
bahwa perintah tersebut berarti mereka akan menerobos benteng kaum
Yahudi sebelum matahari tenggelam.
Orang-orang Yahudi menelan kekalahan pahit lalu mereka
datang kepada Sa'ad bin Mu'ad agar ia memutuskan perkara mereka. Sa'ad
adalah pemimpin kaum Aus dan kaum Aus adalah sekutu orang-orang Yahudi
Quraizhah di masa jahiliah. Kaum Yahudi mengharap bahwa mereka dapat
memanfaatkan hubungan yang terjalin selama ini sebagaimana kaum Aus
membayangkan bahwa tokoh mereka akan memberikan keringanan terhadap
sekutu-sekutu mereka. Sa'ad ketika itu terluka dan ia sedang dirawat di
kemahnya karena terkcna panah kauni Ahzab. Sebagian kaunmya membujuknya
agar ia bersikap baik terhadap orang-orang Yahudi, sekutu-sekutu mereka,
dan orang-orang Yahudi membujuknya agar ia bersikap lembut terhadap
mereka. Kemudian Sa'ad mengatakan pernyataannya yang terkenal: "Telah
tiba waktunya bagi Sa'ad untuk memutuskan hukum sesuai dengan kehendak
Allah tanpa peduli dengan celaan para pencela." Sa'ad memutuskan agar
kaum lelaki dibunuh dan keturunannya ditawan serta harta-harta mereka
dibagi-bagikan. Nabi pun menyetujui keputusan tegas Sa'ad itu. Beliau
berkata kepadanya: "Sungguh engkau telah memutuskan kepada mereka dengan
keputusan Allah SWT dari tujuh langit."
Sa'ad mengetahui bahwa perantaraan, permohonan,
harapan, dan menjaga berbagai pertimbangan lazim selayaknya berada di
suatu genggaman, dan masa depan Islam berada di genggaman yang lain.
Yahudi Bani Quraizhah adalah penyebab berkecamuknya peperangan Ahzab dan
sumpah mereka dan berbagai tipu daya mereka berusaha untuk memblokade
Islam dan menghancurkannya. Oleh karena itu, kini telah tiba saatnya
untuk mencabut pohon-pohon beracun dari akarnya tanpa memperdulikan
kasih sayang.
Demikianlah
kaum Yahudi dibersihkan dari Madinah. Nabi saw kembali melanjutkan
pergulatannya. Puncak dari perjuangan politiknya adalah perjanjian yang
beliau lakukan bersama orang-orang Quraisy. Nabi saw berjalan untuk
melaksanakan umrah dan mengunjungi Baitul Haram. Beliau keluar bersama
seribu empat ratus kaum lelaki yang bertujuan untuk berziarah ke Baitul
Haram guna melaksanakan umrah. Ketika mereka sampai di Hudaibiyah
pinggiran kota Mekah, tiba-tiba unta yang ditunggangi Nabi duduk dan ia
tidak mau melangkah menuju Mekah. Melihat itu para sahabat berkata: "Oh
unta itu malas." Nabi saw berkata: "Tidak Demikian namun ia ditahan oleh
Zat yang menahan laju gajah menuju Mekah. Sungguh jika hari ini orang
Quraisy membuat suatu rencana dan mereka meminta agar aku menyambung
tali silaturahmi niscaya aku akan menyetujuinya."
Nabi saw memerintahkan para
sahabat agar tetap tinggal di Hudaibiyah. Kaum Muslim beristirahat di
sana dengan harapan mereka dapat memasuki Mekah di waktu pagi. Peristiwa
itu bertepatan dengan bulan Haram. Mekah telah menetapkan agar tak
seorang pun dari kaum Muslim dapat memasukinya. Semua kaum Quraisy telah
keluar untuk memerangi kaum Muslim. Mereka mengutus utusan-utusan
kepada Nabi saw lalu beliau memberitahu mereka bahwa beliau tidak datang
untuk berperang namun beliau ingin melakukan urnrah sebagai bentuk
pujian dan syukur kepada Allah SWT dan mengagumkan kemuliaan rumah-Nya
yang suci. Mekah menetapkan untuk melakukan perjanjian bersama kaum
Muslim di mana mereka menginginkan agar jangan sampai kaum Muslim
memasuki Baitul Haram pada tahun ini kecuali setelah mereka kembali pada
tahun depan.
Datanglah
juru runding kaum Quraisy lalu Rasul saw menyambutnya dan mendengarkan
ia menyampaikan syarat-syarat perjanjian yang intinya pelaksanaan
perdamaian dan penarikan mundur pasukan Muslim. Nabi saw menyetujui
semua syarat-syarat perjanjian meskipun tampak bahwa perjanjian tersebut
tidak menguntungkan kaum Muslim di mana itu dianggap sebagai titik
kemunduran politik dan militer kaum Muslim, dan yang menambah
kebingungan kaum Muslim adalah bahwa Rasul saw tidak melibatkan
seseorang pun dari kalangan sahabatnya untuk bermusyawarah dalam hal
ini. Tidak biasanya beliau bersikap demikian. Para sahabat menyaksikan
beliau pergi menemui kaum musyrik dan bersikap sangat lembut kepada
mereka, dan beliau tidak kembali kecuali membawa berita persetujuan
dengan perjanjian yang di prakarsai orang-orang musyrik, dan beliau pun
membubuhkan tanda tangan di atasnya.
Para sahabat bergerak untuk menentang Rasulullah saw.
Mereka bertanya kepada beliau, "bukankah engkau utusan Allah SWT?
Bukankah kita kaum Muslim? Bukankah musuh-musuh kita kaum musyrik?" Nabi
saw hanya mengiyakan pertanyaan-pertanyaan tersebut. Umar bin Khatab
kembali bertanya: "Mengapa kita harus menerima penghinaan dalam agama
kita?" Umar ingin mengungkapkan sesuai dengan bahasa kita saat ini,
"mengapa kita harus mundur kalau kita berada di atas kebenaran? Mengapa
kita menerima syarat-syarat perjanjian yang justru menguntungkan kaum
musyrik? Apakah kita takut terhadap mereka?"
Mendengar berbagai protes yang disampaikan para
sahabatnya, Rasul saw justru menyampaikan jawaban yang unik bagi mereka
di mana beliau berkata: "Aku adalah hamba Allah SWT dan Rasul-Nya dan
aku tidak mungkin menentang perintah-Nya dan Dia tidak mungkin akan
menyia-nyiakan aku." Makna dari kalimat beliau adalah, "taatilah apa
yang telah aku lakukan tanpa perlu memperdebatkannya dan hendaklah
kalian sedikit bersabar."
Perjalanan hari menetapkan bahwa perjanjian yang
menimbulkan pro dan kontra di tengah-tengah sahabat itu justru membawa
kemenangan politik paling gemilang yang pernah dicapai oleh umat Islam.
Kemenangan tersebut diperoleh sebagai hasil dari kebijaksanaan sang Nabi
saw yang mengalahkan kelihaian politik kaum Quraisy. Kaum Quraisy telah
memfokuskan semua kelihaian-nya agar kaum Muslim kembali ke tempat
mereka tanpa memasuki Masjidil Haram pada tahun ini, namun hikmah Nabi
saw justru mampu mencapai pengelihatan yang tidak dapat dijangkau oleh
kaum itu yang berkenaan dengan masa depan. Jika saat ini perjanjian
tersebut tampak membawa kekalahan bagi kaum Muslim, maka setelah
berlangsung beberapa bulan ia justru mendatangkan kemenangan yang
spektakuler.
Suhail
bin Amr adalah wakil dari delegasi kaum Quraisy dan Ali bin Abi Thalib
adalah juru tulis dalam perjanjian itu dari pihak Nabi saw. Rasulullah
saw berkata kepada Ali: "Tulislah dengan nama Allah Yang Maha Pengasih
lagi Maha Penyayang." Utusan Quraisy berkata, aku tidak mengenal ini.
Tapi tulislah dengan nama-Mu, ya Allah. Rasulullah saw berkata kepada
Ali: "Dengan nama-Mu, ya Allah." Sikap keras kepala utusan Quraisy itu
tidak berarti sama sekali karena tidak ada perbedaan yang mencolok
antara dengan namamu Allah dan dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi
Maha Penyayang selain niat si pembicara.
Nabi saw berkata kepada Ali: "Ini adalah perundingan
antara Muhammad saw utusan Allah dan Suhail bin Amr." Mendengar itu
dengan nada menentang Suhail bin Amr berkata: "Seandainya aku bersaksi
bahwa engkau adalah utusan Allah niscaya aku tidak akan memerangimu,
tetapi tulislah namamu dan nama ayahmu." Nabi berkata kepada Ali
tulislah: "Inilah kesepakatan antara Muhammad bin Abdillah dan Suhail
bin Amr."
Tampaknya
itu adalah kemunduran yang kedua dan dengan pandangan yang sekilas
tampak menjatuhkan kaum Muslim tetapi Nabi saw ingin mewujudkan suatu
tujuan yang penting yaitu tujuan yang belum terungkap saat itu. Alhasil,
semuanya terjadi dengan ilham dari Allah SWT. Ali kembali menulis bahwa
Muhammad bin Abdillah dan Suhail bin Amr sama-sama sepakat untuk
menghentikan peperangan selama sepuluh tahun di mana hendaklah
masing-masing mereka memberikan keamanan terhadap sesama mereka. Namun
jika terdapat di antara orangorang Quraisy seseorang yang masuk Islam
lalu ia datang kepada Muhammad saw tanpa izin walinya hendaklah kaum
Muslim mengembalikannya kepada kaum Quraisy. Sebaliknya, jika ada orang
yang murtad dari sahabat Muhammad saw, maka tidak ada keharusan bagi
orang Quraisy untuk mengembalikannya kepada Nabi.
Syarat tersebut sangat
menyakitkan kaum Muslim. Tampak bahwa orang-orang Quraisy memaksakan
kehendaknya dalam syarat-syarat perjanjian yang tidak adil itu. Ali
melanjutkan tulisannya, hendaklah Nabi saw pulang dari Mekah pada tahun
ini dan tidak memasukinya dan jika pada tahun depan orang-orang Quraisy
keluar darinya, maka beliau dapat memasukinya untuk melaksanakan umrah
selama tiga hari dan setelah itu beliau harus meninggalkannya.
Persyaratan tersebut sangat merugikan kaum Muslim dan terkesan
membingungkan.
Di
tengah-tengah perjanjian tersebut terjadi suatu peristiwa yang menambah
penderitaan dan kebingungan Muslimin di mana anak dari juru runding
Quraisy meminta perlindungan kepada kaum Muslim. Ia masuk Islam dan
ingin bergabung dengan kelompok Islam namun ayahnya, Suhail segera
bangkit menyusulnya bahkan memukulnya dan mengembalikannya kepada
kaumnya. Orang Mukalaf itu segera berteriak dan meminta pertolongan
kepada kaum Muslim agar mereka menyelamatkannya dari kejahatan kaum
Quraisy sehingga mereka tidak mengubah agamanya. Rasulullah saw
berbicara kepadanya dan meminta kepadanya untuk bersabar dan tegar dalam
menanggung penderitaan karena Allah SWT akan menjadikannya dan
orang-orang yang sepertinya suatu jalan keluar dan kelapangan. Nabi
memahamkannya bahwa beliau telah mengadakan suatu peijanjian dengan kaum
Quraisy dan bahwa kaum Muslim tidak mungkin melanggar perjanjian
mereka.
Akhirnya, anak
Muslim itu dikembalikan ke Mekah dalam keadaan tersiksa. Kemudian
Selesailah penandatanganan perjanjian antara pihak kaum Muslim dan pihak
kaum musyrik. Setelah penandatanganan perjanjian itu, Rasulullah saw
memerintahkan para sahabatnya agar mereka memotong hewan kurban dan
mencukur rambut mereka (tahalul) dari umrah mereka dan kembali ke
Madinah. Namun tak seorang pun bangkit menyambut perintah tersebut, lalu
beliau mengulangi perintahnya ketiga kali. Di tengah-tengah kaum Muslim
yang tampak membisu karena ketegangan dan kesedihan, beliau menyembelih
unta dan memanggil tukang cukurnya untuk mencukur rambutnya dan beliau
tidak berbicara dengan seorang pun. Ketika para sahabat mengetahui bahwa
Nabi saw tampak marah dan telah mendahului mereka dengan tahalul dari
umrahnya, maka mereka bangkit untuk menyembelih kurban dan memotong
rambut mereka.
Perjalanan
hari menunjukkan bahwa perundingan tersebut tidak seperti yang
dibayangkan oleh kaum Muslim. Ia justru membawa kemenangan dan bukan
kekalahan. Persatuan kaum kafir di jazirah Arab mulai runtuh sejak
mereka menandatangani perjanjian itu. Kaum Quraisy di anggap sebagai
pimpinan kaum kafir dan pembawa bendera penentangan terhadap Islam, maka
ketika tersebar berita perjanjian mereka bersama kaum Muslim, maka
padamlah fitnah-fitnah kaum munafik yang bekerja untuk mereka dan
bercerai-berAllah kabilah-kabilah penyembah patung di penjuru jazirah.
Saat aktivitas kaum Quraisy
terhenti, maka kaum Muslim mengalami peningkatan aktivitas di mana
mereka berhasil menarik orang-orang yang masih memiliki kemampuan untuk
melihat kebenaran. Sejak dua tahun dari masa penandatanganan perjanjian
itu jumlah penganut Islam semakin bertambah lebih dari jumlah
sebelumnya. Bukti dari itu adalah, bahwa saat Rasul saw keluar ke
Hudaibiyah beliau ditemani dengan seribu empat ratus Muslim namun ketika
beliau keluar pada tahun penaklukan kota Mekah beliau disertai dengan
sepuluh ribu Muslim. Penaklukan kota Mekah terjadi setelah dua tahun
dari perundingan tersebut. Penambahan jumlah kaum Muslim yang luar biasa
ini adalah dikarenakan hikmah sang Nabi saw dan kejauhan pandangannya.
Nabi saw keluar sebagai pemenang dalam pergulatan politiknya, dan
syarat-syarat yang tadinya merugikan kaum Muslim kini telah berubah
menjadi syarat-syarat yang merugikan kaum Quraisy. Barangsiapa murtad
dari kaum Muslim dan pergi ke kaum Quraisy, maka hendaklah mereka
melindunginya karena Allah SWT telah memampukan Islam darinya, dan
barangsiapa yang masuk Islam dari kaum kafir dan pergi ke kaum Muslim,
maka hendaklah mereka mengembalikannya ke kaum Quraisy di mana ia
tinggal di dalamnya sebagai mata-mata dari pihak Islam atau ia dapat
lari dari kaum Quraisy untuk menyatukan kelompok yang bertikai dan ia
dapat hidup laksana duri di tengah-tengah kaum Quraisy.
Belum lama waktu berjalan
sehingga kaum Quraisy mengutus utusannya kepada Nabi saw dan mengharap
kepada beliau agar melindungi orang Quraisy yang masuk Islam daripada
membiarkan mereka sebagai panah yang terbang menuju kaum Quraisy.
Demikianlah kaum Quraisy justru membatalkan syarat yang telah mereka
diktekan dan Nabi saw pun menerimanya dengan puas. Perundingan itu
justru menguatkan barisan Nabi savv.
Demikianlah Nabi saw terus menjalani mata rantai
pergulatan yang tiada henti-hentinya di mana kehidupan beliau yang
pribadi sekali pun tidak sunyi dari penderitaan. Nabi saw menikahi
sembilan orang istri. Perkawinan beliau dengan sembilan istri tersebut
merupakan keistimewaan pribadi yang hanya beliau miliki karena
berhubungan dengan sebab-sebab dakwah Islam. Yaitu suatu dakwah yang
membolehkan para pengikutnya untuk menikahi empat orang istri dengan
syarat jika yang bersangkutan mampu menciptakan keadilan di antara
mereka, dan ia menganjurkan untuk hanya puas dengan satu istri jika
seorang Muslim khawatir tidak dapat berbuat adil.
Kaum orentalis dan musuh-musuh
Islam mencoba untuk menghina Nabi dan memojokkannya, dan salah satu
cela yang mereka manfaatkan adalah perkawinan beliau dengan sembilan
wanita. Kita mengetahui bahwa pernikahan-pernikahan beliau terlaksana
dengan sebab-sebab politik atau kemanusiaan yang berhubungan dengan
dakwah Islam. Dan yang terkenal dari sejarah Nabi saw adalah bahwa
beliau menikah dengan Sayidah Khadijah saat beliau berusia dua puluh
lima tahun dan Khadijah berusia empat puluh tahun. Semasa hidup Khadijah
beliau tidak menikahi istri yang lain sampai Khadijah mencapai usia
enam puluh lima tahun. Saat Khadijah meninggal, Nabi berusia di atas
lima puluh tahun. Beliau menikahi Khadijah sebelum beliau diutus untuk
menyebarkan Islam. Beliau tetap setia bersama Khadijah sampai ia
meninggal dan beliau diangkat menjadi Nabi. Namun beban kenabian dan
beratnya jihad, kasih sayangnya kepada manusia, pengorbanannya terhadap
Islam dan perintah Allah SWT semua itu memaksanya untuk menikah lebih
dari satu orang istri sampai mencapai sembilan orang istri. Perkawinan
beliau dengan Aisyah yang saat itu masih belia merupakan usaha untuk
menjalin ikatan dengan Abu Bakar, ayah dari Aisyah dan perkawinan beliau
dengan Hafshah meskipun ia sedikit kurang cantik merupakan usaha beliau
untuk menjalin ikatan dengan Umar, ayahnya. Beliau juga menikah dengan
Ummu Salamah, janda dari pemimpin pasukannya yang mati syahid di jalan
Allah SWT dan wanita itu merasakan penderitaan bersama beliau saat
hijrah di Habasyah dan hijrah ke Madinah. Ketika suaminya meninggal dan
ia sendirian menghadapi berbagai persoalan kehidupan, maka Nabi saw
segera merangkulnya di rumah kenabian. Perkavvinan beliau dengan Sawadah
sebagai bentuk penghormatan terhadap keislaman wanita itu dan
kemuliannya dari kaum lelaki serta kesendiriannya dalam menjalani
kehidupan. Sementara itu, pernikahan beliau dengan Zainab bin Jahasy
merupakan ujian berat bagi beliau di mana perintah pernikahan itu datang
dari Allah SWT untuk mengharamkan suatu tradisi yang terkenal di
kalangan jahiliah yaitu tradisi adopsi. Zainab termasuk kerabat Rasul.
Jadi ia termasuk dari kalangan bani Hasyim. Ia merasa bangga dengan
nasab yang dimilikinya yang karenanya ia menolak ketika ditawari untuk
menikah dengan Zaid bin Harisah, seorang budak Nabi yang telah beliau
bebaskan, bahkan nasabnya telah beliau nisbatkan kepada dirinya dan
beliau telah mengadopsinya sehingga ia dipanggil dengan sebutan Zaid bin
Muhammad. Namun Zainab akhirnya menyetujui pendapat Nabi dan perintah
Allah SWT sehingga ia menikah dengan Zaid:
"Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan
tidak pula bagi perempuan yang mukimin, apabila Allah dan Rasul-Nya
telah menetaphan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan yang lain
tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhahai Allah dan Rasul-Nya,
maka sungguh dia telah sesat dengan kesesatan yang nyata. " (QS.
al-Ahzab: 36)
Sejak
semula tampak jelas bahwa pernikahan tersebut akan segera berakhir.
Zainab tidak menyukai Zaid dan Zaid pun bukan tipe lelaki yang mampu
menahan kehidupan bersama seorang wanita yang hatinya jauh darinya. Zaid
datang kepada Nabi saw guna mengadu kepada beliau dan meminta izin
untuk menceraikan istrinya. Allah SWT mewahyukan kepada Rasul-Nya agar
membiarkan Zaid menceraikan istrinya, lalu hendaklah beliau menikahinya.
Nabi saw merasakan kesulitan yang luar biasa dan beliau berbicara
kepada Zaid agar ia terus melangsungkan kehidupannya dan bersabar. Nabi
saw membayangkan apa yang dikatakan manusia kepadanya bahwa ia menikahi
istri dari anaknya tetapi apa yang dikhawatirkan oleh Nabi saw justru
merupakan sesuatu yang ingin dihapus oleh Allah SWT. Zaid bukanlah
anaknya dan dalam Islam tidak ada sistem adopsi. Oleh karena itu, Zaid
dapat mencerai istrinya lalu Nabi dapat menikahi Zainab untuk menetapkan
apa yang diinginkan oleh Islam. Rasulullah saw mampu bersabar dan
menahan diri saat mendengar berbagai ocehan yang akan dikatakan oleh
manusia kepadanya. Ini bukanlah pengorbanan pertama dan terakhir yang
beliau persembahkan untuk Islam. Berkenaan dengan itu, Allah SWT
berfirman:
"Dan
(ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah
melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi nikmat
kepadanya: 'Tahanlah terus istrimu dan bertakwalah kepada Allah,' sedang
kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya,
dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berrhak kamu
takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya
(menceraikannya), Kami nikahkan kamu dengan dia supaya tidak ada
heberatan bagi orang-orang mukmin untuk (menikahi) istri-istri anak-anak
angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan
keperluannya dari istrinya. Dan adalah ketetapan Allah itu pasti
terjadi. " (QS. al-Ahzab: 37)
Pemikahan beliau dipenuhi dengan unsur politik dan usaha
untuk menyebarkan kebaikan dan rahmat serta penghormatan nilai-nilai
yang tinggi dan menggabungkannya di rumah kenabian. Sementara itu, Ummu
Habibah binti Abu Sofyan bin Harb, pemimpin Quraisy dalam memerangi
Islam, berhijrah bersama suaminya ke Habasyah.
Ia berhadapan dengan keterasingan dan kekhawatiran
dalam membela agama Allah SWT. Kemudian suaminya mati meninggalkannya
sendirian dalam menjalani kehidupan. Sikapnya yang mulia demi menegakkan
ajaran Islam dan hanya menentang ayahnya merupakan nilai lebih yang
menyebabkan Rasulullah saw tertarik untuk menggabungkannya di rumah
kenabian.
Pada suatu
hari, Abu Sofyan menemuinya saat ia telah menjadi istri Rasulullah saw.
Abu Sofyan ingin duduk di atas tempat tidur Nabi lalu Ummu Habibah
berusaha menjauhkan tempt tidur itu dari ayahnya. Melihat sikap anaknya
itu, ayahnya bertanya kepadanya: "Apakah engkau mulai membenciku?"
Dengan penuh keberaniaan ia menjawab: "Ini adalah tempat tidur
Rasulullah saw dan engkau adalah seorang musyrik, maka engkau tidak
boleh menyentuhnya."
Adapun
Shofiyah binti Huyay adalah anak seorang raja Yahudi. Sedangkan
Juwairiyah binti Haris, ayahnya seorang pemimpin kabilah Bani Musthaliq.
Bani Musthaliq menelan kekalahan saat berhadapan dengan kaum muslim
lalu kedua anak perempuan raja dan pemimpin kabilah itu jatuh menjadi
tawanan. Pemikahan Nabi dengan kedua wanita itu terkesan dipaksa oleh
orang-orang yang kalah itu dan sebagai ajakan agar kaum Muslim
memperlakukan mereka dengan baik. Mula-mula kaum Muslim menolak untuk
bersikap lembut terhadap ipar-ipar Nabi, namun Nabi dengan kelembutan
sikapnya ingin menyingkap aspek kemanusiaan dalam peperangannya dan
beliau mengisyaratkan kepada kaum Muslim agar mereka menunjukkan
persaudaraan sesama manusia. Peperangan itu sendiri bukan sebagai tujuan
namun ia sebagai usaha mempertahankan Islam dan aspek tertinggi dari
Islam adalah rahmat dan cinta.
Jadi Nabi saw menikahi wanita-wanita dari orang-orang
yang kalah itu dengan maksud agar kebebasan dan kemuliaan kembali kepada
keluarga mereka dan mereka dapat masuk Islam secara puas dan sukarela.
Kemudian beliau menikah dengan Maryam al-Qibtiyah. Muqauqis telah
memberikannya kepada Nabi sebagai budak di mana itu merupakan simbol
tali kasih yang diisyaratkan oleh Al-Qur'an antara Islam dan Masehi dan
sebagai bentuk hukum bagi kaum Muslim dengan dihalalkannya pernikahan
dengan wanita-wanita ahlul kitab.
Maryam memberikan anak kepada Nabi saw yang bernama
Ibrahim, nama dari kakeknya, bapak para nabi. Namun Ibrahim tidak hidup
lama. Ia meninggal saat masih menyusu. Kematiannya merupakan ujian bagi
Nabi dan sebagai isyarat dari Ilahi bahwa pewaris-pewaris Rasul dari
kaum pria adalah para pengikut Al-Qur'an dan para pembawa Islam, bukan
anak-anak dari sulbinya.
Salah jika ada orang yang membayangkan bahwa Rasul saw
mempunyai banyak waktu untuk mencari kesenangan meskipun halal.
Kesenangan diperbolehkan bagi orang lain namun beliau lebih memilih
untuk merasakan penderitaan berjihad, menegakkan hukum, dan kesabaran.
Salah jika ada orang yang membayangkan bahwa Rasul saw hidup di rumahnya
dengan keadaan ekonomi yang lebih baik daripada orang yang termiskin
dari kalangan Muslim di zamannya.
Kehidupan beliau di rumahnya penuh dengan kezuhudan yang
luar biasa sehingga sebagian istrinya mengeluhkan keadaan tersebut. Di
antara mereka ada yang berasal dari keluarga yang kaya seperti keluarga
Abu Bakar atau keluarga Umar bahkan sebagian istrinya bersatu untuk
meminta kepada beliau agar beliau menambah nafkah mereka sehingga Nabi
meninggalkan istri-istrinya, lalu tersebarlah isu yang menyatakan bahwa
beliau telah menceraikan semua istrinya. Kemudian turunlah ayat Takhyir
(yaitu ayat yang memberikan pilihan kepada istri-istri Nabi untuk tetap
menjadi istri beliau atau diceraikannya). Turunlah Al-Qur'an al-Karim
memberikan pilihan pada istri-istri Nabi antara menjalani kehidupan di
rumah kenabian dengan penuh kesederhanaan atau menerima perceraian.
Allah SWT berfirman:
"Hai
Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu: 'Jika kamu sekalian mengingini
kehidupan dunia dan perhiasannya, maka marilah supaya kuberikan kepadamu
mut'ah dan aku ceraikan kamu dengan cara yang baik. Dan jika kamu
sekalian menghendaki (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya serta (kesenangan)
di negeri akhirat, maka Sesungguhnya Allah menyediakan siapa yang
berbuat baik di antaramu pahala yang besar. " (QS. al-Ahzab: 28-29)
Selesailah fitnah.
Demikianlah pergulatan di rumah Rasul saw. Akhirnya, istri-istri beliau
memilih kehidupan zuhud dan bersabar serta akhirat daripada kehidupan
dunia. Permintaan istri-istri nabi tidak melebihi hal-hal yang bersifat
mubah, namun Rasul saw merupakan teladan bagi seluruh umat, karena itu
beliau harus menjadi teladan bagi umat sehingga beliau dapat menjadi
cermin tertinggi yang layak diemban oleh seorang yang memegang tampuk
kepemimpinan Muslimin. Allah SWT telah membalas pengorbanan istri-istri
Nabi saw dalam bentuk mengangkat kedudukan mereka dan menjadikan mereka
sebagai ibu dari kaum mukmin. Allah SWT berfirman:
"Nabi itu (hendaknya) lebih
utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri dan
istri-istrinya adalah ibu-ibu mereka." (QS. al-Ahzab: 6)
Dan, sebagai penegasan
terhadap keibuan spiritual ini, Islam mewajibkan hijab yang teliti
kepada mereka, yaitu suatu hijab yang tidak diberlakukan seperti itu
kepada Muslimah-Muslimah lain. Nabi saw melanjutkan dakwahnya. Beliau
mengirim surat ke raja-raja dan para penguasa di mana beliau ingin
menunjukkan universalitas ajaran Islam. Nabi saw mengajak Kaisar Romawi
untuk mengikuti Islam, lalu beliau mengirim utusan ke Amir Damaskus
mengajaknya untuk memeluk Islam, dan beliau mengutus utusan ke Amir
Basrah bagian dari wilayah Romawi dan mengajaknya untuk mengikuti Islam,
dan beliau juga mengirim surat ke penguasa Qibti dan mengajaknya untuk
masuk Islam, dan beliau juga menulis surat ke Kisra, Raja Persia dan
mengajaknya untuk mengikuti Islam. Beliau juga mengirim utusan ke Amir
Bahrain dan mengajaknya untuk mengikuti Islam.
Lalu berbagai reaksi disampaikan berkenaan dengan
surat-surat Nabi itu. Di antara mereka ada yang berusaha menyampaikan
kepada pembawa surat bahwa ia masuk Islam dan mengembalikannya dengan
hadiah, dan di antara mereka ada yang merobek-robek surat itu dan di
antara mereka ada yang membalas surat itu dengan jawaban yang baik, dan
di antara mereka ada yang menerima kebenaran. Demikianlah hari berlalu
dalam pergulatan yang tidak pernah padam, suatu pergulatan yang dipimpin
oleh Nabi sehingga beliau menaklukkan Mekah dan menyucikan jazirah
Arab. Akhirnya, manusia masuk dalam agama Allah SWT dalam keadaan
berbondong-bodong, dan Allah SWT menyempurnakan agama bagi kaum Muslim
dan Nabi saw melaksanakan haji wada' (haji yang terakhir) dan turunlah
kepada beliau wahyu di Arafah sebagaimana firman-Nya:
"Pada hari ini telah
Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu
nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itujadi agama bagimu. " (QS.
al-Maidah: 3)
Ayat
tersebut dibacakan kepada Abu Bakar sehingga ia menangis. Allah SWT
merasa bahwa telah tiba waktunya untuk mengakhiri misi Rasul-Nya. Aisyah
berkata kepada anak-anak yang berteriak dan bermain-main di luar rumah:
"Diamlah kalian karena Rasulullah saw sedang sakit." Anak-anak itu pun
terdiam dan mereka merasakan ketakutan yang luar biasa. Pada hari-hari
terakhir, Rasulullah saw tidak lagi bercanda dengan mereka sebagaimana
yang biasa beliau lakukan.
Mereka memperhatikan bahwa kepucatan yang aneh
menyelimuti Nabi saw yang biasanya wajah beliau dipenuhi dengan senyuman
hingga wajahnya laksana lempengan emas. Nabi saw yang terakhir masuk
dalam rumahnya dan hampir saja beliau tidak kuat menahan langkah kedua
kakinya. Beliau memasuki rumahnya dan bersandar kepada tangan Fadl bin
Abbas dan Ali bin Abu Thalib. Beliau merasakan keletihan dan kesakitan.
Kemudian Aisyah menidurkan beliau di atas ranjangnya yang kasar dan
Aisyah meletakkan tangannya di atas kening beliau. Kepala beliau tampak
panas karena saking hebatnya demam. Aisyah berkata dalam keadaan kedua
matanya mengucurkan air mata, "demi ayah dan ibuku, ya Rasulullah apakah
engkau merasakan sakit?" Nabi saw tersenyum untuk menenangkan Aisyah
lalu beliau tertidur. Kemudian mengalirlah dalam memori Nabi saw
berbagai gambar hidup: Jibril turun kepada beliau dengan membawa wahyu
di gua Hira. Beliau telah melewati waktu yang diberkati selama dua puluh
tiga tahun, yang sekarang tampak seperti mimpi. Bahkan empat puluh
tahun yang mendahuluinya tampak seperti gambar yang hanya dilukis
sesaat.
Segala sesuatu
menjadi mudah bagi Allah SWT dan Rasulullah saw telah berhasil melalui
berbagai penderitaan dengan penuh kesabaran, bahkan beliau tidak pernah
mengeluh sekali pun. Beliau mengajarkan akidah kepada para pengikutnya
dengan penuh kemantapan. Akhirnya, Islam menjadi mulia dan benderanya
semakin berkibar. Kemudian beliau bangun karena melihat tangisan yang
tersembunyi dari Aisyah. Beliau membuka kedua matanya dan melihat wajah
Aisyah sambil beliau sendiri berusaha melawan rasa pusing, demam, dan
sakit yang dirasakannya. Beliau kembali tersenyum untuk menenangkan
Aisyah dan beliau kembali memejamkan matanya dan tidak sadarkan diri.
Apa gerangan yang menyebabkan Aisyah menangis? Tidakkah Allah SWT
memahkotai jihad Nabi saw yang berat dengan penaklukan Mekah dan
penyucian Baitul Haram?
Berbagai gambar hidup dan aktual melayang-layang dalam
memori Nabi saw. Beliau mengingat bagaimana tindakan orang Quraisy
ketika membantalkan perjanjian Hudaibiyah dan mereka memerangi Khaza'ah
yang saat itu bersekutu dengan kaum Muslim dan akhirnya mereka membunuh
semua sekutu kaum Muslim di Baitul Haram. Kemudian beliau berjalan
bersama pasukan yang berjumlah sepuluh ribu di mana semua pasukan telah
siap, dan tentara Muslim turun dari gunung Mekah laksana air bah yang
tidak berhenti sedikit pun. Telah lewatlah masa para pembawa tombak,
panah, dan pedang; telah lewatiah masa di mana Rasulullah saw memimpim
pasukan yang di dalamnya terdapat kaum Muhajirin dan Anshar. Di
tengah-tengah pasukan besar tersebut yang berhasil menaklukkan Mekah,
Nabi saw menunggangi untanya dan beliau menundukkan kepalanya dengan
penuh rendah diri di hadapan Allah SWT sampai-sampai kepalanya hampir
menyentuh punggung unta yang dinaiki. Pintu Mekah terbuka untuk pasukan
ini.
Para pemimpin
Mekah dan pengikut-pengikut mereka menyerahkan diri. Kalimat Allah SWT
semakin meninggi di dalamnya. Nabi saw memasuki Baitul Haram lalu beliau
berkeliling di sekitar Ka'bah. Beliau menghancurkan berbagai patung
yang berbaris di sekitarnya, lalu beliau memukulnya dengan kampaknya.
Kemudian patung-patung itu berjatuhan dan hancur. Setelah beliau
membersihkan masjid dari berbagai patung dan mengembalikannya
sebagaimana yang diciptakan oleh Allah SWT sebagai rumah tauhid yang
mutlak, beliau menoleh kepada orang Quraisy dan memaafkan mereka dan
mengajak mereka untuk kembali ke jalan Allah SWT. Kemudian tibalah waktu
salat, lalu Bilal naik di atas punggung Ka'bah dan mengumandangkan
Azan. Penduduk Mekah mende-ngarkan panggilan baru ini di mana gemanya
berputar-putar di antara gunung:
"Allah Maha Besar. Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain
Allah. Aku bersaksi bahwa Muhammad utusan Allah. Marilah melaksanakan
salat. Marilah menuju keberuntungan. Allah Maha Besar. Tiada Tuhan
selain Allah."
Akhirnya,
rumah itu dikembalikan kehormatannya dan kemuliannya. Kemudian
lagi-lagi arus berbagai gambar terlintas dalam memorinya: itulah
peperangan Hunain dengan kekalahannya, kemenangannya, dan ganimahnya;
Itulah Nabi saw yang memberikan ganimah terhadap orang-orang yang
bergabung dengan Islam hanya dua hari dari penduduk Mekah, dan mencegah
untuk memberi ganimah Hunaian kepada kaum Anshar yang telah memberikan
segalanya untuk Islam. Salah seorang di antara mereka berkata: "Demi
Allah, Rasulullah saw telah menemui kaumnya." Sa'ad bin 'Ubadah berjalan
ke arah Rasulullah saw dan memberitahunya bahwa kaum Anshar sedang
marah. Rasul saw bertanya: "Mengapa marah?" Sa'ad menjawab: "Mereka
protes saat engkau membagikan ganimah ini pada kaummu dan pada seluruh
orang Arab namun mereka tidak mendapatkan apa-apa." Rasulullah saw
bertanya kepada Sa'ad bin Ubadah: "Kamu sendiri bagaimana pendapatmu
wahai Sa'ad?" Sa'ad berkata: "Aku tidak lain kecuali seseorang dari
kaumku." Rasulullah saw berkata: "Kumpulkanlah kepadaku kaummu untuk
masalah yang penting ini dan jika kalian telah berkumpul, maka
beritahulah aku."
Sa'ad
mengumpulkan seluruh kaum Anshar lalu ia memberitahu Rasul saw bahwa ia
telah mengumpulkan mereka. Rasulullah saw keluar menemui mereka dan
berdiri di hadapan mereka sambil memuji Allah SWT dan kemudian berkata:
"Wahai orang-orang Anshar, tidakkah aku datang kepada kalian saat kalian
dalam keadaan sesat lalu Allah SWT memberikan petunjuk kepada kalian,
dan kalian menjadi orang-orang yang fakir lalu Allah SWT memampukan
kalian, dan kalian dalam keadaan bermusuhan lalu Allah SWT menyatukan
hati kalian?" Mereka menjawab: "Benar." Rasulullah saw berkata: "Mengapa
kalian tidak menjawab wahai kaum Anshar?" Mereka berkata: "Apa yang
kita akan katakan wahai Rasulullah dan dengan apa kita akan menjawabnya.
Sungguh segala karunia hanya milik Allah SWT dan Rasul-Nya."
Rasulullah saw berkata: "Demi
Allah, seandainya kalian mau niscaya kalian akan mengatakan dan benar
apa yang kalian katakan: Engkau datang kepada kami sebagai seorang yang
terusir, maka kami melingdungimu dan engkau datang dalam keadaan miskin
lalu kami menghiburmu dan engkau datang dalam keadaaan ketakutan lalu
kami mengamankanmu dan engkau datang dalam keadaan teraniaya lalu kami
menolongmu." Mereka berkata: "Segala puji dan karunia bagi Allah SWT dan
Rasul-Nya." Rasulullah saw berkata: "Wahai kaum Anshar, apakah kalian
akan marah terhadap harta yang telah aku berikan kepada suatu kaum
dengan harapan agar keimanan meresap dalam hati mereka dan kalian justru
melupakan karunia yang telah Allah SWT berikan kepada kalian dalam
bentuk nikmat Islam. Tidakkah kalian wahai kaum Anshar merasa puas
ketika manusia pergi untuk melakukan perjalanan di musim dingin
sedangkan kalian pergi dengan Rasulullah saw. Maka demi Zat yang jiwaku
di tangan-Nya, seandainya manusia melalui suatu jalan dan kaum Anshar
melalui jalan yang lain niscaya aku akan melalui jalan kaum Anshar. Ya
Allah, rahmatilah kaum Anshar dan anak-anak kaum Anshar dan cucu kaum
Anshar."
Mendengar doa
itu, kaum tersebut menanggis sehingga jenggot mereka terbasahi dengan
air mata dan mereka berkata: "Kami rela dengan Allah SWT sebagai Tuhan
dan sangat puas dengan pembagian Rasulullah saw." Kemudian Nabi saw pun
meninggalkan mereka dan mereka pergi dalam keadaan puas. Orang-orang
Anshar memahami bahwa Muslim yang hakiki di dunia adalah seorang yang
datang di dunia untuk memberi, bukan untuk mengambil. Nabi saw terbangun
dan beliau mendapati dirinya sendirian di kamar. Suhu tubuh beliau
meningkat karena demam, lalu beliau memanggil Aisyah dan meminta
kepadanya untuk membawa air yang dapat digunakannya untuk mendinginkan
tubuhnya. Aisyah mulai menuangkan air kepada Rasulullah saw sampai demam
beliau berangsur-angsur sedikit menurun. Tampak bahwa waktu berlalu
cukup lambat dan berat. Sakit Rasulullah saw semakin meningkat.
Beliau mulai merasa bahwa
tidak mampu lagi untuk salat bersama para sahabat, lalu beliau
memerintahkan Abu Bakar untuk salat bersama mereka. Pada saat Nabi
mengalami antara keadaan terjaga dan tidur, beliau selalu berpikir apa
gerangan yang belum disampaikannya kepada manusia. Beliau telah
menyampaikan segala sesuatu dan telah mengajari mereka segala sesuatu
serta telah meninggalkan sebuah Kitab yang siapa pun berpegangan
dengannya ia tidak akan sesat.
Rasul saw mulai mengantuk dan berbagai nostalgia
terlintas di kepalanya. Beliau melihat dirinya di haji Wada'. Selesailah
perjanjian yang diberikan kepada kaum musyrik dan mereka telah dilarang
untuk memasuki Masjidil Haram dan sekarang Nabi saw keluar sebagai
pemimpin haji dan mengajari kaum Muslim cara manasiknya. Rasulullah saw
memperhatikan ribuan orang-orang yang bertauhid saat mereka menuju
Baitul Haram dalam keadaan memenuhi panggilan Tuhan dan tunduk
kepadanya. Mereka menghidupkan memori kakek mereka, Ibrahim Khalilullah.
Nabi saw berdiri dan berpidato di tengah-tengah keramaian itu. Nabi saw
mulai merasakan bahwa kehidupannya di dunia sebentar lagi akan
berakhir. Beliau mengetahui bahwa kafilah ini akan pergi sendirian dalam
menjalani kehidupan. Beliau kembali menanamkan nilai-nilai Islam dan
wasiat dakwah di jalan Allah SWT. Setelah berjuang selama dua puluh tiga
tahun menegakkan agama Allah SWT, beliau bertanya kepada mereka:
"Apakah aku telah menyampaikan amanat Tuhan?" Lalu manusia yang hadir
saat itu menyatakan bahwa beliau benar-benar telah menyampaikan dakwah.
Beliau memanggil Mu'ad bin Jabal dan mengajarinya bagaimana berdakwah
kepada manusia di jalan Allah SWT dan bagaimana mengenalkan agama kepada
mereka.
Kemudian
beliau berwasiat kepadaa Mu'ad saat ia menunggangi kendaraannya
sedangkan Rasulullah saw beijalan di sebelah untanya: "Sesungguhnya
orang yang paling utama di sisiku adalah orang-orang yang bertakwa,
siapa pun mereka dan di mana pun mereka." Nabi saw adalah rahmat bagi
semua manusia dan sebagal cermin yang tertinggi dari cermin persaudaraan
dan kepatuhan. Beliau menegakkan Al-Qur'an di tengah-tengah umat Islam
namun beliau menolak segala bentuk penampilan yang biasa melekat pada
seorang penguasa atau raja atau pemimpin apa pun. Beliau berkata kepada
para sahabatnya: "Aku hanya seorang hamba Allah SWT dan Rasul-Nya."
Beliau keluar menemui
sekelompok sahabatnya lalu sebagai bentuk penghormatan kepada beliau
mereka berdiri. Kemudian beliau memerintahkan kepada mereka agar tidak
berdiri. Ketika beliau keluar untuk menemui sahabat-sahabatnya dan
murid-muridnya, maka beliau duduk bersama mereka di tempat terakhir yang
ditemukannya. Beliau sangat bersahabat dan ramah dengan para
sahabatnya, bahkan beliau bercanda dengan anak-anak mereka dan
mendudukkan mereka di ruangannya. Beliau memenuhi panggilan orang dewasa
maupun anak-anak. Beliau membesuk orang-orang yang sakit meskipun
berada di tempat yang jauh. Beliau menerima alasan orang yang mempunyai
uzur. Beliau mendahului orang yang ditemuinya dengan salam bahkan beliau
mendahului berjabat tangan dengan para sahabatnya.
Ketika seseorang datang untuk
menemuinya saat beliau salat, maka beliau mempersingkat salatnya dan
menanyakan keperluan orang itu. Setelah menyelesaikan keperluan manusia,
beliau kembali menyelesaikan shalatnya. Beliau selalu menebar senyum
kepada kawan dan lawan dan memiliki kepribadian yang paling baik. Ketika
beliau berada di rumahnya, beliau melayani keluarganya. Beliau mencuci
bajunya. Beliau memperbaiki sandalnya dan memberi minum unta. Beliau
makan bersama pembantu. Beliau memenuhi kebutuhan orang yang lemah,
orang yang sedih, dan orang yang miskin. Bahkan kebaikan beliau dan
kasih sayangnya sampai pada tingkat di mana beliau membiarkan cucunya
menaiki punggungnya saat beliau sedang shalat.
Kasih sayang beliau tidak hanya terbatas kepada manusia
bahkan juga tertuju pada binatang dan pohon. Beliau memberi makan
binatang dengan tangannya sendiri bahkan beliau pernah merawat anjing
yang sakit. Beliau memerintahkan pasukan Islam saat berperang demi
menegakkan keadilan Islam agar mereka tidak membunuh anak kecil, orang
tua, kaum wanita dan hendaklah mereka tidak mencabut pohon dan tidak
pula merobohkan rumah.
Apa
yang dibawa oleh Nabi saw bukan hanya suatu undang-undang yang mengatur
hubungan antara manusia dan manusia yang lain, dan apa yang dibawa oleh
Nabi saw bukan hanya berisi suatu sistem untuk meningkatkan kualitas
kehidupan dan kemajuannya, ini semua adalah hal relatif namun beliau
datang dengan membawa peradaban yang abadi yang mengatur hubungan antara
manusia dan alam, dan mengembalikan keserasian di alam wujud sehingga
semua berjalan secara seimbang dan mencapai kesempurnaan menuju Allah
SWT. Meskipun pada titik terakhir dari kehidupannya, beliau masih sibuk
mengurusi masa depan dakwah dan beliau sangat cemas terhadap masa depan
agama dan sangat peduli dengan problema kaum Muslim. Beliau khawatir
suatu saat Islam hanya tinggal namanya namun hakikatnya telah lenyap.
Namun sebelum beliau meninggal, Allah SWT telah memperlihatkan kepada
beliau sesuatu yang membuat hati beliau menjadi tenang. Dan di hari
Senin dari bulan Rabiul Awal yang mulia, beliau kembali kepada Tuhannya
dalam keadaan ridha dan diridhai.
Salam kepadamu
ya Rasulullah dan kepada keluarga serta sahabat yang setia bersamamu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar